Ritual Pemanggil Mahasiswa Bagian 1: Dompet Tebal Efisiensi PBAK

Momen PBAK tahun 2024 yang dilaksanakan di Auditorium UIN Salatiga (Sumber Foto: Mada)

Oleh: Sidqon K. Hasyim, Kamal Mustafa Al-Jaba

“Aku kan Maba dari rantau Sumatera ya. Ini kok penugasannya jajan-jajanan susah-susah banget sih. Kakak panitianya kenapa sejahat dan setega itu ngasih penugasan yang susah banget…,” begitulah keluh kesah Maba melalui akun instagram @pesanuinsalatiga.

Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) seharusnya bersifat mengenalkan kampus pada Maba dan seharusnya pula, menjadi sebuah forum yang membuat para pesertanya benar-benar hadir dalam artian yang sesungguhnya. Melihat kenyataan yang terjadi di lapangan, PBAK menjadi momok menakutkan di benak mahasiswa baru.

Tempo hari tak sedikit para Maba yang mengeluhkan perihal penugasan PBAK yang dinilai memberatkan. Penugasan itu antara lain mencari dan membeli jajan-jajan sesuai dengan clue yang disebutkan oleh panitia. Misal panitia memberi clue berupa “es dawet krik-krik” maka peserta diharuskan mencari jajanan dengan clue tersebut.

Alasan yang sama pasti akan terdengar nyaring ketika hal itu diperdebatkan. Kreatif  selalu menjadi acuan orang-orang yang setuju untuk membenarkan tindakan mereka. Tak jauh beda dengan 1+1= 2, es dawet krik-krik pun tak mungkin yang akan dibeli adalah es teler. Itu tadi adalah hal yang pasti. Ujungnya kita hanya lega karena berhasil menjawab teka-teki, tak menimbulkan sebuah pertanyaan yang lebih berarti: apa nilai penting dari pendidikan itu sendiri?

Mentalitas Perpeloncoan

Paulo Freire dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas berpendapat bahwa pendidikan yang membebaskan terdiri dari tindakan pemahaman, bukan sekadar pemindahan informasi. Praktik pendidikan yang dimaksud oleh Freire adalah tidak adanya perbedaan antara murid dan guru, dalam hal ini antara panitia dan peserta. Objek, dalam hal ini penugasan, harus dipahami bersama oleh pelaku pemahaman (panitia dan peserta).

Kedua belah pihak harus memiliki hubungan yang setara, atau setidaknya mengedepankan praktek meaningful participation. Kedua belah pihak punya hak satu sama lain dalam memahami objek. Dari sini timbulah pertannyaan. Apakah peserta memiliki ruang untuk bertanya. Mengapa penugasannya seperti itu? Lalu, bolehkah peserta menawarkan konsep lain?

Dalam praktiknya, panitia menempatkan peserta sebagai objek yang kosong dan harus diisi. panitia merasa punya hubungan khusus dengan objek. Mereka merasa satu-satunya yang memahami objek. Ada sebuah sekat yang pada akhirnya membelenggu hubungan antara peserta dan panitia. Maba yang notabene orang baru pun merasa dirinya tak punya kuasa lebih ketimbang panitia—relasi kuasa dengan otoritas melalui budaya senioritas.

Pada gilirannya, budaya “pembodohan” ini dihalalkan setiap perhelatan PBAK berlangsung. Tak jemu-jemu budaya turun-temurun ini menjadi penyakit tanpa adanya pengobatan lebih lanjut.  Inilah yang disebut sebagai budaya perpeloncoan. Menilik pada zaman Orde Baru, perpeloncoan digunakan sebagai alat pematuhan dan menebar ketakutan kepada massa. Dirasa atau tidak, Maba menghadirkan dalam diri mereka sebuah rasa takut. takut akan disanksi oleh panitia yang memiliki wewenang lebih. Di sinilah rasa patuh dan takut—yang seharusnya tidak ada dalam dunia pendidikan—bertumbuh. Tentu hal ini dirasa oleh penulis saat dulu menggeluti “ritual” itu. 

Penugasan Sebagai Ajang Meraup Keuntungan.

Penugasan yang dibilang memberatkan seperti halnya menemukan jajanan sesuai clue, pada akhirnya membuat para Maba membutuhkan alternatif lain: Jasa Titip (Jastip). Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan menjadi bisnis kecil-kecilan oleh pihak yang ingin meraup keuntungan. tak heran kelangkaan jajanan kerap ditemui saat masa-masa seperti ini berlangsung.

Bagaimana kelangkaan itu terjadi? Ada berbagai cara yang sering dipakai pebisnis dalam meraup keuntungan, salah satunya dengan cara penimbunan. Praktik penimbunan barang bertujuan untuk mendapatkan nilai jual lebih tinggi ketika barang tersebut langka atau susah didapatkan. Pembeli mau tidak mau akan mencukupi kebutuhannya dengan membeli barang tersebut, meskipun dengan tarif yang relatif lebih tinggi dari pada biasanya.

Menyoal Jastip jajanan PBAK di UIN Salatiga, pihak yang membuka Jastip tidak sebatas dari organisasi eksternal, tapi juga dari mahasiswa-mahasiswa lama. Di sinilah terjadi sebuah  “persaingan” antar pembuka Jastip. Jastip dari non-eksternal (mahasiswa umum) biayanya terkadang lebih tinggi ketimbang pihak-pihak lain. Tak sedikit juga Maba yang awalnya kesulitan mencari, akhirnya menggunakan Jastip sebagai pilihan alternatif mereka. Barang tentu, Maba bukanlah orang yang bodoh dan mengira bahwa tidak ada konflik kepentingan yang terjadi dalam penugasan ini.

PBAK tak seharusnya menjadi hasrat memenuhi kepentingan pihak terntentu. Maba yang memulai kehidupan kuliahnya dengan mengenal kampus melalui PBAK tak selayaknya diracuni dengan sistem-sistem berbau bisnis pribadi seperti ini. Dari awal, Jastip bukanlah tindakan yang seharusanya ada dalam dunia intelektual, dan karena itu juga, panitia dilarang keras menyusahkan Maba melalui penugasan snacknya. Jika mungkin, tak perlu ada tebak-tebakan snack. Hilangkan budaya mengibuli. 

Uang Lagi, Uang Lagi

Padahal di awal registrasi PBAK, Maba sudah diwajibkan membayar uang pendaftaran sebesar 200 ribu. Itu pun perinciannya tak pernah diinformasikan kepada mahasiswa baru. Ditambah penugasan seperti membeli jajanan, yang turut manjadi beban finansial untuk Maba. Mungkin kedengaran hal yang lumrah, namun apa kabar untuk mereka yang tidak dari ekonomi bagus? Mereka harus memikikan uang tambahan untuk digunakan dalam mencukupi penugasan tersebut.

Lucunya—setidaknya lucu menurut penulis—jajanan yang telah dibeli oleh Maba, ujung-ujungnya dimakan oleh Maba itu sendiri. Jika tujuannya agar para Maba memperhatikan sarapan pagi mereka, ada beragam solusi yang tentunya tidak memberatkan para Maba dari segi manapun, bahkan finansial. Apakah ada alasan untuk penyeragaman makanan? Agar tidak saling iri? Alasan ini terlampau konyol untuk diterapkan di dunia akademisi.

Persoalan finansial peserta PBAK seharusnya lebih penting untuk dipertimbangkan. Sebab semua peserta punya latar belakang ekonomi yang berbeda-beda. Tak sedikit mahasiswa yang rela menunda waktu kuliahnya untuk memenuhi kebutuhan perkuliahannya di tahun mendatang, atau bahkan berkuliah sambil bekerja. Tidak seharusnya hal-hal ini luput dalam pertimbangan.

Kita tentunya bukanlah orang bodoh untuk sedini mungkin mempertimbangkan ini. Teori-teori di kelas semestinya bukan hanya tinggal di pikiran saja, ia perlu dipraktikan untuk melihat wujudnya nyata ruang kelas yang dipelajari. Agar semua orang mendapatkan kenyamanan dan keamanan dari ruang-ruang di kampus ini. Tentu kita berharap tema PBAK yang tahun ini diusung dapat menjadi sebuah do’a untuk semua mahasiswa. Namun, apalah kata dengan “Berakar pada nilai, bertumbuh dalam peradapan, menuju Indonesia emas 2045,“ jika, ujung-ujungnya uang lagi, uang lagi.

One thought on “Ritual Pemanggil Mahasiswa Bagian 1: Dompet Tebal Efisiensi PBAK

  1. Semoga penulis aman dari serangan ad hominem dan pembalasan tulisan dalam bentuk lain. Seharusnya kalau tidak setuju dengan satu tulisan, respon tulisan itu dengan tulisan lain

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *