Normal saja. Masih dalam misi khayalku. Memburu tepian langit. Berlari berpacu dengan waktu hingga semak menjeratku. Arrrggghhh. Luka kecil. Hanya kaki kananku yang akhirnya dibuat pincang dan berdarah. Semak macam apa itu sampai-sampai tak bersahabat denganku. Ah, aku tak peduli.
Berjalan tak terlalu jauh. Kusandarkan keletihan hari ini pada pohon beringin tua yang siap memelukku. Siapa tahu penghuninya minat dengan tampang amburadul yang nggak pernah mandi ini. Bisa jadi dia malah pingsan, kabur, atau menjelma jadi bidadari berbalut bikini yang membuat aku buru-buru mandi. Hahaha, lagi-lagi khayalan kotor.
Masih dini hari, aku tak bisa mengira-ngira waktu. Sepertinya ini perjalanku yang kedua puluh tujuh dalam seminggu terakhir, tapi agaknya tidak. Aku belum juga beradu ke istana megahku sejak seminggu lalu. Ya, menjadi kaum kapitalis tak cukup membahagiakan. Harta yang sudah kudermakan malah semakin bertambah. Tak juga habis dan terkikis.
Kularikan diri ke tepian hutan, sekarang saatnya mencari arah jalan pulang. Lho? Terus ngapain aku ke hutan malam-malam tanpa kawan?
Oh, iya, aku kerja di dinas perhutanan. Patroli malam itu sudah rutinan. Ya, jaga-jaga saja kalau sampai ada oknum-oknum yang terlibat dalam penebangan pohon liar. Tak bertanggungjawab. Mereka memang sering berkompromi dengan malam, mengendap-endap. Tapi malam ini aman, kuputuskan saja untuk kembali ke pos jaga. Sudah menjelang pagi juga.
Pagi benar-benar datang. Hari ini jatahku pulang ke rumah. Rindu menjemputku, tapi belum sampai. Rindu itu nama istriku. Diberi nama seperti itu mungkin karena berjodoh denganku, aku yang kerap membuat Rindu merindu. Itu rutinitasnya sebagai istri Tarzan si penjaga hutan. Eh, bukan Tarzan, aku Alang. Kawan-kawanku memanggilku Belalang, sama saja spesies hutan. Tak masalah.
Ada telepon. Rindu. Kuangkat. Kupencet tombol hijau tanda terima. Kutempel langsung di telinga kanan, dan….
“Hallo, mah!”
“Hallo, yah!”
“Kenapa mah? Kangen?”
“Enggak, Rindu yah.”
“Oh, aku tahu, yang kangen aku sih, yang Rindu cukup kamu, hehehe.”
“Ah, ayah mah!”
“Ayah atau mamah sih? Hehehe”
“Tau ah, jadi pulang sekarang? Aku jemput ya.”
“Iya, aku baru kembali ke pos, aku menunggumuuuuaaah.”
“Iya.”
Dia nggak romantis, tapi perhatiannya itu lho, melebur setiap sudut kebekuan. Semenit, lima menit, sepuluh menit. Bbrrrmmm! Suara mobil Jeep sudah di depan pos jaga. Wanita cantik menjemput lelaki gagah yang kucel. Pastilah istriku yang tangguh. Seperti biasa, ditentengnya bungkusan berisi tisu basah untukku. Eh, bukan. Untuk muka kusamku. Diusapkan di wajahku, halus lembut dan penuh cinta. Lebih halus daripada ritme memarut kelapa. Ditatapnya mukaku penuh perhatian.
“Besok tanggal merah tiga hari kan yah? Di rumah dulu ya,” Ia mulai percakapan.
“Nggak mau ah,” Kusambut ucapannya.
“Lho, kok gitu?”
“Aku mau long weekend aja sama kamu.”
“Ya kan sama aja di rumah.”
“Gak mau liburan?”
“Nggak. Kalau cuma rencana.”
“Tanpa rencana. Sekarang kita berangkat.”
“Hah, emang mau kemana? Kan belum persiapan juga kan?”
“Disini, tidak usah persiapan.”
“Ada-ada aja deh.”
“Mau nggak? Hem? Hem?” bujukku merayu.
“Ih, ayah mah.”
“Hehehe, cuma bercanda. Iya besok kita long weekend di rumah. Persiapkan semua yang kita butuhkan.”
“Emang mau ada hajatan, perlu siap-siap segala?”
“Oh, jelas ada. Jangan lupa besok kan kamu harus syukuran tujuh bulanan mah.”
“Ya ampun, lupa. Sudah tujuh bulan ya?”
“Mamah gimana sih, hati-hati jaga tuh calon jagoan ayah. Jangan sampai jadi Jagoan Neon. Hahaha.”
“Hehehe, iya ayah, sayang.”
“Nggak usah jemput-jemput ayah lagi, ayah sudah ambil cuti tiga bulan.”
“Lhoh? Kok malah cuti, emang ayah yang hamil? Pasti alasannya nggak masuk akal.”
“Alasannya ya, nunggu istri yang hamil, kasihan istrinya kurang kasih sayang, tiap hari Rinduuuu terus,” Kucubit pipinya penuh kegemesan.
“Ya iyalah ayah, namaku Rindu dari dulu kok.”
“Ya udah. Yuk, pulang.”
Jeep-ku melaju pelan, biar Si Jabang Bayi nyaman naik mobil tua ayahnya. Baru setengah pejalanan. Sengaja ku injak pedal rem mobil dengan tergesa. Ciiiitttt. Aku keluar mobil, kuperiksa seluruh rodanya. Asssshhh. Ban mobil bagian kiri belakang sobek, bukan hanya bocor. Rupanya ada senjata tajam yang tergilas roda.
Jalan sepi, jauh dari pemukiman juga. Karena ini masih area hutan. Ban serep tak terbawa. Kacau. Harusnya sekitar dua kilo lagi ada kampung, tapi aku nggak tega membiarkan istriku jalan kaki. Dia hamil tua, tapi dianya muda kok. Percaya deh, cantik juga.
“Mah, kalau aku ke kampung sebentar gimana?” mulai bingung.
“Aku gimana, yah?” ikut bingung.
“Mamah disini, Ayah cari bantuan buat mobil kita. Disini nggak akan ada orang lewat kalau nggak patroli hutan. Hari ini mereka libur ‘kan.”
“Iya deh, tapi jangan lama-lama ya, Yah.”
“Siap komandan.”
Aku berlari, agar Rindu tak kelamaan menunggu. Sekitar 23 menit aku sampai. Langsung kuminta siapapun yang ada di sana. Desa ini kurang makmur, jarang yang punya kendaraan bermotor. Orang-orang yang punya kendaraan semua sedang merantau. Tapi ada seorang yang sedang mengelus-elus body motor CB 100 yang sepertinya sering macet.
“Pemisi, Pak. Saya dari kota, kerja di hutan lindung sini. Nah, kebetulan mobil saya tadi melindas benda tajam, sekarang teronggok di tepian hutan. Jika diperkenankan saya ingin meminjam motor bapak untuk menjemput istri saya.”
“Oh iya, den. Tapi motor bapak sering ngadat, tidak apa-apa ya.”
“Begitu ya, pak. Tidak apa-apa, nanti saya coba bawa pelan-pelan.”
“Iya, den. Ini kuncinya.”
“Oh iya, Pak. Saya bawa ya, pak. Nanti saya kembalikan. Saya langsung pamit ya, pak! Istri saya sudah lama menunggu.”
“Iya, den. Monggo… hati-hati, den.”
Huuuh rejeki anak soleh! Akhirnya dapat bantuan. Ini motor serasa mengajakku nostalgia di era 90-an. Bising benar suaranya. Ah, anggap saja musik pelipur, hahaha. 10 menit sampai.
Tapi….
Tak juga kujumpai istriku. Kemana ia? Ah, buatku cemas saja.
Tiba-tiba….
Kutemukan ceceran darah di sepanjang jalan, kuikuti ia sebagai langkah pencarian. Jauh, dan berhenti di bawah pohon cemara. Tapi dimana istriku? Disitu hanya ada ceceran darahnya. Kemudian aku maju lagi selangkah. Oh Tuhan!
Aku menemukan sebatang sabit tajam tergeletak di tanah. Penuh darah. Ku langkahkan lagi kaki yang mulai gemetar, pikiranku entah telah kemana. Aku cemas, risau, bingung dan tak tahu harus bagaimana. Kutemukan potongan baju istriku yang masih ingat betul itu baju kesayangannya. Tuhannnnn, aku semakin tak karuan.
Dimana dia? Kenapa seperti ini? Aku harus bagaimana Tuhannnn? Tanda tanyaku sudah semakin memenuhi kapalaku, bentuknya semacam sabit tajam yang kutemukan. Aku berlari, menelusuri setiap jengkal hutan. Masih tak kutemukan. Aku bingung. Benar-benar bingung.
Sore, petang, malam hingga pagi menjelang, hasil pencarianku zonk.
“Rindu sayang, dimana kamu? Bodoh sekali aku meninggalkan kamu di tengah hutan seperti ini.” batinku penuh penyesalan.
Ada suara bisikan yang mengendus di telingaku. Itu Rindu, suaranya. Aku yakin. Tapi itu hanya halusinasiku, dan Rindu masih tak disini. Aku putuskan untuk pulang dan mencari bantuan polisi.
To be continued…
(Alvina Fitria/Crew Magang_)