Detik-detik pembacaan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat. (Sumber Foto: katadata.co.id)
Oleh: Joysi Rain Rosadi
Pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta Pusat, menandai kemerdekaan Republik Indonesia telah dicapai. Serangkaian jalan panjang yang terjal dan penuh pilu kini berubah membentuk titik terang, menjadi awal gebrakan semangat rakyat Indonesia. Kabar menggembirakan kemerdekaan Indonesia tentunya akan menjadi titik balik pribumi mengusir penjajah, menjadi momen bersejarah yang harus diabadikan dan dikabarkan secara menyeluruh di berbagai penjuru wilayah Indonesia.
Namun, menyebarkan berita proklamasi kemerdekaan hingga, sampai ke telinga warga daerah-daerah lain tidaklah mudah. Penyebaran kabar ini memiliki kisah masing-masing di belahan wilayah Indonesia. Saat itu, penyebaran berita proklamasi masih berangsur-angsur melalui berbagai media, dari mulut ke mulut, melalui surat kabar, telegram dan radio. Seragakaian proses itu pun tidak berlangsung secara mulus. Menilik dalam buku Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat, ada berbagai macam respon dan tantangan dari masyarakat sendiri. Beberapa masyarakat yang langsung mempercayai berita tersebut dengan penuh suka cita. Namun, tak sedikit yang meragukan dan tidak senang Indonesia merdeka.
Salah satu kisah yang menonjol adalah peran Yusuf Ronodipuro, seorang pemuda asal Salatiga, yang berjasa dalam penyiaran kabar kemerdekaan Indonesia pertama kali melalui radio Jepang, Hoso Kyoku. Penyiaran ini membawa kabar ke seluruh nusantara, bahkan ke mancanegara, menandakan lahirnya republik baru yang kini berdaulat penuh.
Jawa Tengah sendiri, menerima berita kemerdekaan Indonesia dalam waktu yang berbeda-beda. Beberapa wilayah memang menerima berita itu, hanya dalam rentang waktu tidak begitu lama setelah diproklamasikan. Namun, ada pula yang baru sampai kabarnya dalam selisih hari, minggu, bahkan bulan, melalui media yang tersedia kala itu. Info berita proklamasi kemerdekaan pagi itu, tentunya tidak bisa langsung dapat menjangkau banyak orang karena ada beberapa alasan.
Keterlambatan penyebaran berita proklamasi ke khalayak umum, dikarenakan ada beberapa kendala yang harus dihadapi dalam proses penyebarannya. Pertama, keterbatasan dalam sarana dan prasarana. Sarana komunikasi pada masa itu tidak sebanding dengan masa kini yang serba cepat, hanya radio dan koran yang menjadi media utama kala itu. Sementara, tidak semua orang mempunyai radio.
Kedua, jarak dan kondisi wilayah Indonesia terlampau besar. Wilayah Indonesia yang dipisah-pisahkan dengan lautan tentunya menjadi penghambat tersendiri. Ketiga, pengawasan ketat dari tentara-tentara Jepang. Walaupun Jepang sudah mengakui kekalahannya terhadap sekutu sebelum proklamasi kemerdekaan RI, ternyata pasukan Jepang yang masih berada di Indonesia ditugaskan untuk tetap menjaga status quo. Bahkan, di Sumatera, masyarakat terisolasi dari berita luar karena Jepang melakukan kontrol secara ketat terhadap aktivitas politik. Masyarakat tentunya tidak bisa lagi mendengar berita melalui radio lokal dan juga radio asing.
Kabar Kemerdekaan Sampai di Salatiga
Dituliskan dalam buku Peranan Masyarakat Desa di Jawa Tengah dalam Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1949 Daerah Kendal dan Salatiga, berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diumumkan di Jakarta pada 17 Agustus 1945, baru sampai di Salatiga 2 hari setelahnya, yaitu pada 19 Agustus 1945. Keterlambatan penyebaran informasi ini disebabkan oleh kantor-kantor radio dan komunikasi, seperti Par Telegraaf en Telefoonkantor (PTT) dan Sporwegmaatschappij (Maskapai Kereta Api), yang masih berada di bawah pengawasan Jepang. Sehingga, berita proklamasi sampai di Salatiga melalui berbagai cara, baik lewat radio, pengumuman lewat pamong desa, Komandan barisan, tokoh masyarakat, ataupun berita mulut ke mulut.
Ketika kabar tersebut akhirnya tiba di Salatiga, para pejabat Kota Salatiga secara estafet langsung menyampaikan informasi kepada aparat di sekitar. Pada saat itu Walikota Salatiga, R. Sumitro, segera menyampaikan informasi proklamasi kemerdekaan kepada Wedana Salatiga dan Kepala Polisi Salatiga. Dari sana, berita tersebut disebarluaskan lagi secara estafet kepada lurah-lurah melalui pamong desa dan jajaran aparat lainnya. Demikian tokoh-tokoh masyarakat setempat juga turut menyebarkan berita ini melalui pengeras suara di berbagai wilayah, hingga menyebarlah berita proklamasi kemerdekaan ke seluruh warga Salatiga.
Kisah Adi Sucipto
Di sisi lain Agustinus Adistujipto, yang lahir di Salatiga pada 4 Juli 1916, adalah pahlawan nasional yang juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan di Salatiga. Dikisahkan dalam buku Monumen Perjuangan Salatiga: Potret Heroik Pahlawan Salatiga, kala itu dalam masa pendudukan Jepang, semua bekas penerbang Koninklijk Netherlands-Indische Leger (KNIL) dibebaskan dari tugasnya dan kembali menjadi rakyat sipil, termasuk Adisutjipto. Oleh karena itu, ia kembali ke rumah orang tuanya di Salatiga. Setelah menganggur beberapa waktu, Agustinus Adisutjipto memperoleh pekerjaan sebagai juru tulis di perusahaan angkutan bus Eerste Salatigasche Transport Onderneming (Esto) yang sudah diambil alih Jepang dan beralih nama menjadi “Jidosya Jumukyoku”. Memang, beberapa saat setelah Jepang berkuasa di Indonesia, strategi yang dilakukannya dengan struktur pemerintahan ikut diganti, pejabat banyak yang diganti dan istilah-istilah Belanda pun diganti dengan istilah Jepang.
Mendengar bus Esto, tentunya sangat kental dengan Kota Salatiga. Menilik pada masa lampau, di Salatiga sendiri ada seorang warga kebangsaan Cina-Jawa yang Bernama Kwa Tjwan Ing, seorang pengusaha sarana transportasi di Salatiga yang cukup terkenal. Dalam penelitian Dinamika Kehidupan Perusahaan Otobus Eerste Salatigasche Transport Onderneming (ESTO) di Salatiga Tahun 1950 – 1960, Dyah Ndari Widyastuti (2011), menunjukkan bahwa Esto merupakan perusahaan transportasi pertama yang menyelenggarakan angkutan umum di Salatiga, sejak tahun 1921 dan berkembang pesat pada tahun 1930. Namun, akibat krisis ekonomi tahun 1930 dan gejolak selama masa kepemimpinan Jepang dan Belanda, Esto mengalami kemunduran. Meski demikian, pada tahun 1950 perusahaan ini bangkit kembali untuk menjalankan usaha transportasi.
Kembali lagi ke perjalanan Adisutjipto, ketika Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia berkumandang, Adisutjipto segera mengetahui langsung dari pemancar radionya. Berita tersebut kemudian disampaikan kepada ayahnya, yang segera meminta anaknya itu bertindak cepat karena telah tiba waktunya. Tidak terduga, Adisutjipto justru sudah menyusun kekuatan saat menjelang detik-detik proklamasi itu. Ia telah aktif menghimpun pemuda-pemuda dari Salatiga dan Ambarawa, untuk latihan militer yang kemudian tergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR). Semua hal tersebut nyatanya telah disiapkan dengan matang, meskipun proklamasi belum tau akan terjadi kapan.
Ketika Proklamasi Kemerdekaan didengungkan oleh pemimpin bangsa Indonesia, Soekarno – Hatta, dan Adisutjipto telah mendengar langsung dari radio, bersama-sama teman sekerjanya serta pemuda-pemuda Salatiga mulai bergerak merebut kantor Jidosnya Jumukyoku tempat ia bekerja. Kemudian, mereka menurunkan bendera Hinomaru dan menggantikannya dengan Sang Saka Merah Putih.
Reaksi Warga Salatiga Setelah Mendengar Kemerdekaan
Reaksi masyarakat Salatiga terhadap berita kemerdekaan dipenuhi dengan antusiasme dan euforia. Banyak warga yang merayakan kabar kemerdekaan dengan berbagai tindakan spontan. Di beberapa tempat sekitar Kota Salatiga, seperti Tengaran, penduduk mengadakan upacara pengibaran bendera merah putih di tanah lapang. Lain hal dengan warga Getasan, mereka berinisiatif membersihkan makam korban masa pendudukan Jepang dan mengadakan iuran untuk membeli kain merah dan putih, guna membuat bendera atau lencana yang kemudian dikenakan di dada atau topi.
Meskipun sebagian besar masyarakat belum sepenuhnya memahami arti kemerdekaan, hal ini tidak mengurangi semangat dan kegembiraan mereka. Semboyan “merdeka” dengan tangan terkepal ke atas dan panggilan “bung” yang akrab serta demokratis terdengar di mana-mana. Suasana ini mencerminkan keyakinan masyarakat Jawa, yang telah lama percaya pada ramalan Jayabaya, bahwa hari bahagia tersebut akan tiba. Perayaan proklamasi kemerdekaan di Salatiga menjadi momen yang diisi dengan berbagai bentuk syukur, seperti sujud syukur, selamatan, dan aksi-aksi spontan lainnya yang menunjukkan semangat kebersamaan dan nasionalisme.
Masyarakat Salatiga sejatinya memang memiliki antusias yang luar biasa untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dengan sukacita dan semangat yang besar, mereka merespons berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kini Gemeente Salatiga mulai membenahi diri ketika di bawah Republik Indonesia. Namun demikian, tantangan terbesar justru datang setelah Indonesia merdeka, peristiwa ini menjadi awal perlawanan, mengingat wilayah Salatiga masih diperebutkan oleh Belanda hingga tahun 1949.
Referensi:
Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Salatiga. (2013). Monumen Perjuangan Salatiga Potret Heroik Pahlawan Salatiga. Salatiga: Griya Media
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. (1997). Peranan Masyarakat Desa Di Jawa Tengah Dalam Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1949 Daerah Kendal dan Salatiga. Jakarta: Proyek Inventaris dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Supangkat, Eddy. (2021). Masa-Masa Genting di Salatiga. Salatiga: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Salatiga.
Gunawan dkk. (2022). Sejarah Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Maharani, L. (2009). Pengambilan Alih Kota Salatiga Dari Kekuasaan Belanda ke Pemerintah Republik Indonesia Tahun 1945-1950. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.
https://wiki.edunitas.com/ind/114-10/Agustinus-Adisoetjipto_35880__eduNitas.html