Kenaikan Harga Beras di Tengah Negara Agraris: Bagaimana Warga Indonesia Menjadi Ketergantungan Nasi?

Pekerja di pabrik beras (Sumber Foto: Kompas.id).

Oleh: Joysi Rain Rosadi

Dewasa ini kita cukup diherankan dengan kenaikan harga beras yang kian meninggi. Masalah harga beras naik memang bukan kali ini saja, dari tahun ke tahun, isu kenaikan beras kerap muncul. Budaya makan warga Indonesia yang menyebut, “belum makan, kalau nggak makan nasi”membuat hampir seluruh masyarakat Indonesia selalu bergantung nasi sebagai jalan satu-satunya memenuhi kebutuhan karbohidratnya. Kebiasaan selalu makan nasi inilah yang sebenarnya menjadi kontroversi saat beras mengalami kenaikan harga dan sebagian masyarakat masih berat mengganti makanan pokok lain dengan nasi.  

Mirisnya lagi, negara kita dengan menyandang gelar negara agraris–di mana lahan pertanian terutama komoditas padi berjejer. Namun, hal tersebut justru tak membuat beras menjadi barang murah meriah yang bisa dibeli untuk semua kalangan.

Sejarah Masuknya Padi di Indonesia

Kalau kita telisik lebih dalam, menurut catatan sejarah, padi bukanlah tanaman asli Indonesia. Beras diperkirakan sudah ada di tanah air sejak zaman kerajaan Hindu-Budha. Saat itu, padi dibawa para pedagang dari Tiongkok dan India, yang kemudian ditanam oleh masyarakat Indonesia. Cerita tentang budidaya padi di Indonesia dapat dilihat dalam relief Candi Borobudur, yang menggambarkan nenek moyang kita adalah petani yang terampil. Kisah budidaya padi juga terdapat dalam naskah kuno Nusantara.

Selain itu, karakteristik padi juga cocok dengan kondisi geografis Indonesia, di mana padi sendiri dapat ditanam dengan baik di lingkungan basah. Kondisi itulah yang membuat nenek moyang negara ini mengembangkan komoditas padi untuk dijadikan sebagai makanan pokok.

Konsumsi padi juga menyeluruh saat itu, dari kalangan rakyat jelata, umum, bahkan raja juga menikmati padi yang diolah menjadi nasi. Jadi, padi sendiri bukan tanaman pangan asli Indonesia. Makanan pokok Indonesia kala itu ada beragam seperti sagu, jagung dan umbi-umbian.

Sejak Dahulu Nasi Sudah Menjadi Makanan Pokok Satu-satunya?

Walaupun nasi sudah melekat di masyarakat Indonesia, ironisnya hingga kini kebanyakan masyarakat belum tahu bahwa dulunya makanan pokok sebagian warga Indonesia lebih beragam. Tiap daerah punya khas makanan pokoknya, tidak melulu beras. Beberapa di antaranya seperti ubi jalar, tepung sagu, jagung, tiwul, dan masih banyak lagi sebelum dominasi beras menyerang.

Sumber Foto: merdeka.com

Pola makan warga dulunya terbentuk dari hasil interaksi lingkungan. Pada saat itu, perbedaan komoditas non beras disebabkan oleh berbagai faktor seperti jenis tanah yang cocok tidak cocok di daerah tertentu, ketinggian wilayah, curah hujan, dll. Dengan kondisi dan kekayaan alam Indonesia yang melimpah, tidak mengherankan jika setiap daerah sebenarnya memiliki komoditas makanan pokok beragam sendiri.

Kronologi, Mengapa Kita Kecanduan Makan Nasi?

Berawal dari era demokrasi terpimpin (1960-1970) pada saat dipimpin Soekarno, saat itu Indonesia mengalami krisis ekonomi dan juga kekurangan beras. Selanjutnya, di masa Orde Baru (Orba) pemerintah menggembor-gemborkan upaya menaikkan produksi pangan di Indonesia. Hal itu dilakukan dengan membuat program seperti Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I-III, Swamsebada Beras, bahkan Revolusi Hijau.

Sumber Foto: tirto.id

Pemerintah kala itu, nampaknya tidak ingin jatuh ke lubang krisis lagi. Mereka sedikit waswas terhadap harga beras di dekade 1970-an, di mana beras tidak stabil dan belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Hal itu membangun citra seakan kelangkaan beras hal yang harus dihindari oleh pemegang kekuasaan. Tak dapat dipungkiri, memang situasi pada akhir 1960-an, beras mendapat hati tersendiri di masyarakat. Harga beras diasumsikan masyarakat merupakan barometer kemampuan pemerintah dalam memelihara stabilasi ekonomi dan sosial, sehingga mempengaruhi perilaku para pelaku pasar dan masyarakat.

Sebab beberapa hal di atas, Soeharto merilis program Repelita I untuk menggenjot kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar penduduk hidup dari hasil pertanian. Peningkatan produksi pangan bertujuan agar Indonesia dalam beberapa waktu ke depan, tidak perlu mengimpor beras lagi–seperti saat demokrasi terpimpin.

Lewat Revolusi Hijau, dicanangkanlah Swasembada pangan. Selain itu, dengan melihat bahwa Indonesia negara agraris, maka dipilihlah beras untuk mencukupi kebutuhan pangan negara. Hal tersebut juga dilakukan lantaran pemerintah berambisi mengimpor komoditas beras, demi menstabilkan ekonomi negara. Swasembada yang digalakkan Soeharto kala itu, memliki ambisi melakukan penanaman padi sebanyak mungkin di seluruh penjuru Indonesia, serta ingin menyeragamkan konsumsi pangan masyarakat menjadi beras.

Awalnya, program ini memang berjalan dengan baik bagi ketahanan pangan nasional. Bahkan, pada tahun 1986, untuk pertama kalinya kita secara spektakuler berhasil Swasembada beras. Hal tersebut mengantarkan Presiden Soeharto memperoleh penghargaan dari badan pangan dunia Food and Agriculture Organization (FAO). Nah, di balik program-program dan keberhasilan Swasembada pangan inilah budaya konsumsi masyarakat Indonesia berubah. Masyarakat yang awalnya terbiasa mengkonsumsi beragam makanan-makanan pokok khas, beralih mnejadi satu makanan pokok; beras. Penyeragaman makanan pokok bisa dibilang sukses menjadikan beras mendominasi makanan pokok di Indonesia.

Miris, beras di masa tersebut malah menjadi seperti komoditas politik oleh pemerintah. Program Swasembada tersebut menargetkan seluruh daerah di Indonesia dari Sabang-Merauke, diharuskan menanam padi untuk mensukseskan program ini. Akibatnya, komoditas selain non beras seperti; jagung, sagu, sorgum, dll mengalami penurunan jumlah konsumen. Lantaran hal tersebut, komoditas non beras seakan tak bernilai. Para petani mulai beralih menanam padi, karena jumlah peminat yang kian meningkat dibanding komoditas makanan pokok lain.

Paradigma masyarakat mulai berubah, beras dinilai menjadi makanan kasta tertinggi sosial dan simbol kemakmuran. Orang yang makan selain beras, maka dianggap tidak makmur. Ditambah lagi, pemerintah memperparah keadaan dengan memberi beras jatah untuk rakyat miskin di seluruh Indonesia. Sebab itulah, lama-kelamaan makanan non beras mulai ditinggalkan oleh masyarakat.

Melansir dari situs tirto.id, dalam wawancara bersama seorang warga Nusa Tenggara Timur (NTT), pada tahun 1975—kala usianya menginjak 10 tahun—sorgum masih tersedia di kalangan masyarakat umum. Namun, dalam kurun waktu dua tahun, sorgum mulai menghilang dan berganti beras. Dikisahkan pula bahwa sorgum pernah menjadi makanan pokok di daerahnya, namun sejak masyarakat pintar bercocok tanam padi, sorgum mulai dilupakan dan tidak ada nilainya. Bahkan, sorgum malah merambah menjadi pakan ternak.

Jadi, kini beras telah menjadi bagian dari budaya Indonesia sebagai kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Kini, melambungnya harga beras menjadi sebuah peringatan untuk tidak menggantungkan diri pada beras dan sedikit demi sedikit melirik makanan pokok non beras. Kita harus terus mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan ketahanan pangan produksi beras sudah tidak relevan lagi. Indonesia memiliki makanan pokok melimpah, diservikasi pangan harus segera digalakkan.

Terakhir, fokus pemerintah harus ditujukan ke masyarakat umum. Masyarakat butuh adanya program dan kampanye skala nasional yang harus didengungkan serta keberlanjutan untuk menghilangkan “cuci otak” budaya perihal beras yang salah kaprah sejak masa Orba.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *