Sampah: Kampus, Kebijakan dan Gagalnya Rektor Zakiyuddin Mengawal Wacana Green Wasathiyah Campus (GWC)

Gambar diambil ketika pihak kampus membakar sampah, pukul 00.38 WIB, 20 Agustus 2025 (Sumber Foto: Ramadhon)

Oleh: Fadlan Naufal R

Rektor perlu berhenti membohongi mahasiswa baru dengan gagasan GWC-nya yang semu—apabila membakar sampah saja masih dilakukan, apabila nilai-nilai Green dan Wasathiyah saja tidak diakomodir sebagaimana mestinya.

Beberapa malam yang lalu, saya dan teman-teman tengah bernyanyi riang gembira, bermain gitar sebelum akhirnya melipat senyum karena untuk kedua kalinya, menyaksikan limbah PBAK dibakar di samping gedung auditorium Kampus 3 UIN Salatiga. Kali itu tepat saat jarum jam melewati malam pukul 00.31 WIB, (20/08/2025).

Terakhir pemandangan itu kami saksikan tahun lalu, di PBAK tahun 2024. Sampah-sampah limbah PBAK dibakar di tempat yang sama. Kami sempat menegur pelaku yang melakukan pembakaran, namun nihil sampah-sampah itu tetap dibakar. Apalah daya kami, hanya si kecil yang tak punya power apa-apa.

Bila ditarik ke beberapa bulan yang lalu, ketika saya duduk di kantor LPM DinamikA sembari membaca Majalah DinamikA edisi tahun 2019 tentang sampah dan zero waste. Saya menemukan ada titik buntu yang disebabkan kontradiksi besar dari gagasan dan implementasi masterplan di UIN Salatiga (baca: Green Campus).

Saya tertegun saat membaca tulisan  Firdan F. Sidik di dalam majalah itu, yang menguraikan hasil wawancara dengan Maslikhah (Seorang ahli lingkungan di IAIN Salatiga) dalam rubrik Kampusiana yang berjudul: Apa Kabar Sampah di Kampus Kita?

Dalam majalah itu, Maslikhah menjelaskan bagaimana IAIN (sekarang UIN) Salatiga berdiri dengan mengakomodir konsep green campus dan green building ke dalam masterplan sebagai salah satu respon terhadap pemanasan global.

Ia juga menguraikan secara gamblang empat indikator green campus, yakni arsitektur hijau, energi bersih, konservasi, dan manajemen pengelolaan sampah yang punya landasan fundamental, yaitu 3R (Reduce, Reuse, Recycle).

Entah Rektor beserta jajarannya mengerti dan mengamini gagasannya sendiri secara kaffah atau tidak, hanya mereka yang tahu. Jelasnya adalah hingga saat ini “kontradiksi”, menjadi hal yang paling nyata dan ada, atau yang setidaknya paling mungkin kita dapatkan ketika coba membuka mata. Alih-alih mewujudkan Green Wasathiyah Campus, yang terjadi hanya estetika retoris dan omon-omon belaka.

Saya tidak berhasil membayangkan akan seperti apa ekspresi Maslikhah apabila tahu bahwa wacana Green Campus yang ia uraikan sebelumnya banyak dikhianati oleh kampus. Empat indikator yang diungkapkan nyaris tidak tersentuh.

Tadinya Ia berkeinginan pengadaan sepeda menjadi alternatif lain transport dosen atau buruh kampus bepergian dari gedung satu ke gedung lainnya sekaligus untuk menekan penggunaan energi. Namun, kini yang disediakan justru sepeda listrik yang meski digadang-gadang tidak menghasilkan emisi karbon dan gas rumah kaca, tetap saja menggunakan energi dan batterai litthium-ion yang dibuat dari energi tidak terbarukan seperti nikel, lithium dan seterusnya; Baterai yang punya potensi dampak negatif pada lingkungan baik pada tahap pra-produksi ataupun pasca pemakaiannya. Ini jelas menyalahi indikator yang kedua (baca: energi bersih)

Saya juga tidak berhasil membayangkan bagaimana akan marahnya beliau apabila mengetahui bahwa kampus UIN Salatiga di bawah kepemimpinan rektor Zakiyuddin Baidhawy, membakar sampah dan mengebiri indikator yang ke-4 (baca: manajemen pengelolaan sampah)

Tidak berhasil pula saya bayangkan mengapa pihak kampus mengebiri indikator ketiga (baca: konservasi) dengan, alih-alih menyarankan misalnya mahasiswa baru menanam satu bibit pohon, mereka justru tidak melakukan peninjauan ulang penugasan PBAK yang memaksa Maba melakukan pembelian snack-snack–yang sama-sama kita ketahui–nir-makna, tak lebih dari produksi sampah skala besar.

Kampus tidak meninjau penugasan PBAK yang tahun demi tahun, memberi penugasan yang justru menambah volume sampah di Salatiga—atau bahkan polusi udara, sebab pengelolaan sampahnya menggunakan metode pembakaran. Kemanakah konsep reduce, recycle, atau reuse? Hopla!

Lihat bagaimana kegiatan PBAK yang dilaksanakan sebagai acara tahunan kampus dan bagian dari kegiatan besar, tidak mendapatkan perhatian khusus dari kampus mengenai pengelolaan sampah yang dihasilkan pasca kegiatan.

Jika tidak diperhatikan, ini akan menjadi ladang sampah dan polusi udara berkelanjutan, yang memanjakan masyarakat kampus untuk tidak peduli dengan lingkungan tempat mereka belajar.

Barang tentu, kampus kita hanya menang dalam indikator pertama (baca: Arsitektur hijau). Akan tetapi, seperti apa tolak ukur konkretnya? Setan pun tak tahu.

Dalam hal ini, rektor dan seluruh jajarannya, perlu melakukan revisi besar-besaran. Baik soal metode, konsep, ataupun implementasi, yang sampai pada taraf tertentu, menyebalkan.

Kebijakan dan Sumbu Otoritarianisme Kampus UIN Salatiga

Sebenarnya hal ini sudah hampir usang, bahkan basi. Hal ini terlalu sering diabaikan. Pengambilan kebijakan di kampus UIN Salatiga masih nihil esensial demokrasi. Ia acapkali dibungkus dalam gagasan semu demokrasi keterwakilan. Tapi, hey, demokrasi keterwakilan adalah kontradiksi demokrasi itu sendiri, yang selama ini kita saksikan, membodohi, menindas, dan memberi harapan semu. Setiap yang terdampak, berhak mewakili dirinya sendiri.

Apabila kita berbicara dalam konsep Wasathiyah—yang mengakomodir musyawarah dalam substansi Syura’—implementasi di kampus juga masih sangat pincang. Sebab, sejauh ini, kebijakan-kebijakan krusial yang bersentuhan langsung dengan mahasiswa, tidak diambil lewat metode musyawarah, terlebih menyoal partisipasi bermakna. Dalam artian lain, pengambilan keputusan kampus masih nihil meaningfull participation mahasiswanya.

 Public hearing yang selama ini kita lihat, terjadi sebatas pengadaan dari proker-proker Ormawa. Bukan berarti bahwa Proker itu tak penting, akan tetapi, Public hearing khusus oleh pihak kampus untuk kebijakan tertentu pada waktu-waktu yang tak tersentuh proker Ormawa, juga sudah sepatutnya massif dilakukan. Agar tak insidental dan seperti formalitas belaka.

Public hearing model ini pula yang sangat penting untuk diadakan dan patut dihiraukan, bahkan untuk sekedar membahas suatu kebijakan yang hendak kampus ambil–dalam hal ini yang bersentuhan langsung dengan mahasiswanya. Seperti portal FEBI yang selama berbulan-bulan sempat ditutup secara sepihak, seperti KKN yang pada akhirnya chaos tanpa meaningfull participation mahasiswa, dan seterusnya, dan seterusnya.

Tak ada musyawarah atau apapun itu saat kebijakan-kebijakan yang bersentuhan langsung dengan mahasiswa, ingin diambil. Padahal, kebijakan kampus, terlebih yang bersentuhan langsung dengan keseharian mahasiswa, sudah sepatutnya diambil berdasarkan konsensus bersama mahasiswa.

Maka, bohong ketika wacana ini digaungkan tanpa upaya implementasi yang nyata, sebagaimana pengambilan kebijakan secara sepihak dan membakar sampah sudah pasti kesengajaan. Hal yang berimplikasi nyata dengan kegagalan pihak kampus ataupun rektor untuk melakoni dan mengawalnya.

Lagipula, rektor sudah sepatutnya menghimbau para jajarannya untuk mengimplementasikan gagasan yang ia elu-elukan ini, agar dijalankan sebagaimana mestinya. Juga mengevaluasi secara masif untuk mengetahui apakah gagasan ini sudah ideal, dijalankan, dan atau tidak.

Penulis beranggapan bahwa sudah seharusnya–bukan hanya Ibu Maslikhah–rektor pun sudah seharusnya marah, apabila gagasan GWC ini justru coba dikebiri oleh pihak-pihaknya di birokrasi kampus.

Bila rektor tidak tahu dan tidak akan melakukan apa-apa, penulis pun tidak kaget karena rektor selama ini hidup di menara gading. Tak turun untuk tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Yang perlu diketahui dan ditegaskan kembali, gagasan GWC tidak akan pernah final pada arti yang sebenernya, apabila poin-poin penting dari gagasan ini saja masih terus diabaikan, bahkan dilucuti dan dikebiri.

Kebijakan kampus yang terus-menerus datang seperti sebuah perintah Tuhan, hanya akan memberikan dampak tak terukur pada mahasiswanya. Sebab barang tentu pihak kampus  memang bukan Tuhan.

Selain itu, apabila tak ada perbaikan, pak rektor harus puas dengan angan-angannya selagi mahasiswa bangun dari tempat tidurnya. Barangkali untuk melakukan perbaikan, barangkali untuk sekedar meracau dengan kalimat: “Ah.. bullshit, mereka membakar sampah, lagi. Mereka berlaku seenaknya, lagi”.

One thought on “Sampah: Kampus, Kebijakan dan Gagalnya Rektor Zakiyuddin Mengawal Wacana Green Wasathiyah Campus (GWC)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *