Sumber Foto: Grid.id
Oleh: Ahmad Ramzy
“Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” – Ki Hajar Dewantara.
Semboyan di atas memiliki arti bahwa yang berada di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dan yang belakang memberi dorongan. Makna kalimat yang diucapkan oleh Bapak Pendidikan Nasional Indonesia ini adalah bahwa seseorang yang berada di depan (red: pendidik) harus mampu menjadi panutan dan mampu memberikan contoh yang baik terhadap murid-muridnya, membangun semangat kemauan murid-muridnya dalam menuntut ilmu, dan pengajar harus mampu memberikan dorongan berpengaruh agar murid-muridnya tetap berada di jalur yang benar dalam menuntut ilmu.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu mencerdaskan dan menyelamatkan masa depan kehidupan bangsa, di tengah ancaman ketimpangan dan penindasan yang terus melanda. Pendidikan merupakan elemen paling fundamental didalam kehidupan sosial bermasyarakat, namun orang yang tidak berpendidikan bukan berarti tidak mengetahui segala sesuatu yang ada di dunia ini, bahkan orang yang berpendidikan sekalipun tidak selamanya mampu mempraktekkan apa yang telah dipelajari.
Orang yang berpendidikan akan menjadi tumpuan dan sorotan di tengah masyarakat, mereka dianggap sebagai seorang yang mampu mengubah ketidaksesuaian hidup banyak orang. Namun, jika kita melihat kualitas pendidikan yang ada di Indonesia, pendidikannya masih tergolong cukup rendah, bahkan di Indonesia pendidikannya belum tersebar secara menyeluruh hingga ke daerah terpencil. Tidak hanya itu, kualitas dari para pengajarnya juga masih banyak yang belum berkompeten untuk menjadi pengajar. Permasalahan inilah yang akhirnya berefek terhadap rendahnya kualitas SDM di negeri ini.
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia tidak terlepas karena kurangnya menyesuaikan kesadaran akan realitas. Kebanyakan dari pendidik lebih mengutamakan kuantitas bahan ajar saja tanpa memikirkan kemampuan masing-masing anak. Hal ini juga menimbulkan ketidaksiapan seorang anak terhadap lingkungan di sekitarnya, padahal murid-muridnya tersebut harusnya disiapkan untuk mengatasi berbagai masalah yang berada di sekitarnya.
Metode Hadap-Masalah vs Metode “Gaya Bank”
Pemikiran revolusi Paulo Freire mengenai metode pendidikan hadap-masalah adalah kunci untuk menjadikan seorang murid mampu bersikap kritis dalam menghadapi masalah dan memecahkannya. Metode yang menekankan kesadaran peserta didik ini adalah bentuk perlawanan dari konsep “gaya bank” yang justru dianggap oleh Freire sebagai metode pendidikan yang menindas dan sangat sering digunakan hingga saat ini. Pendidikan “gaya bank” yang dimaksud adalah pendidikan yang tidak melihat anak didik sebagai yang dinamis dan punya kreasi tetapi mereka dianggap hanya seperti sebuah wadah yang akan menerima segala sesuatu yang diajarkan oleh gurunya, dan hal ini menimbulkan kesan bahwa anak didik hanya akan “menabung” atau menghafalkan seluruh penjelasan yang telah diajarkan tanpa memahaminya.
Dalam metode pendidikan “gaya bank”, pengetahuan adalah sebuah hadiah yang diberikan oleh mereka yang merasa dirinya berilmu (red: pendidik) kepada mereka yang dirasa tidak berilmu (red: anak didik). Dengan kata lain pendidikan “gaya bank” ini menganggap manusia sebagai mahkluk yang mudah disesuaikan dan diatur. Metode ini adalah alat untuk menyamarkan suatu kesadaran manusia terhadap sifatnya yang sosial. Metode “gaya bank” bisa dikatakan sebagai metode yang memaksakan anak untuk berkompetisi mendapatkan sebuah predikat rangking sebagai siswa yang mampu mengetahui banyak hal.
Mengenai metode pendidikan hadap-masalah, metode tersebut sebagai pendidikan alternatif yang harus digunakan agar terciptanya kesadaran manusia terhadap kehidupan sosial disekitarnya. Metode ini pula termasuk di dalam tahap untuk menguji suatu hasil ilmiah dengan membenturkannya dengan realitas, realitas tersebut meliputi nilai sosial, budaya, politik, seni, dan lain-lain. Konstruksi metode pendidikan ini menghantarkan orang-orang untuk keluar dari belenggu penindasan.
Ruang-ruang berdiskusi adalah jawaban yang mampu merefleksikan sebuah sikap seorang murid untuk bebas berpendapat mengenai permasalahan yang relevan di masyarakat. Pendapat-pendapat dalam diskusi akan menimbulkan sebuah pengalaman berpikir dalam memecahkan sebuah masalah secara bersama-sama, pendidikan juga bukan hanya persoalan belajar dan mengajar, tapi pendidikan pun harus mempersoalkan bagaimana nantinya seorang terpelajar tersebut mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Metode Among dalam Praktik Pendidikan
Metode ini merupakan konsep yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, konsep ini sangat mirip sekali seperti halnya konsep pendidikan hadap-masalah Paulo Freire. Among dalam bahasa Jawa yaitu mong atau momong yang artinya mengasuh anak. Peran pengajar bertugas untuk mengasuh dan juga mendidik anak didiknya seperti anaknya sendiri. Dalam pelaksanaan metode ini, setelah anak didik menguasai ilmu, mereka didorong untuk memanfaatkannya dalam masyarakat, didorong oleh cipta, rasa, dan karsa.
Metode Among merupakan konsep pendidikan yang berjiwa kekeluargaan, serta bersendikan terhadap dua dasar, yaitu: kodrat alam dan kemerdekaan. Metode ini awalnya digunakan di Taman Siswa, untuk mewajibkan guru supaya memperingati dan mementingkan kodrat-irodat terhadap anak didiknya. Pada dasarnya metode pendidikan Among adalah cara yang tidak menggunakan paksaan dan pengajar atau pendidik memiliki kewajiban mencampuri urusan anak didik jika si anak berada di atas jalan yang salah. Ki Hajar Dewantara dalam buku karyanya bagian pertama (1977: 13-14) dijelaskan tentang dasar pendidikan, pendidikan harus memakai dasar “orde en vrede” (red: tertib dan damai, tata-tentrem).
Pendidik wajib menjaga atas kelangsungan kehidupan batin sang anak, dan haruslah anak dijauhkan dari tiap-tiap paksaan. Namun demikian, pendidik juga tidak akan nguja (red: membiarkan) anak-anak. Pendidik berkewajiban untuk mengamati agar anak dapat tumbuh sesuai dengan kodrat. Hal itu dimaksudkan untuk mencegah bentuk tindakan-tindakan kejahatan yang akan diperbuat oleh anak didiknya.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan suatu wujud usaha kebudayaan dengan tujuan memberikan bimbingan dalam tumbuh hidupnya jiwa raga anak didik. Selaras dengan metode ini, Ki Hajar Dewantara juga memiliki pandangan tentang belajar mengenai konsep Tri Pusat Pendidikan. Ia mengatakan bahwa seorang anak didik tidak hanya semata-mata belajar di sekolah tetapi juga dalam keluarga dan masyarakat.
Seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan yang paling dasar berada pada rumah atau keluarga sendiri, pendidikan alam keluarga akan mendidik anak yang meliputi jasmani dan rohani. Dalam lingkup pendidikan sekolah, Ki Hajar Dewantara memaparkan agar pendidikan alam sekolah atau perguruan tidak hanya mempersoalkan sebuah intelektualitas peserta didik yang akan menimbulkan sifat tak berjiwa, yang besar pengaruhnya terhadap keegoisan dan sifat hedonis seorang anak.
Dengan metode Among, Ki Hajar Dewantara bermaksud pula agar pendidikan memperhatikan cipta, rasa, dan karsa tidak hanya sekedar proses transfer pengetahuan saja, tetapi sekaligus pendidikan harus dijadikan alat proses transformasi nilai. Hal ini berkaitan erat dengan watak anak didiknya sendiri yang beriringan dengan tujuan pendidikan Ki Hajar Dewantara yang menginginkan terciptanya manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya, serta sehat jasmani untuk bertanggung jawab sebagai masyarakat yang harus peduli terhadap lingkungan sekitarnya.
Revolusi Budaya, Revolusi Sumber Daya Manusia (SDM)
Mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan salah satu pokok untuk menciptakan dan memberikan nilai-nilai batin terhadap hidup masyarakat dalam hidup rakyat yang berkebudayaan kepada tiap-tiap turunannya, dengan maksud memajukan dan memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keseluruhan hidup manusia.
Para pembaca sekalian, pada zaman sekarang ini sebuah kebudayaan lokal sangat surut minat di dalam hidup masyarakat, padahal kebudayaan lokal adalah bentuk keberagamaan serta persatuan yang kita miliki di negeri ini. Tanpa adanya kebudayaan tidak akan ada yang namanya merdeka. Jika kita melihat nasib kebudayaan lokal pada zaman sekarang, perlu kita sadari bersama-sama bahwa melestarikannya sangatlah penting sekali untuk mempertahankannya dari nasib keredupan.
Surut minat kebudayaan diakibatkan pula dengan adanya arus kebudayaan barat dan timur, dua arus besar yang saling bertemuan ini menimbulkan pergolakan dalam generasi baru. Terutama arus budaya barat yang menghegemoni berbagai sektor, terkhusus sektor pendidikan. Kita dipaksa bertahan di dalam pusaran komersialisasi pendidikan, klasifikasi kecerdasan hingga penanaman sikap apatis terhadap lingkungan sekitar kita.
Aktivitas manusia adalah teori dan praktik; refleksi dan aksi. Praktik atau aksi yang dilakukan dalam bentuk dialog dengan masyarakat adalah perwujudan revolusi yang sebenarnya. Revolusi yang dimaksud merupakan kerja bersama dalam solidaritas yang teguh. Revolusi harus bersifat mendidik, tidak ada pendidikan maka tidak akan ada revolusi.
Revolusi ini dilakukan sebagai bentuk perlawanan dan mempertahankan diri dari ancaman negatif globalisasi, ancaman tersebutlah yang menciptakan sikap individualisme manusia terhadap kehidupan sosialnya. Tidak hanya itu, akibat globalisasi berujung terhadap termarjinalkannya budaya lokal dari ruang sosial anak muda. Lebih parahnya lagi, kemajuan teknologi banyak digunakan sebagai alat untuk memberhangus tata laku tradisi kebudayaan. Pada intinya era globalisasi memenjarakan kesadaran manusia terhadap lingkungan sosialnya termasuk kebudayaan manusianya sendiri, tersekap oleh ruang sempit dan dicekoki tentang keindahan halusinasi, yang disebut pula oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya yaitu Sapiens bahwa era globalisasi membawa manusia terhadap romantisme-konsumerisme.
Pola pikir anak zaman sekarang adalah bentuk nyata dari produk globalisasi, keterbukaan kita terhadap globalisasi selain membawa dampak baik, juga harus mengorbankan Kebudayaan Nasional yang semakin hari akan terdegradasi dari kehidupan kita. Untuk itulah perlu menanamkan konsep revolusi budaya, terutama revolusi budaya mengenai SDM yang harus mampu dibenahi oleh seorang pengajar, karena revolusi budaya adalah usaha paling maksimal untuk memperoleh kesadaran akan realita yang terjadi di zaman sekarang dengan menggapai semua orang secara wajib. Memberikan ruang berdialog, membebaskan anak didik tanpa melupakan sifat pengawasan, memberikan modal semangat untuk mereka terutama memberikan kesadaran akan pentingnya membaca, berkarya, melestarikan budaya serta membenturkan mereka terhadap realitas. Semua hal itu harus dilakukan tanpa menggunakan sifat otoriter.
Pembahasan ini berkaitan dengan pembahasan sebelumnya mengenai metode pendidikan hadap-masalah dan metode pendidikan Among, tentu pula untuk menciptakan revolusi budaya, revolusi tersebut harus sangat menjurus sekali terhadap metode pendidikan yang salah. Peran pengajar atau seorang revolusioner haruslah memahami sebuah perubahan yang diinginkan oleh anak didiknya bukan melanggengkan metode klasik yang cenderung memenjarakan hak ilmu pengetahuan terhadap manusia.
Rendahnya kualitas SDM di Indonesia tidak terlepas dari kualitas literasi dari peserta didik, terkhusus pengajarnya juga. Menurut Program for Internasional Student Assessment (PISA) pada tahun 2020 budaya literasi di Indonesia masih tergolong rendah, menempati posisi 62 dari 70 negara.
Kepedulian terhadap realita bisa kita pupuk melalui buku-buku bacaan, berkreasi, serta melestarikan kebudayaan. Alternatif pendidikan akan berjalan baik jika kualitas pengajar dari segi literasi dan pelestarian budaya lokalnya sudah baik, mereka harus mampu menyokong kualitas anak didiknya hingga berefek dengan meningkatnya SDM di negeri ini. Budaya membaca dan kebudayaan lokal yang dilestarikan akan mengurangi distorsi yang sifatnya menghantui manusia untuk tidak acuh dengan lingkungan di sekitarnya.