Sumber Foto: https://www.facebook.com/TheDeathOfStalin/
Oleh: Faiz Alfa
Kalau negara Jerman punya Adolf Hitler dengan tentara NAZI-nya, maka Uni Soviet punya rivalnya, yaitu Joseph Stalin dengan tentara Merah-nya. Rivalitas mereka begitu terasa ketika Perang Dunia Kedua berlangsung (1942-1945 M). Orang-orang yang gemar menonton film bertema sejarah, terlebih pernah menonton film The Downfall (2004), bisa dipastikan sangat familiar dengan rivalitas dua pemimpin kharismatik tersebut, termasuk penulis.
Baik Hitler maupun Stalin, mereka sama-sama menjadi pemimpin negara sekaligus pemimpin militer. Pembantaian massal orang-orang Yahudi, yang dilakukan oleh tentara NAZI lalu dikenal sebagai tragedi holocaust, adalah atas perintah Hitler. Jutaan nyawa yang melayang dalam pembunuhan lawan politik Stalin pada tahun1930-an, yang dikenal dengan peristiwa pembersihan besar-besaran, ialah atas instruksinya.
Berbicara soal Stalin, sosoknya yang terkesan antagonis dan kejam dijungkir-balikkan secara radikal oleh Armando Iancucci . Film garapannya yang berjudul “The Dead of Stalin” justru di luar dugaan. Dia mengangkat cerita kehidupan politik “Hokage Kedua” Uni Soviet ini secara jenaka dan penuh tawa.
Dalam adegan di film ini, sang pimpinan tertinggi tentara komunis malah terkesan seperti bapak-bapak pensiunan PNS yang performa otaknya sudah menurun. Sangat jauh dari kriteria diktator.
Sinopsis
Berlatar di tahun 50-an, Stalin yang saat itu memasuki masa tua berhasil mengontrol secara total negara Uni Soviet. Bersama empat orang kepercayaannya; Georgy Malenkov, orang nomor dua di Uni Soviet yang lebih pikun dari Stalin; Nikita Khrushchev, bakal presiden keempat Uni Soviet yang selalu berhasil membuat Stalin terpingkal-pingkal; Lavrenti Beria, Kepala Pasukan Keamanan Stalin (NKDV); dan Vyacheslav Molotov, Menteri Luar Negeri. Mereka berlima menjadi “kawan tua seperjuangan” dalam mempertahankan eksistensi Uni Soviet.
Di ruang kerja, satu ketika Stalin mendapat surat dari wanita misterius. Dia adalah anak dari lawan politik Stalin yang di bunuh. Dalam surat itu terlulis: “Josef Vissarionovich Stalin, kau mengkhinati bangsa kami dan menghancukan warganya. Aku doakan kau segera mati, dan semoga Tuhan mengampunimu.”
Stalin tertawa setelah membaca surat
Membaca tulisan itu, Stalin tertawa terbahak-bahak. Saking kerasnya tawa, sampai-sampai mengakibatkan penyakit asmanya kambuh kemudian dia jatuh tak sadarkan diri. Peristiwa inilah yang kemudian memicu konflik.
Masing-masing kawan Stalin baru mendengar kabar buruk dari “istana negara” Uni Soviet itu pada keesokan harinya. Mulai dari Beria, Khrushchev, Georgy dan Molotov. Baru kemudian pejabat-pejabat lain. Akan tetapi, berita tentang kondisi Stalin yang mengalami koma tidak dibiarkan tersebar, bahkan kedua anak kandungnya juga tidak diberi tahu. Kota Moskow kemudian diblokade total.
Situasi Moskow saat itu adalah para dokter berpengalaman yang berada di kota telah dieksekusi, karena diduga anti-Stalin. Sehingga, yang terjadi adalah penanganan yang lambat karena sulit mencari dokter terpercaya. Kemudian, mau tidak mau, kurang lebih sepuluh dokter yang tersisa memeriksa kondisi tubuh “Hokage Kedua”. Walaupun sepuluh orang itu terdiri dari dokter muda dan dokter yang sebenarnya sudah purna tugas.
Panglima Militer membakar jasad Beria yang sudah dilumuri bahan bakar
Konflik mencapai klimaks-nya pada kematian Stalin dan dinamika politik kekuasaan Uni Soviet pasca kematiannya. Georgy sebagai pengganti Stalin dinilai terlalu mudah disetir dalam menjalankan roda pemerintahan. Beria, yang semula terlihat setia, ternyata adalah musuh dalam selimut lima sekawan itu selama ini. Dia kemudian ditembak mati dan mayatnya dibakar oleh Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Terjadi pula konflik militer antara Pasukan Pengawal Stalin (NKDV) dengan pasukan regular.
Kritik
Selain cerita Joseph Stalin dan kelima kawannya dalam dinamika politik kekuasaan Uni Soviet, ada juga kejadian-kejadian unik dan penuh humor gelap (darkjoke) dalam film ini. Seperti genangan air seni di sekitar tubuh Stalin saat terbaring koma karena dia ngompol; pengambilan keputusan berdasarkan ideologi komusis yang malah menyusahkan diri mereka sendiri; dan Panglima Angkatan Bersenjata Uni Soviet yang mencium bibir Khrushchev karena saking senangnya.
Stalin (terbaring), dari kiri: Georgy, Krushchev, Beria
Scene-scene begitu mudah dipahami. Biasanya, film luar negeri memeras otak lebih banyak dengan latar tempat yang berpindah-pindah. Esensi dari peristiwa baru dapt dipahami sat menjelang menit-menit akhir. Sebaliknya, Armando Iancuci secara cerdik membuat penonton mudah mencerna tiap adegan. Tidak seperti review film yang tulisannya tidak sitematis ini.
Sayangnya, dialog dalm film ini menggunkn bahasa Inggris. Sehingga penonton kurang merasakan vibes dan suasana masa itu. Penonton akan hanyut dalam suasana masa perang dingin apabila dialog dalm film ini menggunakan bahasa Rusia. Seperti film Downfall (2004) yang sukses membuat penonton larut dalam tiap adegan dalam filmnya. Kesuksesan itu terjadi, salah satunya, adalah karena bahasa Jerman yang digunakan dalam setiap dialog.
Refleksi
Film produksi dalam negeri yang mengangkat tema sensitif atau tabu, seperti Pemberontakan G 30S/PKI, mungkin dapat mengadaptasi konsep film The Death of Stalin. Tidak harus dikemas secara jenaka, masih banyak konsep modifikasi yang bisa dipakai. Salah satu contohnya adalah model genre romance.
Mengingat, bahwa film Pemberontakan G30S/PKI sampai sekarang belum di re-make ulang. Kualitas film yang masih mentok di 480p membuat banyak detail adegan kurang terlihat. Bila ditonton dalam acara nonton bareng (nobar), yang biasanya memakai proyektor, video akan “pecah” sehingga mengurangi kenyamanan penonton.
Terlebih, terdapat dua hal yang paling mencolok dalam film Pemberontakan G30S/ PKI. Pertama, durasi film yang terlampau panjang. Kedua, banyaknya adegan dalam film yang tidak sesuai atau bahkan memutarbalikkan fakta sejarah.