Sumber Foto: Kompas.com
Oleh: Faiz Alfa
Pembunuhan enam jenderal dan satu perwira itu terjadi pada 1 Oktober 1965, pagi hari. Sekitar pukul 03.15 pagi buta, sejumlah prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI)—sebagian besar berasal dari Pasukan Kawal Istana atau Batalyon Cakrabhirawa—berangkat dari Lubang Buaya. Membagi diri ke dalam tujuh regu, tiap regu bertugas menculik satu dari tujuh Jenderal yang ditargetkan.
Tujuh jenderal itu ialah Menteri Pertahanan Jenderal Abdul Haris Nasution, Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani, dan lima staf umumnya: Mayor Jenderal (Mayjen) S. Parman, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono, Mayjen R. Suprapto, Brigadir Jenderal (Brigjen) Soetojo Siswomihardjo, dan Brigjen Donald Ishak Pandjaitan.
Tempat tinggal mereka terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tidak sampai satu jam perjalanan menggunakan mobil dari Lubang Buaya. Arahnya di sebelah utara.
Semua regu berhasil menculik sasarannya, kecuali yang bertugas menjemput Jenderal A. H. Nasution. Mereka hanya bisa membawa ajudannya, Letnan Pierre Tendean. Tidak hanya gagal, regu ini juga salah sasaran. Pierre dikira Nasution. Target asli mereka sudah terlebih dahulu melarikan diri dan bersembunyi di rumah tetangganya, Duta Besar Irak. Penculikan itu melibatkan kejadian tembak-menembak, menewaskan tiga orang yang bukan target: seorang pengawal di rumah tetangga Nasution dan anak perempuannya yang berusia lima tahun, serta kemenakan Brigjen D. I. Pandjaitan.
Para penculik kemudian membawa enam jenderal dan satu perwira itu ke Lubang Buaya, yang terletak di selatan Pangkalan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Halim Perdanakusumah. Tiba di sana sekitar pukul 05.30 pagi, mereka lantas membunuh korban penculikan itu dengan beberapa tembakan, kecuali Mayjen Harjono yang dibunuh dengan tusukan bayonet di perut.
Anehnya—tidak ada sayatan silet pada tubuh, apalagi wajah. Tidak ada mata yang dicungkil. Tidak ada mutilasi. Tidak ada pula kelamin yang dipotong. Hasil visum para dokter Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) mementahkan semua narasi tentang kekejaman yang telah diceritakan berulang-ulang itu—akan tetapi, hasil visum itu baru terungkap setelah salah seorang ilmuwan dari Cornell University menemukan salinannya pada 1980-an.
Tidak lama setelah matahari terbit, sekitar 1.000 tentara menduduki Lapangan Merdeka yang merupakan pusar kekuasaan politik. Di sisi utara lapangan, berdiri Istana Presiden dan Markas Besar Angkatan Darat. Di sebelah selatan terdapat Gedung Telkom dan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Di sisi timur, bertengger Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), yang dipimpin Mayjen Suharto. Di sebelah barat, terdapat Gedung Kementerian Pertahanan dan Stasiun Radio Republik Indonesia (RRI).
Akan tetapi, tentara yang sebagian besar berasal dari Batalyon 454 Jawa Tengah dan Batalyon 530 Jawa Timur itu tidak menduduki keempat sisi Lapangan Merdeka. Mereka hanya berkerumun di depan Istana Presiden, di depan RRI, dan di depan Gedung Telkom.
Pukul 07.15, mereka menyatakan dirinya untuk pertama kali kepada masyarakat luas. Para tentara itu mengokupasi RRI dan memaksa penyiar membacakan dokumen yang telah disiapkan. Isinya, mereka menamakan diri sebagai Gerakan 30 September. Mereka mengaku telah mengamankan sejumlah jenderal yang tergabung dalam kelompok “Dewan Jenderal”. Tujuannya untuk mencegah kudeta kontra revolusioner.
Menurut G30S, Dewan Jenderal “bermaksud jahat terhadap Republik Indonesia dan Presiden Sukarno”. G30S mencitrakan diri sebagai kelompok yang setia kepada Presiden Sukarno. Siaran itu diakhiri dengan pengumuman bahwa akan dibentuk sebuah badan bernama “Dewan Revolusi Indonesia” di tingkat pusat di Jakarta. Dewan ini akan menjadi lembaga eksekutif tertinggi.
Sekitar pukul 12.00, G30S melanjutkan siaran pengumumannya, dengan diberi nama “Dekrit No. 1”. Lalu, kurang-lebih pukul 13.00–14.00, disusul pengumuman ketiga dan keempat, yang diberi judul “Keputusan No. 1” dan “Keputusan No. 2”. Isinya, Dewan Revolusi Indonesia di tingkat pusat berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung. Kabinet Presiden Sukarno didemisionerkan. Seluruh elemen harus menyatakan kesetiaannya kepada dewan ini jika ingin terus bekerja. Dewan-dewan serupa di tingkat daerah segera dibentuk.
Aksi pembangkangan militer tidak terjadi di wilayah lain di luar Jakarta, selain di Semarang, Surakarta, dan Salatiga di Jawa Tengah; serta diYogyakarta. Para perwira menengah di empat kota itu, beserta anak buahnya yang mendukung G30S, menggulingkan atasannya. Di Solo, Walikota Utomo Ramelan secara terang-terangan mendukung. Di Yogyakarta, Kolonel Katamso yang menjadi pimpinan militer dan kepala stafnya, Letnan Kolonel Sugiono, dibunuh.
Heran, Kenapa Diperingati Sehari Sebelumnya?
Dari pemaparan tersebut, dapat dipahami bahwa aksi militer yang telah menewaskan 12 orang itu terjadi pada 1 Oktober hingga—selambat-lambatnya—3 Oktober 1965. Akan tetapi, peringatan terhadap peristiwa ini dilakukan pada 30 September. Di mana, dalam konteks tragedi ini, tidak terjadi suatu kejadian apapun yang krusial.
Pada 1965–1967, Presiden Sukarno selalu menyebut tragedi itu dengan “Gestok” atau Gerakan Satu Oktober. Walakin, istilah buatannya tidak laku di pasaran. Pemerintah juga masih menyebutnya dengan Peristiwa G30S/PKI. Pernah ada suatu masa, di mana buku-buku yang tidak menyebut “PKI” setelah “G30S” tidak akan memperoleh izin terbit.
Seluruh rincian fakta sejarah tersebut dipaparkan oleh John Roosa, dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (Jakarta: Hasta Mitra, 2008). Roosa mendasarkan diri pada tujuh versi narasi tentang G30S, baik dari peneliti maupun Angkatan Darat. Roosa juga merujuk pada temuannya, yaitu arsip pengadilan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilup) yang luput dari perhatian para peneliti sebelumnya.
Kejanggalan tentang waktu peringatan tersebut juga diungkapkan oleh Agus Sunyoto Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) tahun 2015–2021. “Tanggal 30 September ada peristiwa apa? Penculikan para jenderal, kata sejarahwan itu, tanggal 1 Oktober pukul 5 pagi,” tegasnya, sebagaimana dikutip NU Online (19/10/2017). “Sumbernya jelas, ada di Arsip Nasional.”
Menurut Agus, himbauan dari negara juga mengherankan. “Tanggal 30 September yang tidak ada peristiwa apa-apa malah disuruh untuk mengibarkan bendera setengah tiang. Sedangkan tanggal 1 Oktober para Jenderal diculik malah disuruh mengibarkan bendera penuh,” ujarnya penulis buku Lubang-Lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun dan Atlas Walisongo itu.
Keheranan tersebut Agus sampaikan dalam acara bertajuk “Bedah Buku Atlas Walisongo” yang digelar oleh Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Jepara pada Rabu (18/10/2017) di Ruang Rapat Seretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Jepara.
Referensi
Mustaqim/Mahbib, Syaiful. “Agus Sunyoto: G30S/PKI itu ‘Film Dongeng’”, dalam https://nu.or.id/nasional/agus-sunyoto-g30spki-itu-film-dongeng-iv82L, 19 Oktober 2017, diakses 29 September 2025.
Roosa, John. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto terj. Herrsri Setiawan. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, 2008.