Cincin Renyah, Penopang Hari

Pekerja yang sedang membungkus Potil Ketela (Sumber Foto: Izza)

Oleh: Izzatul Mahya

Berdiri kokoh sebuah rumah kecil dengan pilar-pilar kecil pula di ujung Dusun Kaligandu, Grabag. Tak ada bising-bising suara kendaraan, hanya suara burung berkicau dan angin berdesir. Begitu mata memandang ke dalam rumah, bungkusan-bungkusan potil tertata rapi dan apik. Begitupun dengan aromanya yang sangat sopan melintas menuju indra penciuman.

Di sanalah rumah produksi “Potil Ketela” yang telah dirintis oleh Muncholifah (52) sejak tahun 2007. Potil merupakan sebuah kudapan ringan yang otentik berasal dari Magelang. Bahan baku dalam pembuatannya adalah ketela yang kemudian ditumbuk halus hingga menghasilkan adonan putih nan lembut. Tak hanya itu, berbagai rempah-rempah juga dibubuhkan ke dalam adonan untuk menciptakan rasa yang gurih.

Mengunyah Waktu Bersama Potil Ketela

Kala pandangan mata mulai menyusup ke dalam rumah produksi, tampak seorang wanita yang telah berusia lebih dari setengah abad, duduk bersila, mengemas bungkus demi bungkus potil dengan cermat. Kegiatannya terhenti sejenak begitu saya megucapkan salam lalu masuk dan duduk di dekat tumbukan bungkus-bungkus potil. Kami pun memulai obrolan perihal berkembangnya jenama Potil Ketela yang telah Muncholifah cetuskan sejak 18 tahun silam. “Potil Ketela sekarang sudah menyebar ke berbagai kota, di seluruh Magelang, kemudian Kabupaten Temanggung, Ambarawa, dan Muntilan. Sama karyawannya sekarang sudah ada delapan orang yang membantu,” ujarnya pada Rabu (23/07/2025).

Potil Ketela mulai dikenal oleh masyarakat luas berkat kegigihan Muncholifah. Pada mulanya, ia hanya mengedarkannya di pasar, tetapi relasinya yang semakin meluas membuka peluang untuk memperkenalkan produknya ke swalayan-swalayan di sekitar Magelang. “Awal mulanya, produk Potil Ketela hanya saya edarkan di pasar. Tapi, saya mulai kenal banyak orang yang punya toko-toko dan saya edarkan di sana, terus sampai meluas hingga antar kota,” terangnya setelah mempersilahkan saya menikmati potil yang diletakannya dalam stoples yang terbuat dari bahan aluminium.

Muncholifah telah berhasil menciptakan pencapaian-pencapaian yang telah ia rancang berkat keuntungan dari mengelola potil ketela. Kedua anaknya berhasil ia sekolahkan hingga tamat Sekolah Menengah Atas (SMA). Tempat berteduhnya dari panas dan hujan pun telah ia ubah sedemikian rupa sesuai keinginannya. Namun, terselip satu keinginan yang belum ia wujudkan yaitu pergi ke tempat impian seluruh umat Muslim di dunia, Makkah dan Madinah. “Saya pengen usaha ini terus berkembang dan bisa mewujudkan cita-cita saya untuk pergi haji,” tuturnya disertai rasa haru yang tampak dari sudut matanya.

Usaha ini mulai tumbuh dan berkembang dari dapur sederhana, tetapi namanya telah tersohor ke berbagai daerah. Meski diproduksi dalam skala kecil, nama Potil Ketela tetap bergema di kalangan pecinta rasa. Keistimewaan tersebut terletak pada kekonsistenan rasa yang tak pernah berubah oleh waktu. Muncholifah selalu memastikan bumbu-bumbu yang ia bubuhkan dalam membuat potil tidak pernah ia kurangi, demi menjaga kelezatan yang khas dari potil itu sendiri. Meskipun, harga jual potil kian meningkat setiap tahunnya akibat harga bahan baku yang juga semakin melambung tak karuan. “Selama 18 tahun mengelola usaha, saya selalu menjaga kualitas produk. Bumbu nggah pernah ngurangin, timbangan nggak pernah ngurangin. Tapi kalau segala bahan baku harganya naik ya terpaksa harga potil naik. Naiknya itu setiap tahun,” tegasnya.

Rintangan dalam Memegang Kendali Usaha

Kami meneruskan obrolan setelah sempat terjeda saat ibu-ibu perwakilan dusun mendatangi rumah Muncholifah untuk mengutip uang tabungannya. Ia menceritakan keluh kesahnya dalam menjalankan roda usaha ini. Tantangan demi tantangan terus berdatangan, tetapi ia tetap menjalankannya dengan iklas dan sabar. “Tantangannya itu banyak persaingan antar bakul. Dia datang ke sini beli potilnya banyak, terus sampai rumahnya potilnya ditukar dengan potilnya dia yang jelek tapi pakai merek sini. Akhirnya jadi menurunkan citra potil sini,” ungkapnya menggebu-gebu.

Selain faktor tersebut, faktor dari dalam juga kerap terjadi. Ketela sebagai bahan baku tak selalu ia dapatkan dalam kondisi yang bagus. Alam yang selama ini menjadi sandaran dalam mengeringkan potil tak selalu bersahabat setiap waktu. “Kadang itu ketelanya ngganyong, nggak bagus, nggak melar kalau digoreng. Terus juga kalau cuacanya mendung terus, hujan terus wah itu saya susah sekali. Kalau potilnya kering tapi nggak kena matahari itu kalau jadi, rupane nggak bagus,” ujarnya dengan ungkapan kecewa di wajahnya.

Kendati demikian, pelanggan yang datang dan turut merasakan kelezatan Potil Ketela tak pernah surut, bahkan terus bertambah setiap tahunnya yang datang dari berbagai daerah. Begitu pula dengan keuntungan yang Muncholifah dapatkan setiap bulannya, tak pernah kurang untuk menggenapi kebutuhannya. Keping demi keping potil pada akhirnya menjadi tumpuan semua orang, baik itu Muncholifah sendiri, keluarganya, dan para penikmat rasa. “Meskipun setiap tahun harganya naik, pembelinya juga naik. Perbulan penghasilan bersih saya kurang lebih dua juta rupiah,” pungkasnya mengakhiri obrolan kami dengan senyum lebar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *