Oleh : Angkasa
Sumber Foto : Angkasa/DinamikA
Dibalik kamar pasien no 275 rumah sakit jiwa seberang rumah menjadi tujuan observasi atas tugas kampus yang diberikan dosen minggu lalu. Ditempati oleh gadis yang terbilang muda, badannya sedikit gempal dengan rambut hitam panjang sebahu. Sesekali tertawa cekikikan dengan memaikan kardus yang dia lipat seperti laptop. Selepas tertawa mereda, kini dia tertunduk lesu memukuli kepalanya dengan keras. Lalu dia menatapku, sedetik, dua detik, tiga detik . “kemari!” katanya, “temani aku bercerita sebentar”. Tak aku tanggapi, tapi suster yang menemaniku berkeliling mengiyakan untuk aku temani saja pasien itu bercerita, barangkali itu akan jadi bahan observasi menarik nantinya.
Duduk aku di bangku samping ranjang tempat dia bemain. Dia tidak berbiacara apapun pada menit pertama. Dia hanya seolah olah membereskan sesuatu dan menghadapku.
“saya dulu juga seperti kamu” ucapnya pertama kali. Seperti aku katanya, aku yang bagaimana memang. Aku yang sekarang berkuliah dengan sangat semagat atau aku yang bagaimana.
Dia kembali tertawa dengan memainkan rambutnya dan dengan tiba-tiba memelototiku. Astaga betapa terkejutnya aku dengan sikap manusia gila satu ini.
“jangan dipikirkan nanti kamu jadi gila” . memangnya apa yang aku pikirkan? Observasi ini mungkin.
Dia seperti sedang menjawab teka-teki dengan teka-teki. Lagipula dia memberiku tips terhindar dari gila, tapi dia yang berada di rumah sakit jiwa, bukan aku.
“lihat saja besok” ada apa dengan besok?
Besok hanya hari rabu dan aku tidak memikirkan hal lain selain itu. Tidak akan terjadi apapun besok selain mata kuliah statistik yang membuatku pusing dengan dosen botak menyebalkan. Bisa juga besok terjadi perdebatan sengit lagi antara pemikik sperma dan pemilik ovarium yang menghasilkan aku.
Kurang lebih setengah jam aku di kamar nomor 275. Hanya menyaksikan dia menyanyi, tertawa cekikikan, menangis tiba-tiba. Kadang juga membuatku panik karena dia seperti berusaha melukai dirinya sendiri. Membuat aku repot untuk keluar dan memanggil suster. Observasi selesai, aku putuskan untuk meminta sedikit informasi mengenai pasien 275 sebagai data observasi.
Bergegas keluar dan mengucapkan terimakasih kepada suster. Dia justru berteriak dan melambaikan tangan.
“besok datang lagi ya!”
Pasien kamar 275, pernah menginjak bangku perkuliahan jurusan psikologi dengan ipk 3,7. Sempat bekerja disuatu perushaan ternama sebagai staff. Merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penyebab gangguan mental yang dia derita adalah tuntutan keluarga, dipicu dengan ketidak harmonisan rumah tangga sang orang tua. Mengalami pelecehan secara seksual dan vebal oleh kawan staff. Mencoba melaporkan ke atasan tapi justru dia yang dipecat dengan alibi pencemaran nama baik karena pelaku lebih senior dan memiliki trek rekor yang baik. 10 hari setelah pemecatan, dia mendapati kabar ibunya meninggal bunuh diri di dapur rumah mereka.
Dua bulan setelah observasi.
Sekarang aku paham kalimat yang dia ucapkan. Dia pernah sepertiku. Menjadi mahasiswa jurusan psikologi dengan nilai yang baik. Kesamaan lain adalah orang tua kami tidak akur. Lalu dengan jangan dipikirkan nanti gila, orang tuaku bercerai sebulan setelah observasi itu dan aku menggantikan posisi ayah sebagai tulang punggung keluarga. Berbeda dengan dia yang perempuan, aku tidak mengalami pelecehan. Paruh waktuku habis sebagai karyawan part time sebuah perusahaan kecil dan saparuh lain sebagai mahasiswa jurusan psikologi.
Lihat saja besok, besok adalah masa dimana aku tumbuh semakin dewasa dan dapat begitu banyak masalah bertubi dengan keadaan siap ataupun tidak.
Kunjungan kedua bukan sebagai obsevasi pada pasien kamar 275. Kunjunganku sebagai jawaban atas kalimat terahir yang dia ucapkan. Rambutnya kiri sudah semakin panjang. Dia juga sudah lebih tenang, meski dia harus dihirndarkan dari hal-hal yang membuatnya trauma. Misal dia akan kembali murung atau menangis dengan tiba-tiba ketika seseorang membahas orang tua. Bisa juga sangat marah mendengar nama pelaku pelecehan itu.
Mengejutkan memang, sapaan yang pertama kali dia sampaikan sangat mengherankan. “sudah?” katanya. Untuk petama kalinya aku menanggapi pertanyaan dari orang gila, aku menjawab “iya, sudah”