Serat Centhini “Jurnalisme Sastra”

Klikdinamika.com, Salatiga (24/05) – Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dinamika mengadakan acara Ramadhan In Campus (RIC) dengan mengangkat tema “Dialektika Nusantara dalam Kacamata Sastra”. Acara ini dimulai pukul 16.00 WIB bertempat di halaman gedung Syariah kampus 2 IAIN Salatiga.

Acara tersebut menghadirkan Heri Priyatmoko (dosen sejarah Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta dan Founder Solo Societeit) sebagai pemateri.

Dengan dibuka oleh pembina LPM DinamikA Guntur Cahyono, ia memberikan motivasi dalam sambutannya. “Apa manfaatnya menulis? Satu, untuk bertahan hidup cari uang. Jadi bukan untuk mengungkapkan ide, karena waktu kita zaman mahasiswa kita mungkin mencari uang, kalo mengungkapkan ide sudah lewat”, ungkapnya.

Berdasarkan tema yang diangkat oleh panitia yaitu, “Sastra” dan “Nusantara”, pemateri menyampaikan sebuah karya Serat Centhini yang semula bernama Suluk Tambangraras. Karya yang lahir pada tahun 1814 tersebut merupakan karya sastra berdasarkan fakta lapangan yang terjadi di pulau Jawa bagian dari Nusantara. Kandungan isi teks Centhini meliputi sejarah, arsitektur, pengetahuan alam, falsafah, agama, mistik, ramalan, sulapan, ilmu magi, adat istiadat, tata cara perkawinan, etika, botani, makanan tradisional, seni, pelajaran seks ikut terpapar dalam serat yang menjadi bukti sejarah.

“Centhini ternyata juga menjadi bukti sejarah. Temen-temen yang ada di pers menulis sastra boleh saja, tapi hadirkan fakta-fakta seperti Serat Centhini ini,” jelas Heri Priyatmoko.

“Fakta-fakta yang ada di lapangan tulislah dengan apa adanya, meskipun tokoh-tokohnya karangan, rekayasa tidak masalah,” imbuhnya. Centhini memenuhi ciri umum karya jurnalistik. Karena adanya fakta dalam serat tersebut.
Sejarah sastra pada orde baru menjadikan alasan panitia untuk mengangkat tema “Dialektika Nusantara dalam Kacamata Sastra”.

“Berawal dari kita yang sadar akan sejarah sastra itu sendiri dimana pada orde baru kebijakan dari pemimpin otoriter membungkam suara aspirasi yang membuat secara otomatis sastra menjadi mati,” jelas M. Saiful Rohman selaku ketua panitia. “

Mendekati era reformasi yaitu, pada sekitar tahun 90an, muncul sastrawan-sastrawan yang menentang dengan memberikan suara melalui tulisan dalam bentuk sastra. Dan saat itulah banyak masyarakat yang tergugah, tersadarkan akan ketidakadilan pemimpin otoriter.

“Tepat pada tahun 1998 rezim otoriter secara resmi turun dari jabatan. Dan pada saat itulah rakyat muncul dengan harapan-harapan baru,” pungkasnya. Acara ditutup dengan buka bersama. (Harti/red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *