Patgulipat Transparansi PBAK Terkelipat

Ketidak kondusifnya PBAK 2025. Di mana saat penampilan UKM di panggung, dibarengkan dengan waktu sholat dan makan. (Sumber Foto: Izlal).

Oleh: Izlal Nabil, Inatsa Dzikraa Ramadhan, Rifka Sabila Alfiana 

“Kan 11 12 sama kek pemerintahnya. Anti kritik, uppss. Giliran kritik pemerintah aja paling kenceng tapi kelakuannya engga jauh beda. Kata gua berbenah, sebelum tahun banyak yang mikir2 buat masuk UIN,” keluh salah seorang mahasiswa dalam akun @uinsalatiga.parkir.

Pengenalan Budaya Akademik dan  Kemahasiswaan (PBAK) telah usai pada sabtu (23/8/2025) malam,  yang ditutup dengan acara sholawatan. Beberapa hari ini, mulai muncul banyak keluhan dan kritikan terkait kegiatan PBAK, baik dari Mahasiswa Baru (Maba), kakak asuh, bahkan juga dari teman-teman Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). 

Kritikan demi kritikan disampaikan di laman komentar akun instagram @pbakuinsalatiga, namun seolah-olah kritikan tersebut hanya dianggap angin lalu saja. Tidak ada tanggapan dari pihak panitia terhadap kritikan yang disampaikan. Bahkan, sekarang komentar di laman akun instagram @pbakuinsalatiga sudah dihapus ludes tanpa sisa.

Tidak kehilangan cara, para Maba, kakak asuh, maupun teman-teman UKM beralih ke akun @uinsalatiga.parkir untuk menyampaikan keluhan dan juga kritikan terkait kegiatan PBAK. Namun, suara-suara itu tetap saja terhempas tanpa balasan. Panitia—yang sebagian besar adalah pengurus Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema)—bersikap bagai orang tuli yang enggan menoleh dan buta yang menutup telinga rapat-rapat. Bukan hanya tidak mau mendengar, sekadar melirik pun mereka seolah tak sudi.

Sejak tulisan “Ritual Pemanggil Mahasiswa” bagian satu dan dua terbit, dan atau maraknya keluh kesah dari Maba, UKM, mahasiswa umum. Mungkin hingga tulisan ini terbit, pihak panitia sama sekali tidak mengeluarkan klarifikasi atas apa yang sedang terjadi. Diamnya, tidak sama sekali memberikan solusi.

Kelalaian Menahun yang Terus Dijaga

Penulis menilai pelaksanaan PBAK tahun ini tidak jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Bukan hanya karena jadwal acara yang molor dan merugikan penampilan UKM, tetapi juga karena kelalaian panitia yang terulang dari tahun ke tahun.

Briefing dilakukan berkali-kali, kesepakatan dicoba dibangun, namun nihil hasil. Keterlambatan semakin diperparah oleh hujan, membuat UKM lagi-lagi menjadi pihak yang dirugikan. Ironisnya, panitia seperti tak pernah belajar dari kesalahan lama. Antisipasi terhadap cuaca buruk nyaris tak terlihat.

Anggaran besar yang seharusnya dialokasikan untuk menjamin kelancaran acara justru dihabiskan menyewa tenda berkualitas rendah. Padahal, tahun lalu peristiwa serupa sudah terjadi: tenda mudah bocor, mudah patah, dan gampang terbang tertiup angin. Alih-alih mengambil pelajaran, kesalahan yang sama secara sadar diulang, seolah menjadi tradisi.

Ketika hujan deras turun, semua berantakan. Lebih parah lagi, panitia tidak segera turun tangan. Arahan dan solusi yang ditunggu tak kunjung hadir. Mereka baru muncul setelah situasi sudah kacau: tenda bocor dan barang-barang UKM rusak. Mereka datang bak pahlawan kesiangan.

Akibatnya, UKM Fair yang semestinya menjadi ruang apresiasi dan perkenalan, berubah menjadi formalitas belaka. Hanya tempelan seremonial, seperti toping yang bukan pelengkap.

Transparansi Anggaran Tak Kunjung Dikeluarkan

Jelang PBAK, Dema serta panitia PBAK UIN Salatiga mengunggah pengumuman pada akun Instagram @pbakuinsalatiga. Isinya informasi mengenai pembayaran yang wajib dilakukan setiap Maba yang hendak mengikuti serangkaian acara PBAK. Nominalnya sebesar Rp 200.000. Dalam takarir postingan tersebut, biaya itu sudah termasuk merchandise, kaos, hiburan, konsumsi, serta dana muawanah. Namun sayangnya hingga tulisan ini terbit, pihak panitia maupun Dema tidak ada satupun yang memaparkan transparansi dana anggaran yang telah dibayarkan oleh peserta secara detail kepada publik. 

Sebanyak 2.623 mahasiswa baru mengikuti rangkaian acara PBAK pada tahun ini. Jika uang registrasi sebanyak Rp. 200.000 dikalikan jumlah mahasiswa baru yang mengikuti rangkaian PBAK, maka uang yang dipegang oleh panitia PBAK sebanyak Rp. 524.600.000 Jumlah yang sangat fantastis bagi sekumpulan panitia. Ditambah lagi, melalui salah satu story Instagram dari @uinsalatiga.parkir—meski kami tidak dapat membenarkannya secara utuh—dana PBAK di luar peserta, seperti dana yang didapat dari sponsorship brand Oronamin C dan Fitbar, taksirannya bisa berkisar hingga puluhan juta.

Ketika PBAK berlangsung, peserta mendapatkan kaos serta merchandise berupa totebag, gantungan kunci, dan stiker seperti yang telah dijanjikan. Selain itu, peserta juga mendapatkan makan sekali dalam sehari. Tetapi, tak seperti tahun 2021 silam, Dema IAIN Salatiga menjabarkan transparansi anggaran registrasi peserta yang berkisar 50.000 rupiah, dengan rincian dana muawanah sebesar 15.000 ribu rupiah dan dana operasional sebesar 35.000 rupiah. Lantas, ke mana perginya rincian dana muawanah beserta dana lainnya pada PBAK tahun ini?

Panitia maupun pihak DEMA UIN Salatiga sudah sepatutnya memberikan transparansi anggaran yang jelas dan bisa diakses oleh publik, karena keterbukaan informasi publik telah dijamin oleh undang-undang. Dalam UU Nomor 14 Tahun 2008, Pasal 2 (1) menyatakan, “Setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik”. UIN Salatiga sebagai institusi publik seharusnya patuh dan taat terhadap regulasi yang ada. Maka, tidak perlu pihak panitia maupun Dema menutup diri mengenai keterbukaan informasi anggaran PBAK.

Keterbukaan dalam anggaran PBAK dapat meminimalisir terjadinya tuduhan liar terhadap pihak penyelenggara PBAK. Jika transparansi dana tidak dilakukan, maka publik bisa saja berspekulasi bahwa panitia telah menyalahgunakan uangnya untuk kepentingan pribadi. Ketika publik telah berspekulasi, maka, ini dapat menjadi bumerang bagi pihak penyelenggara dan Dema UIN Salatiga. 

Mengulas kembali yang santer dibicarakan—meski kami tidak dapat membenarkannya secara utuh—dana PBAK dari luar peserta, dan juga di luar sponsorship, taksirannya hingga ratusan juta. Untuk itulah, daripada menjadi kecurigaan yang terus besar, atau bagai api yang membakar hingga menjadi abu—simbol hilangnya kepercayaan mahasiswa terhadap para penyelenggara PBAK—perlu akhirnya semua dibuka pertanggungjawaban konkret.

Kolom Komentar yang Ditutup Hingga Komentar yang dihapus

Hasil screenshot dari akun instagram @demauinsalatiga

Mahasiswa mestinya menjunjung idealisme, seperti yang dikatakan Tan Malaka: “Idealisme merupakan kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda”.  Namun, tampaknya Panitia PBAK 2025 tidak demikian. Panitia lebih gemar menutup telinga. Kritik yang ramai di kolom komentar akun resmi @demauinsalatiga dan @pbakuinsalatiga tak pernah benar-benar muncul ke permukaan—sebagian raib, sebagian dibungkam.

Salah satu cerita dalam akun Instagram dari cerita akun Instagram  @uinsalatiga.parkir menjadi saksi:

“Acara gak jelas memangnya kita sebagai Maba nilai apa yang bisa dipetik dari kegiatan gak jelas ini. Yang ada kami sebagai maba hanya dirugikan dari penugasan dan kalian hanya memeras dari penjualan air kotor UIN salatiga yang rasanya gak enak . Panitia gak jelas semua. Daripada kalian nyalahin pemerintah dan berkoar koar gak jelas mending kalian liat diri kalian sendiri kayaknya gak jauh beda dari pemerintah.”

Kalimat pedas itu lalu diberi bumbu tambahan:

“Ckckck, PANITIANE DO ANTI KRITIK TA? NGAPAIN NGAPUSIN KOMENAN? BEN RA KETOK BOSOK E? OPO PIE? (Ckckck, Panitianya pada anti kritik kah? Ngapain ngapusin komenan? Biar tidak terlihat buruknya? Apa bagaimana?)

Ironi bertambah lengkap ketika Dema menutup kolom komentar di unggahannya sendiri, seakan feodalisme dan anti kritik adalah syarat utama masuk ke kepanitiaan.

Tidak banyak yang diinginkan para pengkritik. Mereka hanya menuntut hal yang paling mendasar: klarifikasi dan transparansi. Ke mana larinya dana? Mengapa peraturan tidak jelas? Mengapa penugasan begitu tak masuk akal? Pertanyaan sederhana, jawabannya pun mestinya sederhana.

Namun yang tampak justru panitia yang sibuk playing victim. Merasa paling benar, ingin dihormati, tetapi menutup telinga rapat-rapat dari kritik. Sulit rasanya menghargai orang lain bila sekadar memanusiakan manusia saja mereka tak kuasa.

Maka, timbul pertanyaan yang ganjil tapi relevan: jangan-jangan, panitia PBAK-lah yang sebenarnya perlu di-PBAK-kan? Agar mereka belajar bagaimana menanggapi kritik, menyelesaikan masalah, dan menghadapi keluhan dengan kepala dingin. Bukankah mereka disebut-sebut sebagai “orang pilihan” dengan potensi besar? Lantas mengapa persoalan sederhana pun tak mampu mereka selesaikan? Entahlah, jalan pikiran yang menghindar ini membuat orang bertanya-tanya: apa yang mereka tunggu? Tikus bertelur?

Lebih jauh lagi, alih-alih menerima kritik sebagai masukan, ada panitia yang justru marah ketika keluhan mahasiswa dipublikasikan di akun @uinsalatiga.parkir. Bahkan ada pula yang menuduh akun tersebut hanya ingin mencari pengikut. Padahal, bukankah @uinsalatiga.parkir hanya menjadi corong alternatif ketika ruang aspirasi resmi ditutup paksa? Apa salahnya membantu menyalurkan suara yang dibungkam?

Kritik seharusnya menjadi bahan evaluasi. Tapi panitia memilih menutup mata. Kampus lain bisa belajar menghadapi kritik dengan cepat, mengubah masalah menjadi perbaikan. Di sini, kritik justru dianggap ancaman. Padahal, semua orang tahu: tidak ada acara yang sempurna. Kekurangan pasti ada. Menolak kritik justru adalah kesalahan yang paling fatal.

Kritik bukan musuh. Kritik adalah tanda bahwa ada yang peduli. Maka, jika panitia merasa benar, buktikan dengan klarifikasi—bukan dengan bersembunyi.

Kapan Panitia Memberikan Tanggapan?

Di titik inilah pertanyaan paling sederhana berubah menjadi doa yang tak terkabul: kapan panitia akhirnya bicara? Atau mereka memang lebih suka diam, menghibur diri dengan keyakinan bahwa diam adalah emas—padahal emas kini sudah berkarat?

Diam panitia bukanlah sikap bijak, melainkan keangkuhan yang dibiarkan tumbuh. Semakin lama bungkam, semakin tebal pula kesan bahwa mereka memang tak punya jawaban. Atau jangan-jangan, bukan tak mau menjawab, melainkan tidak mampu? 

Sementara mahasiswa menunggu jawaban, panitia justru tampak sibuk merawat sunyi. Bagi mereka, suara mahasiswa barangkali hanyalah dengung nyamuk yang mengganggu tidur siang. Namun mereka lupa: seekor nyamuk kecil mampu membuat malam panjang terasa tak nyaman, bahkan bisa membuat seseorang terjaga semalaman.

Lebih dari sekadar jawaban, yang ditunggu sebenarnya adalah keberanian. Keberanian untuk mengakui kekeliruan, keberanian untuk menanggapi kritik, keberanian untuk bertanggung jawab. Sayangnya, keberanian itu entah disembunyikan di mana.

Jika diam terus menjadi pilihan, panitia tak ubahnya kapal tanpa nahkoda—tampak besar, tapi kehilangan arah. Pada akhirnya, mahasiswa baru akan belajar satu hal pahit dari PBAK tahun ini: bahwa mereka tidak sedang diperkenalkan pada budaya akademik, melainkan pada budaya feodalistik.

Pada akhirnya, yang diminta mahasiswa bukanlah mukjizat, melainkan hal paling sederhana dalam tata kelola: transparansi. Transparansi soal dana, aturan, dan keputusan yang dibuat di balik meja rapat. Transparansi bukanlah keleluasaan, tapi kewajiban.

Panitia PBAK harus ingat, menyembunyikan informasi hanya akan menambah curiga. Membungkam kritik hanya akan memperlebar jarak. Klarifikasi yang ditunda sama saja dengan menabung kekecewaan.

Kampus seharusnya menjadi ruang belajar tentang kejujuran dan keberanian moral, bukan tempat latihan berkelit. Jika panitia terus memilih diam, reputasi akan lebih dulu runtuh sebelum acara berakhir. Transparansi bukan sekadar pilihan manis di brosur visi-misi organisasi, tapi fondasi kepercayaan. Jika kepercayaan itu luntur atau bahkan hilang, lantas apa lagi yang tersisa?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *