Perayaan Kebebasan Berpikir dan Gairah Anak Muda dalam Lembaran Zine

Sumber foto : Rock in Celebes

Oleh : Fatah Akrom

MEDIA DAN BUDAYA
Anggapan kebanyakan orang mengenai media selalu di dikotomi antara media cetak dengan elektronik; televisi dengan radio; koran dengan media online; Tempo dengan Kompas. Padahal media pun membangun sebuah kebudayaan dari media itu sendiri. Seperti cara pemberitaan, film, sinetron, buku, dan rekaman. Melalui media pula, representasi kehidupan nyata dimunculkan dan diterima serta dikonsumsi oleh masyarakat. Media tak bisa terlepaskan dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial.

Sebelum era digitalisasi media, media dikonsusmsi oleh masyarakat secara asyik dan seru ketika dilakukan bersama-sama. Ketika saat ini orang lebih suka menikmati kehidupan menggunakan media, hanya dalam kasur, ditemani gawai pintar, itu tidak akan pernah seseru orang-orang desa waktu dulu meluangkan waktu akhir pekannya. Mereka berbondong-bondong menuju rumah yang dianggap orang berpunya, yaitu orang yang memiliki televisi yang memutar sinetron “Jin dan Jun” atau mendegarkan siaran radio campursari dan ketoprak di gubuk sawah saat istirahat siang. Bahkan smartphone iphone keluaran terbarumu rasa-rasanya tak mampu membeli kenangan-kenagan bermedia waktu itu.

Trasformasi media dan teknologi yang begitu pesat memaksa manusia selalu mengikutinya agar tidak dianggap ketinggalan zaman, dalam kesempatan ini saya sebagai anak muda rasanya saya kurang bijak jika tidak menyarankan tentang kepenulisan populer tekhusus Zine, belakangan Zine jadi sebuah subkultur yang di gandrungi anak muda, terutama penikmat musik alternatif, kehidupan anak muda, bahkan menyoal sosial politik. Lalu apa itu Zine? Mengapa Zine digandrungi anak muda?

Gairah Anak Muda dalam Lembaran Zine

“Kegunaan zine sebagai dokumen sejarah kini mulai diakui. Banyak universitas memiliki koleksi zine sendiri dan ada juga banyak perpustakaan zine independen baik di Amerika maupun di seluruh dunia.”

Bagi sebagian orang kata Zine adalah sebuah istilah yang sangat asing, Zine mempunyai pasar tersendiri dengan ciri khas independen, lalu apa sebenarnnya Zine itu? Zine menurut definisi dari English Oxford Dictionary adalah bentuk singkat dari Fanzine. Zine biasanya dianggap sebagai versi sederhana dari majalah. Jumlah halamannya lebih sedikit dan ukurannya lebih kecil, siapapun bisa menerbitkan Zine sendiri. Tinggal buat konten dan desain halamannya sendiri, dan kamu pun bisa menggandakannya di print shop dan mempublikasikannya sendiri. Jika ingin menjualnya, silakan pula tentukan harga sendiri. Maka tak heran bentuk genre indie dalam zine akan memiliki nilai pikat tersendiri bagi anak muda.

Zine secara umum menitik beratkan kepada sebuah pedoman ketimbang aturan. Aspek terpenting dari sebuah Zine umumnya adalah bahwa publikasi tersebut diidentifikasikan sebagai satu. Dalam kepenulisan Feature yang di lansir oleh Rock In Celebes yang berjudul “Jalan Panjang Zine di Berbagai Kancah” jika di ukur dalam sejarah, Zine sudah populer sejak pertama kali muncul di tahun 1930, ketika itu Science Correspondence Club di Chicago adalah pelopornya. Rilisan pertama mereka diberi nama “The Comet”, dan kemudian Zine tersebut mulai tren dan menyebar luas.

Bisa dibilang, Zine pertama yang memuat perihal fiksi ilmiah tersebut memiliki umur berjangka panjang. Para penggemar fiksi ilmiah menjadikan media ini sebagai pelarian dari realita yang menolak keberadaaan mereka. Hingga akhirnya, Zine berkembang sangat pesat dan menjadi sumber informasi bagi banyak orang yang ingin mencari bahan bacaan dari luar media mainstream. Bentuknya juga tidak lagi seperti sejak awal kelahirannya. Melainkan mulai bertransformasi seperti majalah mini dengan sentuhan personal (review, opini, puisi, art work, dan curhatan pembuatnya). Ada yang berbentuk cetak, ada juga yang elektronik.

Lalu, zine perihal fantasi sci-fi dimulai pada tahun 1943, namanya adalah Fantasy Commentator dan berjalan dalam berbagai iterasi (meskipun tidak terus menerus) hingga tahun 2004. Salah satu bagian yang diserialkan dalam Fantasy Commentator akhirnya menjadi buku “Sam Moskowitz” tentang sejarah sci-fi fandom, judulnya adalah “The Immortal Storm”.

Di Indonesia sendiri, perkembangan Zine bisa dilihat di sekitar tahun 1995. Geliatnya terlihat di Bandung pada waktu itu, dimulai dari Zine bernama Revograms yang berisikan info-info seputar musik underground. Kemudian berlanjut di tahun 1996 dengan hadirnya Brainwashed zine di Jakarta yang di edisi awalnya, mereka merilis Zine yang berisikan 24 halaman, dan rilis dalam 7 terbitan dan kemudian dibuatkan bentuk majalah pro dengan sampul berwarna.

Menariknya, Zine ini membahas secara khusus perihal band metal/hardcore baik itu lokal maupun interlokal. Hingga kini di Indonesia, zine tetap hidup di berbagai komunitas dan kolektif. Hajat hidupnya terus berkembang seiring perkembangan waktu dan juga permasalahan yang ada di negeri ini. Festival untuk merayakan Zine pun juga rajin digelar di tiap tahunnya. Baik itu di kota-kota besar, ataupun kecil.

Zine, Jurnalisme Mandiri
Kegunaan Zine sebagai dokumen sejarah kini mulai diakui. Banyak universitas memiliki koleksi Zine sendiri dan ada juga banyak perpustakaan Zine independen baik di Amerika maupun di seluruh dunia. Lebih mudah dari sebelumnya untuk mempelajari Zine secara langsung. Namun, cara terbaik untuk belajar dan terlibat dalam komunitas sama seperti biasanya, mulai membaca dan kemudian mulai berkreasi.

Zine merupakan cerminan dari suatu bentuk jurnalisme amatir yang mandiri, biasanya berisi gambar dan tulisan yang dibuat dengan mesin fotokopi. Dengan tidak meninggalkan nilai seni suatu karya, Zine menjadi salah satu medium penyampai aspirasi, khususnya yang berisikan kritik sosial. Kegelisahan, kekecewaan, dan amarah dituangkan oleh para pembuat Zine. Dari hal ini kita bisa belajar dari trasformasi media yang pesat. Kabar baiknya anak muda sekarang tidak bisa terlepas dari jurnalistik walaupun berbagai ruang dan bentuk yang berkembang. Bahkan terkhusus sebagai seorang mahasiswa kontemporer, ranah nalar kritis tak selalu identik dengan demonstrasi dan huru-hara, media juga punya peranan penting dalam wadah kebebasan berfikir, dan menurut saya itu adalah cara yang asyik dan elegan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *