Oleh: Tasya Berliana
“Banyak yang bilang pelangi itu indah, tapi berapa dari mereka yang menghargai perbedaan?”
Aku memandang perih sebaris kalimat yang tergores pada permukaan meja berbentuk persegi panjang. Kita sering mendengar, atau mungkin sudah bosan dengan larangan mengotori fasilitas sekolah. Sayangnya, bagi para murid, meja sekolah hampir sama fungsinya dengan buku diary. Ada banyak cerita dibalik goresan-goresan diatas meja. Nama-nama orang yang disukai, rumus-rumus yang sulit dihafalkan, atau mungkin simbol-simbol yang hanya si pembuat yang tahu.
Tulisan itu kecil, tepatnya disisi paling pojok permukaan meja. Namun siapa yang peduli dengan coretan semacam itu? Apa bedanya dengan caption-caption yang di posting para pencinta sosial media? Bahkan mungkin tidak ada yang tertarik membacanya. Kecuali aku.
Namanya Indah, tapi murid-murid disini memanggilnya si belang atau si sapi. Dia gadis yang cerdas. Peringkatnya selalu bertengger di urutan pertama. Sebenarnya dia orang yang ramah. Dulu saat masa orientasi aku sering melihatnya tersenyum pada teman-teman. Banyak yang tertawa ketika bertemu dengannya. Aku ingin mengenalnya. Sayang sekali di kelas X kita tidak satu ruangan.
Aku senang sekali ketika bisa satu ruang dengannya di kelas XI. Namun aku terkejut ketika melihat tatapan matanya yang begitu tajam saat aku mencoba mendekatinya. Seperti ada yang salah denganku. Apa dia tak mau aku berteman dengannya? Kupikir aku bisa sebangku dengannya, tapi melihat responnya aku memilih duduk di bangku depannya. Baris kedua dari belakang. Iya, dia duduk tepat di bangku belakang paling pojok.
“Hati-hati jangan dekat-dekat si belang. Jangan mau diajak ngobrol. Nanti kau dijauhi satu kelas,” Ucap teman sebangkuku sambil berbisik. Dia melirik sinis pada Indah. Aku hanya menelan ludah. Getir.
Dikelas ini aku sering melihatnya dijahili, dijadikan lelucon, dan tak ada yang membelanya. Sama sepertiku yang terus diam tanpa melakukan apapun. Aku lebih memilih memainkan ponselku dibanding ikut tertawa seperti yang lainnya. Lelucon mereka tidak lucu. Lelucon mereka merendahkan. Lelucon mereka menyakitkan.
Aku sering menemukannya menangis di kamar mandi. Rambutnya berantakan, bajunya basah dan kotor. Dia terlihat begitu kelelahan.
“Indah, kamu nggak papa?” Tanyaku padanya. Saat itu kamar mandi sudah sepi. Hanya ada kami berdua. Dia melengos melewatiku begitu saja.
Gudang sekolah adalah tempat dimana dia terakhir kali dijahili. Dari kejauhan, aku melihatnya dipaksa masuk dengan cara yang paling menyebalkan. Selang beberapa menit, orang-orang keluar dengan rasa bangga yang tercetak jelas dari gaya mereka. Pintu gudang ditutup. Aku bisa membayangkan dengan jelas, Indah tersungkur di dalamnya.
“Untuk apa kau datang?” Ucapnya tanpa melihatku. Ia duduk meringkuk. Kepalanya menunduk menempel lutut, bersembunyi di antara kedua lengannya.
“Indah…” Aku hanya mampu memanggil namanya. Melihatnya seperti itu membuatku ingin mendekat dan memeluknya.
“Pergi!” Indah menoleh padaku. Menatapku tajam, “Kau sama saja.”
Aku berdiri terpaku. Mataku perih ingin menangis.
“KUBILANG PERGI!!!” Dia melemparku dengan apa saja yang ada di sekitarnya. Aku berlari meninggalkannya dengan tersedu-sedu. Hari itu adalah hari terakhir aku melihatnya bernapas.
Aku menyesal, harusnya saat itu aku memeluknya. Kau tahu, patah hati bisa sembuh. Amarah bisa mereda. Luka dapat terobati. Namun rasa bersalah, kadang butuh waktu seumur hidup untuk menghapusnya. Aku melihat rasa bersalah itu di wajah teman-teman sekelasku. Juga saat aku bercermin.
Kenapa orang-orang hanya melihat dari kulit luarnya saja? Tuhan menciptakan perbedaan agar kita saling mengenal, bukan saling menebas. Tuhan mengajarkan kita untuk bersikap rendah hati, tapi manusia berlomba-lomba menjadi superior. Berdiri bangga diatas rasa sakit orang lain.
Banyak yang bilang pelangi itu indah, tapi berapa dari mereka yang menghargai perbedaan?