Pentas Produksi Teater Getar Ke-43: Kebijaksanaan Iblis, Digelar di Dua Kota

Para pemeran memperkenalkan diri kepada penonton usai pentas (Sumber Foto: Akrom/DinamikA)

Klikdinamika.com – Teater Getar menggelar Pentas Produksi Ke-43 dengan cerita adaptasi dari kitab Ihya Ulumuddin di Aula Kampus 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga. Pentas yang disutradarai oleh Faisal atau Kliwon ini dilihat oleh sekitar 300 penonton, Jumat (2/3/2024).

Rafly atau Kemin, selaku Lurah Teater Getar 2023/2024, menjelaskan bahwa pentas ini digelar di 2 kota, yaitu Salatiga dan Yogyakarta pada 8 Maret nanti. Teater Getar tidak hanya menunjukkan keberanian dalam berkarya, tetapi juga memberikan kesempatan bagi lebih banyak penonton untuk menikmati produksi mereka.

“Malam ini adalah Pentas Produksi Teater Getar yang ke-43. Jadi, acara  ini adalah acara tahunan insya Allah. Jadi, Teater Getar mengadakan pentas besar dalam skala besar dengan waktu satu tahun sekali. Tahun ini, Teater Getar melakukan pentas produksi itu keliling ke 2 kota. Pertama, di Kota Salatiga, yang kedua di Jogja. Kenapa, sih, kita keliling dua kota? Ini kesepakatan bareng-bareng, ya, kita melihat pementasannya seperti ini dan naskahnya juga menurut kami bagus untuk diangkat. Jadi, kita berani itu nekat-nekatan, sih, sebenarnya jadi kita berani untuk keliling di dua kota,“ jelasnya.

Sebagai sutradara, Faisal atau dengan nama panggung Kliwon, menjelaskan latar dari naskah yang ditampilkan.

“Naskah ini diadaptasi dari kitab Ihya Ulumuddin. Cuma, pertama kali saya referensinya itu di YouTube, ya, jadi ketika itu keponakan nonton. Di YouTube itu ada video kayak ceramah gitu. Terus, saya mendengarkan itu, kok, kayak ada suatu yang mengganjal begitu. Kalau di ceritanya, kan, selesai ketika Si Alim kembali ke pohon, kemudian dikalahkan sama kakek-kakek iblis itu,“ ujarnya.

Dengan mengangkat tema konflik antara agama dan budaya lokal, penonton diajak untuk merenung tentang pertentangan yang sering kali menghiasi kehidupan sehari-hari. Sebagai alumnus yang merangkak dari tahun 2008 hingga 2016, penyutradaraan Faisal, menghadirkan pandangan baru tentang tradisi lokal yang sering kali bertentangan dengan keyakinan agama.

“Hal yang mengganjal seperti pada pementasan itu. Ini, kan, konfliknya di agama sama budaya, yaitu budaya setempat–yang mana kalau kita lihat di sekitar kita, itu banyak yang bertentangan. Kadang, kalau kita lihat sudut pandang tertentu, itu bertentangan dengan akidah-akidah kita; akidah islam. Kayak tadi, ritual atau kita melihat budaya sajen, nyadran, dll,” paparnya.

Faisal kemudian menggambarkan dari sudut pandang lain terkait penebangan pohon.

Lah, Si Tokoh tadi–Si Alim–sebagai yang beragama itu, melihat ritual sebagai bentuk kesalahan. Tapi, satu sisi, aku–yang menerka dalam hatiku–ketika pohon itu seumpama di tebang betulan, tertebang, ngek-ngek-ngek, terus apa yang terjadi? Lah, dari sudut pandang etika lingkungannya atau tentang hal-hal lain itu, kayaknya ada cacat logika di situ,” jelasnya.

Kisah yang mengambil inspirasi dari ceramah di YouTube ini, mempertanyakan posisi keimanan dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pementasan ini, penonton dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang esensi kebenaran dan kebohongan, serta bagaimana manusia memandangnya.

Dalam wawancaranya, Faisal memberikan pesan yang terkandung pada pementasan kali ini.

“Pesan garis besarnya, untuk semua yang melihat itu, ketika beragama kita bagaimana, sih? Harus bagaimana, sih, ke depannya? Apakah saya berkeyakinan ini salah?  Walaupun kadang sesuai pedomannya, atau sesuai pendapat ulama-ulama siapa begitu,“ tambahnya.

Faisal kembali menambahkan mengenai kebenaran dan keyakinan manusia.

“Tapi, satu sisi kita juga punya pikiran untuk kita menerka: mana, nih, yang kira-kira ini benar atau nggak? Walaupun tadi, ada kata-kata kebenaran itu hanya kebohongan yang disepakati, kayaknya semuanya begitu, deh. Apakah njenengan berkeyakinan itu suatu yang benar? Atau hanya kebohongan-kebohongan yang dibuat sebelumnya? Dan akhirnya kita sepakat dan meyakini suatu kebenaran,“ tegasnya.

Dengan mengeksplorasi karakter, seperti iblis yang diperankan oleh Mukafi atau Mantol, Teater Getar mengajak penonton untuk tidak terjebak dalam pandangan picik dan untuk memahami sudut pandang yang beragam.

”Pokok yang ingin kita sampaikan, bahwa terkadang kita harus bisa mengambil hikmah termasuk yang bejat seperti iblis. Serta, di lain itu, perlu digarisbawahi bahwa kebenaran hanyalah omong kosong. Karena itu, tak lebih dari sekedar kebohongan yang disepakati. Jadi, jika kita tidak tergabung dalam suatu yang menyepakati kaum suatu kebenaran kita akan menganggapnya bahwa itu bohong, begitupun sebaliknya,“ jelas Kafi.

Menurut Kafi, setiap orang memiliki sudut pandangnya sendiri, sehingga penting untuk tidak menjadi manusia yang fanatik.

“Yang penting, jangan picik menjadi manusia. Semua orang mempunyai sudut pandang tersendiri, jadi jangan fanatik, gitu,” terangnya.

Dengan sentuhan artistik dari seniman seperti Candra Bagong Harjanto/Tungtung, Teater Getar bukan hanya menghibur, tetapi juga memberikan pemirsa pelajaran yang mendalam tentang toleransi, kebenaran, dan perspektif yang beragam.

“Ada hal yang perlu diambil dari pementasan ini, ya, dari segi apa dulu? Kan, mungkin, kalau sebuah pementasan teater, tentunya harus ada; tontonan apa yang bisa jadi tuntunan? Ya, semacam itu. Mungkin, ada hal tertentu, kebenaran itu tidak mutlak milik kita sebenarnya. Tapi, ada hal tertentu mungkin. Misalnya, ketika pohon itu sebetulnya tidak akan berdosa kenapa? Karena itu sebagai media saja, media untuk bersyukur. Tapi, hal semacam itu mungkin dianggap sebagian orang lain bahwa itu musyrik. Mungkin, setiap orang mempunyai tata cara untuk berterima kasih terhadap sesuatu,“ jelas Candra dalam wawancara.

Keseruan di atas panggung tidak hanya diwujudkan melalui cerita yang menarik, tetapi juga melalui respon positif dari penonton yang terbukti dari tanggapan mereka yang hangat. Meskipun menerima dukungan dari berbagai pihak, Teater Getar juga menyampaikan kekecewaannya terhadap kurangnya dukungan dari pihak kampus sendiri. Rafly atau Kemin menyayangkan support yang kurang, bahkan pandangan sebelah mata dari pihak kampus.

”Banyak sekali harapan Teater Getar dari universitas. Kalau bisa, ayo, support bareng-bareng. Minimal lihat proses kita selama ini. Jujur, kami kecewa. Dari kampus ini, ketika kami mengadakan kegiatan, kali ini dari kampus nggak bisa datang, nggak bisa menghadiri. Tapi nggak apa-apa. Kita nggak main-main, lho, dalam penggarapan. Kita nggak main-main dalam sebuah proses itu. Jangan anggap kami sebelah mata. Jangan menganggap kami adalah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang hanya banyak negatifnya, tapi kita buktikan dengan proses, kita buktikan dengan prestasi. Mungkin yang bisa jawab itu juga penonton-penonton nanti,“ tegasnya. (Ramadhon/red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *