Kepeningan Warga Rawa Pening dan Polemik Menghadapi Masalah

Sumber Foto: Akrom/DinamikA

Oleh: Ahmad Ramzy

TERKUNGKUNG oleh kebijakan, petani Rawa Pening mengalami kerugian tidak dapat panen selama hampir 3 tahun akibat banjir yang menggenangi lahan pertanian mereka dan berjalannya proyek revitalisasi yang tak melihat nasib warga di sekitarnya. 

“Selama hampir 3 tahun kan tidak bisa panen, dampak dari pemerintah itu, revitalisasi. Petani jadi tidak bisa menanam karena lahannya tergenang,” jelas Suwestiono (65) Koordinator Forum Petani Rawa Pening Bersatu (FPRPB) saat dijumpai dan dengan lugas langsung menyampaikannya di awal berjumpa, Jumat (27/01/23).

Program yang dikatakan oleh Suwestiono ialah program turunan dari Keputusan Menteri (Kepmen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 365/KPTS/M/2020. Ia menganggap bahwa aturan-aturan yang ada di Kepmen tersebut mengakibatkan lahan pertanian menjadi tergenang air danau dan selama hampir tiga tahun petani tidak memiliki pemasukan akibat tidak bisa panen.

Sebelum memasuki kawasan Salatiga melalui jalan Semarang-Surakarta di tepi jembatan Tuntang, Kabupaten Semarang terpampang spanduk yang cukup besar, hingga siapapun yang lalu-lalang melewati jembatan Tuntang terpaku melihatnya, spanduk tersebut bertuliskan ‘Petani Rawa Pening Menolak Kepmen PUPR No. 365/KPTS/M/2020.’

Tulisan yang terpampang dengan jelas di pinggir jalan tersebut adalah sikap yang diambil dan dimaksudkan bahwa petani Rawa Pening merasa dirugikan. Bahkan, masalah dan kerugian yang dialami oleh petani dari adanya Kepmen dan program revitalisasi, belum sama sekali terakomodir dengan baik oleh pihak yang bertanggung jawab. Tidak tanggung-tanggung program revitalisasi tersebut akan berjalan hingga tahun 2024 mendatang.

Kerugian yang dialami oleh petani sendiri diakui oleh Suwestiono telah terjadi sejak April 2020. Dirinya berujar bahwa hingga hari ini bersama FPRPB telah menyuarakan keadilan untuk Rawa Pening melalui bupati dan DPRD Jawa Tengah (Jateng) hingga ke Gubernur Jateng dan Kementerian PUPR. Namun, titik terang belum dirasakan oleh Suwestiono dan petani Rawa Pening lainnya.

“Saya bikin surat ke Gubernur (red: Ganjar Pranowo) lewat Instagram saat Maret 2021. Dari awal saya jadi petani, ketika di Rawa Pening bergejolak, saya yang maju, saya tidak takut selagi saya benar, walaupun memang tidak mudah melawan pada penguasa,” ujarnya dengan nada tegas. 

Ia melanjutkan rangkaian aksinya dalam menyuarakan keadilan tersebut. “Awal-awal saya kirimkan ke gubernur, sayangnya belum ada tanggapan, sampai akhirnya setelah saya kirimkan lagi, baru ada tanggapan. Cuman, dari Pak Gubernur tidak memiliki kewenangan dengan masalah yang kami hadapi, jadi yang memiliki kewenangan hanyalah PUPR pusat, dengan hal itu akhirnya saya pernah datangi Kementrian PUPR,” jelasnya.

Tuntutan yang dibawakan oleh FPRPB dengan diwakilkan oleh Suwestiono selama perjalanan waktu menyuarakan keadilan meliputi empat tuntutan. Pertama, cabut Kepmen PUPR No. 365/KPTS/M/2020. Kedua, ganti kerugian selama kurang lebih 3 tahun tidak bisa tanam akibat revitalisasi. Ketiga, setiap tahunnya dapat tanam/panen 2 kali, karena sawah di bibir danau Rawa Pening ialah lahan subur sebagai lumbungnya beras Kabupaten Semarang. Keempat, nelayan budidaya tangkap branjang, jaring jala, icir, pancing, dan lain-lain, ikan karambah yang menggunakan pelet untuk memberi makan ikan bukan penyebab sedimentasi danau Rawa Pening. 

Terjerat Oleh Aturan dan Serakan Limbah

Rawa Pening ialah danau alam yang letaknya di cekungan terendah dari tiga lereng gunung, yaitu Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo dan Gunung Ungaran. Rawa Pening luasnya mencakup hingga membagi empat wilayah yang diantaranya Kecamatan Bawen, Ambarawa, Tuntang, dan Banyubiru. Luas dari danau Rawa Pening sendiri mencapai kurang lebih 2.670 hektar.

Rawa Pening sendiri masuk dalam Danau Prioritas Nasional (DPN) karena kondisi Rawa Pening dianggap sudah gawat akibat dari adanya sedimentasi atau endapan tanah pada dasar danau, sehingga wadah air danau menjadi berkurang. Itulah yang akhirnya melatar belakangi adanya Kepmen PUPR No. 365/KPTS/M/2020 yang merujuk pada Peraturan Menteri (Permen) PUPR No. 28 Tahun 2015 Tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau. 

Sejak aturan ini ada, begitu pun dengan program revitalisasi yang dijalankan oleh Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali-Juana dan Kodam IV/Diponegoro, Suwestiono memberitahukan kerugian yang dialami oleh petani akibat dari revitalisasi, sekitar 2.000 petani tidak mampu menanam padi dengan luas lahan 500 hektare di 14 desa tidak bisa menanam lagi karena penutupan pintu air bendungan Tuntang, Rabu (27/01/23).

Dari 14 desa yang terdampak tersebut di antaranya: Desa Tambak Boyo, Kejawen, Pojok Sari, Banyubiru, Kebon Boyo, Kebumen, Rawaboni, Rawasari, Candirejo, Sraten, Jombor, Kesongo, Lopait, Asinan. 

Yang disayangkan pula oleh Suwestiono adalah garis sempadan yang dalam ungkapannya mengambil tanah milik warga. Kemudian batas antara patok putih dengan patok kuning dijadikan tempat untuk kerukan-kerukan sedimentasi dari dasar Rawa Pening. Bahkan, pematokan sempadan atau batas-batas tersebut tidak pernah sekalipun dibicarakan terlebih dahulu kepada warga, itulah yang menjadi ironi dan teramat disayangkan oleh warga juga. 

Masalah yang terus dialami oleh petani di Rawa Pening layaknya mimpi buruk yang senantiasa menghantui mereka, Ismail Saleh selaku Bendahara FPRPB turut mengomentari Kepmen yang mengatur di wilayah tersebut yang pada akhirnya menyebabkan terganggunya aktifitas warga, bahkan batas elevasi air dinaikkan yang semula sebesar 461,30 mdpl hingga menjadi 463,30 mdpl. 

“Penetapan batas elevasi air dari 461,30 dinaikkan dua meter sampai 463,30 kan ambyar toh, mas. Dari dinaikkannya itu kita semua mulai bergerak, yang mana memang kajian dari Kepmen tersebut salah dan berdampak luar biasa kepada petani Rawa Pening,” tuturnya, Jumat (27/01/23). 

Melansir dari klikdinamika.com, ditambah dengan kenaikkan tapal batas milik negara sampai pada tanah masyarakat sehingga menerjang lahan pertanian dan permukiman warga. Ismail mengatakan kerugian yang didapat bukan hanya perihal tanah mereka yang terampas karena tapal batas saja, namun petani Rawa Pening harus merasakan kerugian sekitar 40 miliyar akibat sawah mereka yang terendam selama kurang lebih 2 tahun lamanya, Minggu (4/09/22).

Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Jateng, Purwanto (49) turut membenarkan kerugian yang didapatkan oleh petani, bahkan dirinya dengan tegas mengatakan bahwa Kepmen tersebut adalah siasat untuk merampas tanah rakyat. “Yang jelas ini model perampasan tanah oleh negara yang dikemas oleh Kepmen tersebut,” katanya, Selasa (17/01/23).

Purwanto mengungkapkan pula dengan adanya Kepmen dan revitalisasi harus dikaji terlebih dahulu serta perlu mencakup ke seluruh sektor kehidupan masyarakat. “Melalui Kepmen, revitalisasi harus dikaji ulang dari berbagai sektor, sejarah, budaya, ekonomi, dan lainnya. Bukan dengan atas nama revitalisasi, petani menjadi korban,” ujarnya.

Seorang Photo Jurnalist yang mengangkat isu perubahan lingkungan dan sosial terkait 15 DPN, Candra Firmansyah (37) menceritakan sedikit permasalahan dari adanya program revitalisasi yang ada di Rawa Pening. “Permasalahan patok batas Rawa Pening saja sudah bermasalah dengan warga sekitar, pihak Kabupaten Semarang membenarkan bahwa patok batas yang dipasang oleh Kementerian PUPR yang dilakukan oleh pihak ketiga juga, tidak sesuai dengan peta Rawa Pening, ada kecurigaan pula bahwa proses sertifikasi tanah itu adalah jalan untuk mempermudah proses jual-beli tanah yang nantinya bakal dilakukan oleh pihak ketiga pelaksana revitalisasi,” ceritanya, Minggu (22/01/23). 

Candra menyatakan bahwa apabila Rawa Pening yang nantinya akan dijadikan tempat wisata, seharusnya tidak melupakan dampak kepada masyarakat secara lingkungan dan sosialnya. “Kalau nantinya akan jadi pariwisata nasional, hendaknya dengan prinsip pariwisata yang berbasis masyarakat dan berkelanjutan secara lingkungan dan sosial,” imbuhnya. 

Titi Permata (46), pegiat lingkungan berpendapat bahwa dirinya mendukung adanya revitalisasi, asalkan program revitalisasi danau Rawa Pening tidak merugikan sektor sosial hidup masyarakat di sekitarnya. “Yang terkena dampak harus berkomunikasi dengan orang-orang yang berpotensial menyebabkan kerugian di sana. Danau di Rawa Pening dengan adanya revitalisasi justru akan mengembalikan debit Rawa Pening seperti semula lagi akibat sedimentasi dan endapan tanah pada Rawa Pening, perlu kembalikan Rawa Pening menjadi cadangan air tanah, itulah yang perlu kita terlateni, ajeg,” jelasnya, Minggu (27/11/22).

Di sisi lain, limbah yang terdapat di Rawa Pening pun cukup memprihatinkan juga, pasalnya eceng gondok dan sampah-sampah yang berada di danau tersebut ikut merusak pertanian warga ketika air danau sedang meluap. Tidak dapat dipungkiri, limbah-limbah di danau dominan dari limbah plastik yang sulit untuk didaur ulang seperti sampah bungkusan makanan dan minuman ringan. 

Melalui observasi langsung, di kawasan Banyubiru, tepatnya di samping tempat wisata Bukit Cinta terdapat sampah yang mengambang di sepanjang pesisir danau Rawa Pening, Sabtu (24/12/22). Besar kemungkinan sampah yang ada berasal dari sampah rumah tangga dan tempat wisata. Sehingga, sampah-sampah inilah yang turut serta merusak lahan pertanian warga, selain karena sedimentasi dan luapan air yang menutup lahan. 

Melihat hal itu, Candra cukup menyayangkan terkait penanganan sampah yang ada pada Rawa Pening yang belum menjadi pekerjaan yang serius. “Sampah masih belum ada penanganan khusus, sehingga masih banyak sekali sampah di sana, terutama di kawasan Semurup dan hilir sungai dari Candirejo dan kali panjang,” ungkapnya. 

Ia menambahkan sampah-sampah yang terdapat di Rawa Pening ialah sampah yang terbawa arus hingga ke danau tersebut. “Sampah plastik memang banyak di Rawa Pening, karena terbawa arus dari 9 sungai besar yang menuju Rawa Pening, ditambah pula dengan pariwisata di Rawa Pening yang menyumbang banyak sampah,” jelasnya. 

Kemudian, pencemaran di danau tersebut tidak lepas pula dari limbah logam berat yang berasal dari lahan pertanian warga yang menggunakan pupuk pestisida. Logam berat yang terkandung di perairan dapat mengganggu pertumbuhan biota laut yang ada di danau. Logam berat yang masuk ke dalam tubuh makhluk hidup akan menderita biokonsentrasi, bioakumulasi dan biomagnifikasi. (Hidayah 2014). 

Tidak hanya itu saja, Candra Firmansyah dengan hasil jurnalistik fotonya, dari enam jenis ikan lokal Rawa Pening tersisa empat jenis saja yang mudah untuk ditemukan di tengah banyaknya jenis ikan introduksi yang sengaja dimasukkan ke dalam ekosistem di danau tersebut, padahal jenis ikan yang dimasukkan ini merupakan ikan-ikan yang invansif sehingga akhirnya beberapa jenis ikan lokal sulit untuk ditemukan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *