Sumber Foto: Myedisi.com
Oleh: Zakya Zulvita Salsabila
Penulis tidak akan berbicara banyak. Penulis hanya mau menuangkan rasa ingin tahu. Barangkali para pembaca yang budiman berkenan untuk menjawabnya dengan tulisan pula. Penulis tidak akan bicara ndakik-ndakik. Penulis hanya ingin menyampaikan apa yang bersarang di pikiran, tentang pemilihan umum dan demokrasi di kampus hari ini. Dua tahun penulis melihat secara langsung keadaan kampus yang setiap harinya seperti sama saja, tanpa ada pembaharuan, tanpa ada upgrading dalam kebijakan-kebijakan politik mahasiswa.
Untuk Apa Partai Mahasiswa Ada?
Pesta demokrasi kampus sebentar lagi akan digelar. Pemilihan Umum Raya (Pemira) tahun 2024 akan segera terlaksana di kampus ini. Tinggal menunggu hitungan hari dan perguliran birokrasi mini akan dimulai. Partai-partai politik mahasiswa sudah nampak melakukan reorgansasi kader-kader barunya, itu pertanda mereka sudah mempersiapkan banyak hal untuk menyambut ujung tombak kepengurusan.
‘Kemungkinan’, mereka sudah merancang banyak strategi untuk berselebrasi di momentum besar yang hanya satu kali mereka rayakan. Terutama, ‘kemungkinan’ memperkirakan nama-nama yang diajukan ke Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM), nama-nama yang dianggapnya kredibel dan layak untuk memimpin jalannya birokrasi mini kampus, serta nama-nama yang bisa menunjang popularitas partai untuk dapat bertahan di Pemira tahun mendatang.
Penulis ingat saat duduk di semester 3 lalu, sempat menanyakan kepada salah seorang dosen, partai itu untuk apa? Lantas ia menjawab, esensial partai adalah untuk pendidikan politik. Namun jika ditanya sekarang, apa benar orang-orang yang berpartai itu paham betul dengan keadaan politik hari ini? Penulis tidak tau. Bisa saja mereka paham betul dengan keadaan politik kampus yang sudah mulai bobrok mengikuti keadaan negara, namun ia enggan membicarakannya karena sudah berada pada posisi yang telanjur nyaman. Bisa jadi juga, kediamannya adalah sebuah sikap ketidaktahuan karena hanya sekadar ikut-ikutan nimbrung pembahasan tanpa mengerti konteks persoalan. Bukankah sangat menyedihkan?
Membahas tentang Pemira, penulis teringat obrolan ringan dengan seorang kawan di Jogja. Ia alumnus S1 di Universitas Indonesia (UI) dan kini sedang menempuh studi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia sedikit bercerita tentang situasi demokrasi politik kampusnya sekarang dan sebelumnya, ia membahas tentang mahasiswa tidak perlu berpartai untuk maju menjadi wakil mahasiswa. Hal ini terbalik dengan yang ada di kampus ini sekarang, yang menggunakan sistem birokrasi negara sebagaimana kampus-kampus PTKIN pada umumnya. Sistem yang dianut dengan melibatkan kumpulan-kumpulan partai yang perlu dipertanyakan keberpihakannya. Untuk mahasiswakah atau untuk parta?
Demokrasi Bobrok “Itu” Diadopsi Mahasiwa?
Katanya kampus adalah miniatur sebuah negara. Ia merepresentasikan bagaimana negara hadir dan membaur bersama rakyat. Pada dasarnya digunakan untuk belajar dan mencetuskan pemikiran-pemikiran yang segar dan terbuka, juga melahirkan para kontrukstor baru dalam tatanan negara guna memperbaiki kebijakan, penetapan, juga pengawasan dalam penerapan empat pilar demokrasi: legislatif, eksekutif, yudikatif, pers. Pikiran segar itu yang semestinya digunakan mahasiswa untuk belajar dan memikirkan inovasi trobosan baru dalam menegakkan suasana yang belum dijumpai sebelumnya di dalam kampus.
Penulis teringat dengan ungkapan sesesorang, salah seorang peserta dalam acara Program Legislatif Mahasiswa (Prolegma) yang diadakan Senat Mahasiswa (Sema) Universitas Negeri Salatiga. Peserta itu menyayangkan tentang tatanan birokrasi mini kampus yang masih berpangku dengan sistem bobrok yang digunakan negara. Bagaimana akhirnya kepentingan-kepentingan negara seolah ditunggangi kepentingan partai politik. Sebab-muasab inilah yang akhirnya membuat para wakil-wakil rakyat itu kebingungan memenuhi janjinya untuk mengabdi kepada rakyat atau kepada partai politik yang menyokongnya. Lantas ia menanyakan, “Apakah masih relevan sistem negara yang sudah bobrok itu menjadi acuan berlangsungnya demokrasi di dalam kampus?”
Sebentar, izinkan penulis menceritakan drama partai setiap tahun di saat Pemilu datang. Partai A dan B selalu mencari citranya dan belagak paling baik dan mampu menyampaikan aspirasi. Lalu mereka saling menjatuhkan dan bersaing dengan memperebutkan kursi di jejeran agung tatanan birokrasi mini kampus. Persis, sebagaimana tatanan negara membentuk birokrasi raksasa, yang katanya sekarang ini sudah bobrok dan tidak layak untuk menjadi acuan membangun negara. Sehingga pertanyaan penulis muncul, masih pantaskah demokrasi bobrok itu diadopsi mahasiswa?
Lalu ada sebuah keresahan untuk partai sendiri, yaitu perihal threshold. Kampus bukan hanya menerapkan dunia partai, tapi juga dengan membentuk ambang batas yang semakin mempersempit langkah mahasiswa yang ingin mencalonkan dirinya. Bahkan di negara ini, threshold masih menjadi polemik yang terus dibicarakan jelang tahun-tahun politik. Lantas kenapa kampus terus-terusan mengikuti langkah demikian?
Ketua Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2019-2024, La Nyalla Mahmud Mattalitti, pada 2021 lalu menyampaikan, ada empat poin penting yang perlu diperhatikan dalam penerapan Presidential threshold. Pertama, hanya akan memunculkan dua pasangan calon yang head to head. Kedua, mengerdilkan potensi bangsa. Ketiga, berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Keempat, partai kecil cenderung tak berdaya di hadapan partai besar terkait keputusan tentang calon yang akan diusung bersama. Empat pernyataan itu cukup relevan, walaupun dalam hakikatnya penulis menolak poin nomor empat dan tetap pada penegasan untuk apa partai itu ada? “Terutama” dalam lingkaran mahasiswa.
Semua Memiliki Kebebasan Untuk Berkontestasi
Bulan-bulan panas mengiringi berakhirnya puncak tahun 2024 dan situasi politik mahasiswa masih adem nyeyet. Penulis khawatir, mungkin Pemira tahun ini akan masih sama dengan tahun-tahun lalu, tidak memperoleh suara lebih dari 50% keseluruhan jumlah rakyat mahasiswa. Jika ditanya apa itu kesalahan dari birokrasi mini yang kurang mensosialisasikan ke rakyatnya? Penulis tidak tahu.
Cuma ada sedikit cerita yang mulanya membuat penulis cukup kaget. Beberapa teman yang penulis temui sudah bisa menghitung siapa orang-orang yang nantinya akan di ajukan oleh partai A-B-C sampe Z, sebelum adanya pengumuman resmi dari partai yang bersangkutan. Lalu mereka sudah bisa menebak kandidat mana saja yang nanti akan dimenangkan. Bukankah ia sangat hebat? Penulis ingin bertepuk tangan saat itu. Namun lambat laun, ternyata itu kemampuan biasa semua mahasiswa yang mengamati politik kampus. Mereka semestinya bisa untuk dapat membaca situasi tersebut.
Sehinggaa timbul satu pertanyaan lagi, apa sistem yang seperti itu yang akhirnya membuat mahasiswa abai dan enggan berkontestasi dalah perpolitikan mahasiswa? Mereka sudah tahu siapa pemenangnya dan siapa yang akan kalah. Sehingga rasa gejolak untuk memilih wakil-wakil mereka sudah redup sebelum dimulai.
Sudah seharusnya demokrasi berjalan tanpa embel-embel partai dan ambang batas. Seharusnya mahasiswa dapat mengajukan diri mereka sendiri dengan kebesaran diri mereka, tanpa tameng, tanpa aliansi, tanpa infus-infus yang merusak pikiran dan gagasan yang berujung dengan merusak kepentingan-kepentingan umum mahasiswa. Sudah saatnya kampus berbenah dan membangun hal baru yang dapat membuka pemikiran mahasiswa, bukan asal terpaku pada penyelesaikan kegiatan semata, sehinga hal-hal yang sifatnya penting malah terabaikan tanpa nilai diplomatis.
Pemira itu memang omong kosong.
Saya jadi teringat pengalaman pemira tahun lalu bahwa salah seorang teman saya yang bergabung dalam partai A, setelah diadakannya pemungutan suara, mengirim pesan pribadi untuk menanyakan siapa saja yang saya pilih? Saya lantas bertanya, untuk apa? Si teman saya ini menjawab, untuk kebutuhan memperkirakan hasil suara yang diperoleh. Sungguh lucu.
Wkwkwk tulisan yang mengkritik dan menggelitik
Senat harusnya paham yang dimaksud ya. Udah 2 tahun peralihan statuta belum juga undang-undang ditransformasi ulang. Formulasi baru boro-boro, ada isu kebangsaan aja ga kebahas. Narasi miskin, socmed cuma buat ucapan ulang tahun dan proker (mana gak nyambung sama fungsi legislasinya). Udah ketebak nanti yang menang 3 partai kemarin lagi. Sebaiknya partai lain gausah daftar, ngabisin materai ampe puluhan ribu, eh ga kepilih.
Pemilihan online dulu karena pandemi, sekarang udah normal urgensinya apa ya KPUM? TAKUT GABISA SETTING SUARA YA?? Masa iya yang boleh mantau cuma ketua dan yang punya server. Apa itu TPS di UU Pemira? Pokoknya terima beres sama yang punya kuasa server.
Enak betul, juragan mah beda sama mahasiswa jelata yang ga punya akses nikmatin dana dipa jalur ormawa. Sukses deh oligarki kecil-kecilannya. Makan semua tuh kekuasaan sampe obesitas.