Merawat Ilalang: Merawat Ingatan Melalui Buku dan Pameran

Diskusi kegiatan bertajuk “Merawat Ilalang” di Tanasurga Cafe, Sidomukti, Salatiga (Sumber Foto: Izlal/DinamikA).

Klikdinamika.com– Simpul Salatiga menggelar kegiatan bertajuk “Merawat Ilalang” yang berfokus pada korban tindak kekerasan 1965 di Tanasurga Cafe, Sidomukti, Salatiga, melalui diskusi buku dan pameran karya, Selasa (3/12/2014).

Kegiatan bertajuk “Merawat Ilalang” digelar sebagai usaha untuk mengingat sesuatu yang mulai terlupakan di kalangan bangsa Indonesia mengenai peristiwa kekerasan di tahun 1965. Dalam kegiatan ini terdapat diskusi buku oleh penulis buku Mandara dan Sagara, Widi, pameran karya oleh Adrian Mulya.

Widi mengungkapkan, dirinya ingin membuat anak muda mulai berpikir kritis merawat ingatan soal perisitiwa pada tahun 1965.

“Kenapa ’65? Pertama saya ingin mengarsipkan keluarga, karena itu yang terjadi di keluarga. Saya pengen generasi muda untuk berpikir kritis untuk merawat ingatan bahwa negara pernah melakukan kesalahan terhadap rakyatnya karena selama ini narasi utama yang diciptakan ya gitu PKI salah,” terang Widi.

Widi menambahkan, dengan tulisannya ini ia memberikan pilihan dalam melihat peristiwa 1965 melalui sudut pandang lain.


“Mandara dan Sagara ngasih opsi lain, kemungkinan lain, sudut pandang lain bahwa ada sesuatu yang lain, topik yang lain begitu. Diharapkan dengan narasi-narasi itu teman-teman muda berpikir kritis tentang segala sesuatu yg terjadi, nggak cuma konteksnya negara, apapun. Jadi nggak hanya percaya terhadap satu saja tapi lebih ke banyak hal,” tambahnya.

Adrian Mulya, Editor Foto Project Multatuli memamerkan 3 bentuk karyanya tentang perempuan penyintas 1965.


“Jadi, karya saya ini terbagi atas 3 karya, yang pertama itu bentuknya foto video dokumenter yang dibuat di tahun 2005 sampai 2012 kira-kira. Kemudian buku, ini dibuat kira-kira dari tahun 2007 sampai terbit tahun 2015. Selanjutnya, 20-70: Two-Fold Story yang artinya kisah manusia yang terpaut usianya yang satu 20 tahunyang satu 70 tahun dimana mereka saling ngobrol, bertukar cerita pengalaman yang saya gambarkan di foto ini,” jelas Adrian.

Adrian menyampaikan bahwa alasan ia membuat karyanya dengan mengambil tema perempuan penyintas ’65 karena dirinya ingin menyebarkan warisan melalui karyanya, agar tidak hilang dari sejarah, sedangkan para penyintas sudah banyak yang meninggal.


“Karena persoalan ini sampai sekarang masih belum selesai, penyintas satu persatu sudah banyak yang meninggal tapi namanya itu belum dibersihkan. Jadi itu kan salah satu tuntutan dari korban, pemulihan nama baik termasuk pelurusan sejarah. Itu juga yang mendorong saya membuat karya ini, istilahnya menyebarkan warisan ingatan legesi dari para mbah-mbah ini supaya teman-teman muda bisa tahu cerita-cerita ini,” terangnya. (Aini/Niha/red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *