Anis: Jurnalis Muslim Harus Bisa Bahasa Arab

Ngaji Akbar Jurnalistik
Ngaji Akbar Jurnalistik
Ngaji Akbar Jurnalistik

Semarang (05/06), bertempat di Masjid Ar-Rohim, digelar sebuah acara dengan judul ‘Ngaji Akbar Jurnalistik’ pada pukul 10.00 WIB. Acara tersebut diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Literasi Islam Indonesia (WALI) dengan mengusung tema “Membangun Budaya Literasi Islam di Era Digital”.

Dalam acara tersebut, dibahas bahwa Islam membutuhkan pasukan yang siap bertempur di dunia maya maupun di dunia nyata. Hal tersebut, ujar Anis Maftuhin, Pimpinan Pondok Pesantren WALI, dilatarbelakangi oleh sikap umat Islam sekarang yang cenderung hanya menyerap, menciptakan, dan mengajukan argumen. Hal tersebut tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan zaman majunya peradaban Islam.

“Umat Islam yang digambarkan dalam media adalah umat Islam yang tidak toleran, penuh kekerasan dan identik dengan teroris. Karena apa? Jurnalis dan penulis skenario bukanlah orang Islam,” tuturnya.

Islam yang identik dengan sikap keren yang tasamuh tidak muncul dalam eksistensi kekinian. Hal tersebut tidak terlepas dari jurnalis yang menuliskan atau menggambarkan Islam secara global. Justru jurnalis yang menyampaikan informasi tentang Islam bukanlah orang Islam. Kemudian ini berakibat hilangnya budaya literasi Islam selama berabad-abad silam.

Anis juga mengungkapkan bahwa 99 % jurnalis dan redaktur di Indonesia orang Islam. Namun, apa yang disampaikan oleh jurnalis Indonesia masih belum menyoroti Islam seutuhnya. Jurnalis Indonesia masih berkiblat dengan apa yang jurnalis dunia barat tulis.

“Mereka (jurnalis Indonesia_red) berkiblat pada referensi media barat. Karena jurnalis Indonesia lebih mahir dalam Bahasa Inggris daripada Bahasa Arab. Hal itu membuat seakan-akan jurnalis kita bukanlah orang yang benar-benar Islam.”

Masalah referensi yang disebut-sebut, hal itu tentu berkaitan dengan beberapa berita yang akhir-akhir ini kurang tercover sempurna informasinya karena angle (sudut) penulisan. Seperti kasus-kasus Palestina yang penuh kontroversi, kasus tersebut dikupas tuntas oleh media Timur Tengah yang menggunakan bahasa Arab. Sedangkan jurnalis Indonesia justru menggunakan referensi negara barat yang bahasanya lebih dimengerti.

“Jurnalis muslim juga harus bisa Bahasa Arab agar penyampaian informasi bisa maksimal. Karena di tangan jurnalislah akan terkuak Islam yang cerdas, Islam yang keren, dan the real Islam rahmatan lil ‘alamin,” tutupnya.

Acara yang berakhir pada pukul 13.45 WIB itu akan dilanjutkan pada jum’at (10/06) dan minggu (12/06) pada pukul 13.00 WIB. Selain Habib Anis Soleh (Pengasuh Suluk Maleman) sebagai narasumber acara tersebut, ada beberapa narasumber yang hadir pada hari selanjutnya seperti Prof. Dr. Din Syamsudin (Mantan Ketua PP Muhammadiyah), Habiburrahman El-Shirazy (Penulis Novel Best Seller Ayat-Ayat Cinta), Imam Prihadiyoko (Wartawan senior Harian Kompas), Iskandar ‘Isjet’ Zulkarnaen (Ass Manager Kompasiana), Arief Ardiansyah (Konsultan Media), Umar Idris (Redaktur Tabloid KONTAN), serta Luqman Hakim Arifin (CEO Renebook & Turos Pustaka).

(D1418/Red_)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *