Oleh: Thoriq Baihaqi Firdaus
Mencuplik kalimat dari Abraham Lincoln, bahwa demokrasi pada dasarnya adalah suara rakyat. Negara kita adalah negara demokrasi, kebebasan berpendapat sangat dijunjung tinggi. Semua orang boleh berpendapat, mengutarakan aspirasi, memberi kritik maupun saran asalkan dengan cara-cara yang sopan. Demokrasi dan kebebasan berpendapat jangan serta merta dimaknai sebagai ajang meluapkan emosi.
Kita ketahui bersama, akhir-akhir ini di media sosial, khususnya bagi masyarakat kampus IAIN Salatiga, tersebar platform ajakan untuk mengirimkan pesan singkat kepada Bapak Rektor. Demokrasi dan kebebasan berpendapat memang harus dijunjung tinggi dan bagi mahasiswa itu wajib. Tetapi, harus menggunakan cara yang sopan.
Gerakan tersebut menyebar begitu cepat, mampu menghasut sebagian mahasiswa. Namun sangat disayangkan, kedewasaan mahasiswa dicederai melalui gerakan tersebut. Tidak ada yang bertanggung jawab, dalam platform tidak ditemui satu logo pun baik dari Sema, Dema, HMPS atau UKM, yang ada hanyalah logo IAIN Salatiga. Bila ingin membuat gerakan bersama, paling tidak berani bertanggung jawab dengan mencantumkan logo.
Menyebar luaskan nomor telfon Bapak Rektor sama saja mengganggu privasi beliau. Hal tersebut dapat mengganggu kenyamanan beliau sebagai salah satu pengguna media sosial. Bagi mahasiswa meneriakkan keadilan sangatlah penting, namun mencantumkan nomor telfon Bapak Rektor adalah ketidak adilan bagi beliau. Pada akhirnya khalayak luas tahu nomor tersebut, yang pastinya akan sangat mengganggu kenyamanan pengguna nomor telfon.
Dalam platform tercantum jelas untuk mengirim pesan secara sopan, tetapi disitu juga tertulis bahwa waktu gerakan dimulai pukul tujuh malam, Diluar jam kerja mengirim pesan kepada Bapak Rektor? Apakah itu bisa dianggap sopan? Tentu tidakkan.
Apalagi ditambah dengan masa yang tidak terkontrol, masyarakat kampus pasti sudah mengetahui, banyak dari teman-teman mahasiswa menscreenshoot teks pesan yang dikirmkan kepada Bapak Rektor dan dijadikan sebagai Whatsapp story. Ada beberapa dari screenshootan tersebut yang bernadakan ancaman sampai dengan curhatan.
Sekali lagi, demokrasi dan kebebasan berpendapat harus menjadi konsumsi mahasiswa, karena kita adalah corong perubahan. Namun kedua hal tersebut harus dibarengi dengan kesopanan. Kedewasaan mahasiswa sangat diuji untuk saat ini, berfikir jernih sangatlah penting untuk tidak terprovokasi.
Kalau memang tidak suka dengan kebijakan yang diberikan Bapak Rektor, kritiklah. Mengkritik tentu boleh, beliau pun pasti terbuka dengan kritikan, apalagi dari mahasiswa. Namun harus dengan cara yang sopan. Kalau memang tidak suka dengan kebijakannya, jangan gunakan nomor telfon, karena itu bersifat privat. Sama saja mengkritik privasi dari beliau, seharusnya yang dikritik itu kebijakan beliau.
Diakhir opini ini, penulis ingin menuliskan, bahwa kritik melalui media sosial tentu diperbolehkan, tetapi dengan cara yang sopan. Bukan mengkritisi orangnya tapi kritisilah kebijakannya. Kalau mau mengadakan aksi virtual, dengan mengkritik kebijakan Bapak Rektor, bisa juga dengan menandai akun resmi kampus atau naikkan tagar twiter. Salam Kritis Progresif.