Oleh: Thoriq
“Buruh lebih penting dari pada modal dan harus mendapat perhatian yang lebih besar”
-Abraham lincoln
Hari Buruh Internasional atau May Day tidak seketika lahir tanpa dasar dan tanpa ruang makna. Perjalanan panjang buruh menuntut keadlian hingga pertumpahan darah saat aksi demonstrasi, menunjukkan betapa gigihnya buruh memperjuangkan haknya.
Menengok jauh kebelakang tanggal 1 Mei tak melulu soal perjuangan buruh. Menurut sejarah, tanggal tersebut adalah hari libur bagi kaum Pagan kuno untuk merayakan permulaan musim panas Di Mesir dan India kuno dirayakan untuk memperingati festival musim semi. Sedangkan di Romawi, dirayakan festival Florida untuk menghormati dewi musim semi.
Tercetusnya istilah “May Day” berawal sejak abad ke-19 saat para buruh pabrik mengalami kondisi kerja yang sangat buruk, antara jam kerja dan upah tidak sesuai. Dengan kodisi demikian, para buruh di Amerika Serikat pada 1 Mei 1886 menggelar aksi protes nasional, menuntut pengurangan jam kerja yang semula 10 jam menjadi 8 jam setiap hari serta kenaikan upah.
Aksi ini diikuti puluhan ribu buruh. Aksi yang dilakukan sangatlah sederhana, yakni mogok kerja. Meski sederhana, efek yang ditimbulkan yakni carut marut proses produksi yang melahirkan berbagai macam kebutuhan manusia. Dengan puncaknya yaitu demonstrasi besar-besaran yang berakhir bentrokan dan menewaskan sedikitnya empat orang. Salah satu slogan yang paling disorot adalah ‘8 jam kerja, 8 jam istirahat dan 8 jam rekreasi’.
Untuk menaruh rasa hormat kepada mereka yang tewas, Konferensi Sosialis Internasional menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional.
Sejarah May Day di Indonesia berawal dari tahun 1920, tetapi sejak Orba tradisi tersebut hilang. Kediktatoran Presiden Soeharto saat itu, menjadikan kebebasan mengeluarkan pendapat juga dikekang, dan imbasnya berdampak pada tidak adanya aksi May Day di Indonesia. Pasca reformasi aksi tersebut kembali bergelora dan digaungkan diseluruh kota sampai saat ini.
Dengan adanya May Day apakah nasib buruh akan lebih baik? Apakah buruh akan mendapat kesejahteraan? Atau malah sebaliknya? Aksi ini pada hakekatnya menjadi arena bagi buruh untuk meluapkan seluruh uneg-uneg, aspirasi serta suara mereka untuk didengar oleh pihak yang bertanggung jawab. Dengan harapan suara kaum buruh didengarkan, direnungkan lalu direalisaasikan supaya apa yang menjadi hak mereka terpenuhi sepenuhnya.
Menjadi alat kaum kapitalis untuk terus memproduksi barang dan keuntungan, tentu bukan hal yang mudah. Dengan adanya tekanan produksi sampai permintaan pasar yang banyak, menjadikan buruh harus bekerja ekstra. Dengan peluh dan letih, upah yang didapatkan hanya mampu untuk bayar kontrakan dan makan selama sebulan, ironis melihatnya.
Keadaan buruh tahun ini tak lebih baik dari tahun kemarin, ditambah dengan wabah virus corona yang menyebar di seluruh dunia, menjadikan kondisi buruh semakin tidak menentu. Pemotongan upah, kurangnya pesangon ketika dirumahkan sementara bahkan yang lebih naïf adalah pemutusan hubungan kerja (PHK). Gelombang PHK menjadi hantu paling menakutkan bagi para buruh, karena mereka akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan.
Tak hanya itu, ditengah carut marut perekonomian Indonesia akibat dari virus corona, omnibus law menjadi kebijakan yang merugikan buruh. Sigit Riyanto, dosen hukum UGM mengatakan, “RUU Cipta Kerja mensyaratkan sekitar 500 aturan turunan, sehingga berpotensi melahikan hyper-regulated dan pengaturan yang jauh lebih kompleks,” dilasnir dari Tirto.id.
Pada May Day tahun ini, buruh tidak melakukan aksi demonstrasi, mereka berinisiatif dengan aksi sosial yakni membagikan sembako seperti yang dilakukan oleh KASBI Madiun. Walaupun tak ada aksi turun ke jalan, mereka tetap berharap nasib buruh, hak buruh, uneg-uneg, aspirasi dan suara mereka didengar, direnungkan serta direlisasikan oleh pihak yang bertanggung jawab.