Menyoal Sarinah, Buah Intelektualitas Sukarno tentang Feminisme dan Perempuan (Part II)

ilustrasi sarinah (sumber gambar empatpilarmpr.com)
ilustrasi sarinah (sumber gambar empatpilarmpr.com)
ilustrasi sarinah (sumber gambar empatpilarmpr.com)

Baca Menyoal Sarinah, Buah Intelektualitas Sukarno tentang Feminisme dan Perempuan (Part I)

Dengan segala keterbelakangan kaum perempuan pribumi yang menurut sukarno keterbelakangan tersebut masih memiliki manfaat tersendiri, yakni manfaat bahwa perempuan pribumi masih ingat dan menjunjung tinggi kodratnya untuk berkeluarga dan mengururus rumah tangga, sukarno membalikkan kenyataan bahwa perempuan pribumi yang seperti itulah yang dirindukan oleh para feminis eropa. Perempuan eropa yang telah mendapatkan persamaan hak lantas menuntut lebih tinggi untuk setara dalam segala aspek dengan kaum laki-laki. Ini, menurut sukarno menyebabkan “scheur” yang berarti keretakan. Henriette Roland Holst, seorang tokoh pemimpin besar di mata Sukarno, mengatakan bahwa feminisme atau neo-feminisme yang merebak di kalangan masyarakat Eropa saat itu tidak mampu menutup celah atau scheur yang terjadi dalam kehidupan dan jiwa kaum perempuan. Menurut Holst, perempuan yang telah mendapatkan hak-hak kesetaraannya untuk kemudian dapat bekerja di perusahaan-perusahaan dan menjadi wanita buruh (baca: karir) menjadi dahaga pada kebahagiaan sebagai seorang istri dan sebagai ibu. Akibatnya, banyak kaum perempuan yang akhirnya meninggalkan kodratnya sebagai seorang istri dan seorang ibu yang bertanggung jawab untuk mengurus dan mendidik anak-anaknya, serta lebih memilih menjadi wanita karir yang memiliki banyak kesempatan untuk membahagiakan diri di luar kodratnya sebagai kaum perempuan.

Penting, pembahasan perempuan ini menurut Sukarno. Terlebih bagi rakyatnya, masyarakat pribumi yang telah sekian lama tertindas oleh aturan-aturan yang kontradiktif untuk memperlakukan perempuan dalam kancah kebangsaan. Sebagaimana pernah dikatakan sendiri oleh Sukarno bahwa “Soal masyarakat dan negara adalah soal laki-laki dan perempuan. Soal perempuan dan laki-laki”, lagi-lagi menegaskan bahwa kedudukan perempuan sama sentralnya dengan keududukan laki-laki. Perempuan Indonesia menurut sukarno perlu mencontoh pergerakan-pergerakan kaum perempuan di negara-negara maju untuk bisa setara dengan perempuan-perempuan revolusioner dunia. Terlebih sisi yang dianggap sebagai ketertinggalan, perlu diperhatikan sebagai sebuah keberuntungan karena perempuan-perempuan feminis pada dasarnya tetap merindukan apa yang selama ini masih dipegang oleh masyarakat pribumi; yakni kodrat perempuan adalah berkeluarga dan mengurus rumah tangga.

***

Beranjak dari apa yang pernah dikatakan Bapak Revolusi kita tentang perempuan yang ternyata selama ini ia pikirkan juga, relevankah perkataan tersebut dengan kondisi riil masyarakat perempuan kita pada hari ini? Tentu ada nilai plus dan minusnya melihat perjuangan feminisme sekarang ini lebih marak diperjuangkan. Namun masihkah apa yang diperjuangkan itu kemudian menjadikan perempuan mampu mengatur diri untuk bergerak, bekerja serta beraktivitas sebagaimana feminisme yang mereka perjuangkan selama ini dengan kegiatan-kegiatan yang merupakan sebuah fitrah untuk berkeluarga dan mengurus rumah tangga? Pembaca berhak menganalisa.

(D1420/Red_)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *