Muara Doa Bertaut Asa, Malam Syahdu Pengawal Suro

Ancak Makanan, Ciri Khas Satu Suro yang berisi nasi tumpeng (Sumber Foto: Farid/DinamikA).

Oleh Izlal Nabil Khaiqal dan Inatsa Dzikraa Ramadhan Siregar


Suasana dingin berbalut musik gamelan lembut mengaluni Desa Rowoboni, Banyubiru pada malam satu Muharram atau malam yang kerap disebut oleh masyarakat jawa dengan sebutan satu suro.

“Suro” berasal dari kata Asyura dalam bahasa Arab yakni merujuk pada tanggal 10 Muharram. Namun, dalam tradisi Jawa, istilah ini mengalami pelafalan ulang dan kini melekat menjadi “Suro”. Konon, menurut masyarakat jawa, malam satu suro dipandang sebagai waktu keramat sebab dipercaya sebagai pintu penghubung yang saling bersinggungan antara dunia ghaib dengan dunia manusia.

Tak mau ketinggalan momen yang hanya terjadi satu tahun sekali, kami reporter Klikdinamika.com ikut menyaksikan langsung acara yang bertajuk Gebyar Malam Satu Suro di Desa Rowoboni, tepatnya di sekitar Candi Dukuh Kabupaten Semarang.

Acara ini diadakan sebagai salah satu pelestarian tradisi adat yang ada di Desa Rowoboni. Selain itu, hakikatnya pada malam satu suro, untuk berdoa bersama meminta keselamatan bagi diri sendiri juga seluruh warga desa, serta mensyukuri nikmat yang telah diberikan.

Selendang merah terlilit indah pada pakaian penari nuansa adat jawa menyatu dengan gemulainya tari gambyong sebagai penyambut, tanda acara kirab segera dimulai. Dua remaja wanita menari diiringi alunan gamelan lembut dengan barisan panjang di belakangnya.

Bak semut mengerumuni gula, warga ramai-ramai berkumpul memadati sisi kanan dan kiri barisan. Suara drone terbang tak jauh di atas kepala, beradu dengan musik gamelan yang dimainkan dari dalam barisan.

Langkah Kirab Penghantar Acara

Kirab pembuka acara gebyar satu suro. (Sumber Foto: Farid)

Tarian pembuka telah usai dibawakan, dua penari melangkah perlahan tanpa alas kaki tuk menebarkan kelopak bunga di hadapan barisan kirab yang dipimpin oleh ketua desa, dan diiikuti sekelompok pemuda pembawa gamelan beserta sekolompok pemuda pembawa ancak sebagai ucapan selamat datang serta dibukanya rangkaian acara ini dengan kirab menuju Candi Dukuh tempat acara berlangsung.

Berdasarkan pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kirab budaya merupakan sebuah perjalanan seremonial yang dilakukan bersama-sama secara teratur dan berurutan. Lebih dari sekadar budaya, kirab satu suro ini menjadi simbol yang diwariskan secara turun temurun sehingga memperkaya acara budaya tradisional.
“Kalau dulu perbedaanya kirab ngga make pakaian adat. Lima kali terakhir acara suro ini baru dibikin meriah, pakai baju adat dan ada penampilan, untuk tahun ini tari gambyong,” Ucap Yuli Prasetyo (42 tahun), seoarang juru pemelihara candi sekaligus warga asli Desa Rowoboni.

Di balik barisan inti, kami turut berbaris di bagian belakang menyatu dengan warga biasa yang kebanyakan mengunakan pakaian adat dengan nuansa hitam. Tak lama setelah kami berjalan perlahan mengikuti rombongan, kami mulai memasuki jalan yang lebih sempit dengan gapura serta plang hijau bertuliskan Candi Dukuh Kabupaten Semarang ̶ menjadi gerbang masuk menuju jalan setapak dengan jalur yang mulai menanjak naik.

Dengan nafas yang mulai terengah-engah, kami menyelusuri jalan setapak dan menaiki beberapa anak tangga. Terdengar bisikan “Kok peteng yo” (kok gelap ya) dari salah satu warga di belakang kami. Beberapa orang kemudian nampak mengaktifkan senter dari handphone sebab penerangan amat minim yang hanya berasal dari satu atau dua lampu di sisi jalan. Wewangian khas seperti di pulau Bali mulai menemani langkah kami, beberapa batang dupa menancap dengan kokoh di tanah yang sedikit lembab tepat di arah jalan masuk Candi Dukuh kirab terhenti.

Kidung, Doa, Harapan berbalut syahdunya malam

Kidung syahdu yang dilantunkan di tengah gelapnya malam. (Sumber Foto: Farid)

Sedari bertahun-tahun yang lalu, gebyar satu suro di Desa Rowoboni senantiasa diadakan persis di depan Candi Dukuh. Menurut pernyataan Yuli, Acara diadakan di depan candi sebab naluri dari leluhur terdahulu. Beratapkan tenda terpal, warga duduk mengitari ancak yang berisikan ampeng (tumpengan) besar yang diletakan tepat di tengah.

“Iya, ancak itu yang kotak itu diarak tadi, terus ampeng yaitu tumpengan tadi,” ucap Yuli menjelaskan.

Musik jawa kembali mengalun, namun kini bersumber dari soundsystem yang membuat suasana seketika menjadi hening. Tak berselang lama, Surat Al-Fatihah dibawakan sebagai bentuk dibukanya acara inti.
Dari pingir candi kami mengamati seseorang keluar dari dalam candi dengan membawa obor yang menyala. Ketika berada di dekat ampeng, obor dialihkan kepada kepala desa. Kepala desa menyalakan salah satu sumbu api yang terdapat di pinggir ancak dengan perlahan. Kemudian, dilanjut dengan 6 petinggi desa lainnya yang secara bergantian menyalakan obor yang menghiasi sekeliling pinggir ancak.

Penerangan sekitar candi mendadak dimatikan, hanya tersisa remang-remang cahaya dari sekeliling ancak. Sontak suasana menjadi hening, hanya terdengar suara jangkrik. Kidung berbahasa jawa kromo mulai dilantunkan, seirama dengan kepulan asap dari 7 obor menyelimuti suasana syahdu malam satu suro. Selepas kalimat terakhir dari kidung dilantukan, penerangan menyala seperti semula. Bergantian dengan kidung, kini doa dituturkan sebagai penutup serangkaian acara sebelum ampeng dipotong dan dimakan bersama.

Ancak yang dibuat berisikan nasi putih, sayur gudangan, tempe, dan sayur kentang. Kami menanyakan makna dari makanan yang diletakan pada ancak, Yuli menjelaskan “Saya kan orang-orang sekarang jadi kurang tau, kita melajutkan tradisi. Tapi kalau Tumpeng itu, yang kaya kerucut mengarah keatas, itu seperti doa yang mengarah keatas juga,”
Ancak-ancak kecil dibagikan kepada para warga dan pengunjung untuk dimakan bersama, Umi Latifah (43 tahun) yang kami temui sebagai salah satu warga yang turut dalam pembuatan isi ancak bercerita bahwa tahun ini ada peningkatan pengunjung dan jumlah ancak. “Tahun ini lebih banyak orangnya (Red: Jumlah yang hadirnya), ancaknya aja bikin banyak soalnya kan tahun kemaren cuma buat 30, tahun ini jadi 50,” terangnya.

Tak luput, kami turut diajak beberapa warga sekitar untuk mencicipi makanan dari ancak tersebut. Selepas makan, kami membasuh tangan kami dengan air di dalam ember kecil yang diletakkan di pinggir-pinggir candi. Kemudian kami duduk di pelataran candi sembari mengobrol ringan dengan Yuli. Ia menjelaskan bahwa dari ada penambahan pengunjung untuk tahun ini. Tak hanya warga dari Desa Rowoboni, tetapi ada warga dari desa lain juga, bahkan ada juga pengunjung yang berasal dari luar semarang.

Untuk persiapan acara, Yuli menjelaskan, “Sebulan sebelumnya itu sudah ada rapat kecil untuk pembentukan panita antara yang muda dengan yang tua. di dalam rapat itu kita membahas biaya, terus mau ditambah apa,” katanya. Selain itu, selepas acara ini berlangsung Yuli menerangkan bahwa biasanya warga akan melakukan tirakat bersama agar kekeluargaan semakin erat. “Tirakatnya itu melekan (begadang) sampe pagi setelah acara selametan tadi. tirakatannya itu kita ngopi-ngopi, tuker kaweruh, kaweruh itu kayak kita bertukar pikiran,” terangnya kepada kami.

Sebagai penutup obrolan kami di waktu yang sudah hampir tengah malam, Yuli berharap agar acara budaya yang ada sejak dahulu terus berlanjut dan pengunjung semakin bertambah. Yuli juga menambahkan, “Harapan saya, jangan sampai kendor anak muda sekarang, cintailah apa yang ditinggalkan oleh nenek moyang. Karena, adab seseorang itu tidak lepas dari peninggalan tadi,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *