Tenda kecil yang digunakan R.E.S Fobia di trotoar depan kampus utama Diponegoro UKSW (Sumber Foto: Fadlan/DinamikA).
Oleh: Fadlan Naufal R dan Lutfi Aulia Zahra
Sejak hari Selasa, 10 Juni 2025, seorang dosen berumur 55 Tahun menyatakan mogok makan, dan hingga kini ia mengaku belum makan sama sekali. (24/6/2025)
Pria yang berumur lebih dari setengah abad itu dikenal sebagai R.E.S Fobia—Sejak lahir, begitulah nama panggilan saya, katanya. Sepanjang hidupnya, atau paling tidak 28 tahun terakhir, ia habiskan menjadi seorang akademisi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Namun kini, ia menolak makan, dan habiskan dua sampai tiga pekan dengan tenda kecil di trotoar depan kampus utama Diponegoro UKSW.
Meski dua pekan berlalu, aksi ini diteruskannya tanpa ragu, di trotoar pinggir Jalan Diponegoro, yang ramai oleh pejalan kaki dan kendaraan melintas; berlalu lalang. Ia tidur di tenda kecilnya, kira-kira hanya bisa diisi 2-3 orang—bila digunakan dengan jumlah normal, atau bila digunakan bersama teman untuk camping, dan lain sebagainya. Kali ini, Fobia benar sendirian, dan di trotoar itulah, dilanjutkannya hari demi hari, sepi, sendiri, kadang ada teman-teman mahasiswa yang datang, kadang ia ke pos satpam untuk mengisi baterai handphone. Dan Sesekali ia pulang—saat dini hari—untuk mandi atau membasuh wajah, lantas kembali lagi ke lokasi, yakni di samping tenda, tempat ia menggantung baliho bertuliskan: “Your Resillience is Your Humanity.”
Fobia dan Perasaan Kecewa
Selasa, 24 Juni 2025 sore hari, kami berdua—Crew Reporter Klikdinamika.com—mendatangi Fobia di tempat ia memasang tenda. Saat itu sekitar pukul 15.00-17.00 WIB dan matahari pelan menyerosot turun di kejauhan, mendatangi ufuk di barat, nun di sana. Kami membangun obrolan dan duduk tepat di depan tenda yang digunakannya untuk berteduh, atau bila akan tidur. Fobia mengenakan jaket abu terang berlogo UKSW di dada kiri. Jaket yang biasanya juga dikenakan oleh teman-teman kerjanya di Fakultas Hukum UKSW.
Sampai kini ia hanya minum: air mineral. Terkadang minum air hasil rebusan dan perasan saringan dari jahe, ubi, wortel, kentang dan serei, yang dibuat sendiri oleh Keluarganya. Tangannya terlihat sedikit gemetar saat mengelap kacamata menggunakan tisu dua ribunya, sembari lanjutkan cerita. Meski begitu, ia masih bisa menceritakan banyak hal dengan lancar, mulai dari teori hukum, komunikasi pihak universitas, serta administrasi yang pincang. Dan dengan lugas, beberapa kali ia mengungkapkan kekecewaan. “Kondisi seperti ini mestinya cukup menggunakan rasa, sudah bisa diselesaikan, tanpa harus dengan teori,” ucapnya.
Belakangan kami tahu bahwa ternyata ia adalah seorang pengacara senior. Juga seorang anggota pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kota Salatiga. Fobia mengaku bahwa kekecewaannya bukan terbatas pada gaji, yang selama 8 bulan tidak diberikan oleh universitas. Melainkan sebagai salah satu bentuk kekecewaan atas pengabdiannya pada UKSW yang seakan tidak dianggap dan tidak dihargai. Ia merasa apa yang dilakukan oleh pihak rektorat merupakan tindakan yang tidak bijak, serta mengarah pada kebutaan budaya persaudaraan dan berujung pada relasi kuasa yang tidak sehat di dalam kampus.“Ini seperti mabuk kuasa, buta budaya persaudaraan di UKSW,” jelasnya.
Fobia pun menitikberatkan kekecewaannya pada pola komunikasi universitas yang baginya amat kurang. Dan oleh karena hal ini bukan hanya persoalan gaji, ia berkomitmen melancarkan aksi ini sampai tuntas, walau sendirian.
“Ya tentu saya akan tetap melakukan aksi mogok makan ini sampai dengan urusan ini selesai, karena ini urusannya juga belum beres,” katanya saat ditemui di depan tenda berwarna biru tosca, yang diiringi suara bising kendaraan bermotor yang lalu-lalang.
Sebuah Perlawanan dan Harapan
Sudah genap 16 hari, dan Fobia akan terus menyerukan aksinya sampai tuntas. Fobia yakin aksi yang ia lakukan ini adalah benar. Ia tidak akan mundur.
Fobia mengatakan kasus ini telah dilimpahkan ke pengurus yayasan. Namun, proses tersebut masih sedang berjalan. Ia pun mengaku sempat mencoba menanyakan perkembangannya, tapi hingga kini harus sabar menunggu.
“Saya sudah mencoba untuk konfirmasi ke pengurus, saya hanya diminta untuk menahan diri tidak mempublish prosesnya, jadi sementara yang bisa saya katakan adalah ini sementara diproses,” ucapnya.
Bagi Fobia, persoalan ini bukan lagi hanya sebatas urusan administratif saja. Ia merasa ada hal yang lebih mendalam. Ada rasa kecewa yang akan terus merongrong atas nama hak dan keadilan. Ia menyebut telah berupaya membuka dialog dengan rektorat, namun hingga saat ini ruang tersebut tidak terbangun.
Fobia tegas kembali menjelaskan, bahwa yang ia lakukan itu bukan tindakan adu keras, melainkan bentuk seruan agar komunikasi dalam lembaga ini segera diperbaiki. “Kita tidak bermaksud keras-kerasan, bukan begitu, tetapi supaya segera diselesaikan. Harusnya kalau dulu dikomunikasikan baik-baik kan mungkin juga tidak akan seperti ini,” ujarnya.
Fobia paham, bahwa langkah yang ia pijak saat ini adalah tentang kemanusiaan. Dia berharap semua ini segera diselesaikan dengan cara terbuka. “Saya berharap, kepemimpinan itu dilandasi dengan komunikasi yang baik itu. Jangan tertutup,” imbuhnya. Pernyataan itu menegaskan kembali harapan dan alasan ia tetap bertahan, sekaligus jadi penutup perjumpaan kami.
Saat kami beranjak pergi, ia masih duduk di depan tendanya. Kali ini diam, menunduk, dan menatap layar ponselnya cukup lama. Sedang kendaraan di jalan, seolah tak peduli, terus berlalu-lalang, tanpa tahu di bahu jalan seorang dosen kini tengah duduk dan tidak makan selama dua pekan penuh, sendirian, sepi, bersama tenda kecil biru tosca di sampingnya.