Budi Pego saat dibawa polisi (Sumber Foto: Law Justice.co).
Klikdinamika.com– Heri Budiawan atau yang sering dipanggil Budi Pego adalah seorang aktivis lingkungan dan merupakan warga Desa Sumberagung yang menolak adanya tambang emas di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur. Tambang emas itu milik anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold yaitu PT Bumi Suksesindo (PT BSI) dan PT Damai Suksesindo (PT DSI).
Budi Pego dituduh mengibarkan spanduk berlogo palu arit saat aksi menolak perusahaan tambang pada April 2017 dan didakwa menyebarkan komunisme. Ia dijerat dengan pasal tentang kejahatan terhadap keamanan negara dan divonis 10 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi. Namun, setelah mengajukan kasasi, hukuman yang semula 10 bulan meningkat menjadi 4 tahun.
Reporter Klikdinamika.com berkesempatan mewawancarai langsung Budi Pego terkait kriminalisasi terhadap warga yang menolak program pembangunan pemerintah secara langsung, di tempat yang dirahasiakan, Sabtu (18/1/2025).
Bagaimana status Budi Pego sekarang dan seperti apa kronologi duduk perkaranya?
Saya masih berstatus narapidana, belum bebas murni, statusnya masih Pembebasan Bersyarat (PB). Saya setiap bulannya masih wajib lapor.
Sedangkan masalah kasus saya dulu berawal dari melakukan tolak tambang di Tumpang Pitu. Saat itu, saya diperkarakan soal masalah spanduk-spanduk yang bermuatan paham komunisme—entah siapa yang melakukan itu. Dan setelah itu, saya diproses hukum walaupun tidak terbukti. Saya divonis 10 bulan dengan tuntutan 7 tahun.
Karena saya merasa tidak melakukan dan tidak terima, akhirnya saya mengajukan banding. Saat sampai di Penggadilan Tinggi Surabaya, tuntutannya masih sama. Akhirnya saya dan kuasa hukum saya sepakat untuk melakukan kasasi ke Makhkamah Agung (MA) di Jakarta. Pada Juli 2017 saya mengajuan kasasi, lalu berlanjut pada bulan Oktober, sekitar 2 bulan setengah untuk penanganan perkaranya. Anehnya lagi setelah kasasi ditolak, kasus saya justru dinaikan yang awalnya 10 bulan menjadi 4 tahun.
Berarti dalam kasus ini ada dugaan fitnah dan dikriminalisasi?
Ya, kalau dibilang fitnah, sebenarnya iya. Karena satu, banyak bukti dan saksi menunjukkan kalau saya sebenanya tidak melakukan apa yang dituduhkan. Pembuatan spanduk dari awal sudah ada yang mendokumentasikan, bahkan dari kepolisian ada, dari media juga ada. Ada dua media waktu itu yang mendokumentasikan. Tetapi mereka-mereka tidak pernah dimintai keterangan terkait kejadian itu. Padahal pada dakwaan, kunci utamanya sebenarnya dari mereka itu.
Selanjutnya yang kedua, anehnya waktu pembentangan spanduk itu, saya tidak ikut membentangankan juga. Nyentuh enggak, megang enggak. Terus dakwaannya, pembuatan spanduk di rumah saya, memang benar pembuatan spanduk di rumah saya. Tetapi tidak ada spanduk yang dituduhkan itu. Sampai sekarang spanduk itu di mana, enggak tahu. Dan seharusnya kalau mau mencari spanduk yang dituduhkan itu dari orang yang memegang. Dapat dari mana? Dan dikemanakan spanduk itu kan? Barang buktinya sampai sekarang tidak ada. Saya sadar tidak ada satupun yang membuat spanduk itu di rumah saya. Sampai sekarang tidak tahu siapa pembuatnya.
Bagaimana kronologi penangkapan Budi Pego?
Jadi awalnya viral dulu di media sosial. Sebelum aksi saya dan teman-teman membuat spanduk penolakan tambang sekitar jam sepuluh siang. Selanjutnya, kita aksi pemasangan spanduk sekitar jam dua belas. Spanduk-spanduk itu terpasang selama beberapa hari dan tidak ada gambar yang dituduhkan seperti itu (red: palu arit). Adanya hanya di medsos.
Yang anehnya lagi. Orang yang jadi saksinya perusahaan itu, malah yang melaporkan. Itu ditanya di pengadilan kamu dapat video-video itu dari mana? Dari hasil copy ditaruh di flash disk lalu dikasih ke perusahaan tambang itu. Selanjutnya manajer tambang itu melaporkan ke Komando Distrik Militer (Kodim).
Malamnya jam 22:00 atau jam 23:00 orang Kodim datang ke rumah saya, dari Kodim dan Komando Rayon Militer (Koramil). Anehnya, tentara-tentara itu juga yang mengawal aksi, saat aksi semua ada, mulai dari Kepala Kepolisian Resor (Kapolres), Kodim, Koramil, dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang di situ tidak ada yang ngomongin soal komunis atau PKI. Malamnya baru beredar di Facebook,sedangkan saya itu tidak punya Facebook.
Aktivitas saya kan di kebun setiap sore hari. Waktu itu puasa dua hari, Jam lima saya pulang. Tapi karena saya curiga di depan rumah itu ada dua orang yang tidak saya kenal, saya awasi orang itu. Akhirnya jarak lima menit ada mobil itu datang ke rumah. Ternyata di belakang mobil itu banyak mobil. Katanya sembilan mobil itu yang datang ke rumah saya. Akhirnya nunjukin surat putusan dari MA itu.
Saat penangkapan pun ada beberapa prosedur yang tidak sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP). Kepolisian cuma memberikan surat copy-an dari putusan MA dan kepolisian cuma memberikan keterangan bahwa ia hanya melaksanakan tugas dari kejaksaan untuk mengeksekusi saya. Daripada ribut-ribut akhirnya saya ikut ke mobil polisi.
Saya ngomong ke kepolisian, “saya tidak perlu dipaksa-paksa, saya bukan pertama kali berurusan dengan masalah tambang dan saya tidak pernah lari dari permasalahan itu!”
Saat menghadapi kasus, apakah mendapatkan pendampingan bantuan hukum?
Kalau masalah pendampingan itu banyak. Tapi pendampingannya setelah penyidikan. Waktu penyidikan enggak ada. Pendampingannya itu di waktu persidangan. Waktu penyidikan sampai proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP) itu enggak ada yang mendampingi.
Yang dijadikan tersangka sebenarnya bukan saya awalnya. Awalnya, ada tiga orang yang dijadikan tersangka karena mereka yang memegang spanduk dalam video. Nah setelah 3 orang itu, tiba-tiba saya dijadikan tersangka, karena dianggap saya koordinator.
Kalau hukum itu melalui anggapan, orang itu tak perlu sekolah, semua orang bisa menganggap. “Oh itu pelakunya”. Cuma anggapan, benar tidaknya tidak bisa dibuktikan.
Bagaimana keberlangsungan lingkungan yang anda perjuangkan sekarang?
Yang namanya orang-orang tambang pasti pintar dan banyak melakukan lobi-lobi ke warga untuk bekerja dan masuk ke perusahaan. Dari teman-teman saya sendiri sepakat tolak tambang, hingga saat ini masih memperjuangkan. Karena kita sudah merasakan dampaknya. Jangan anak cucu kita yang merasakan dampaknya.
Bahkan sumur tadah hujan itu debitnya sekarang berkurang, yang dulu bisa hanya menggunakan timba manual, sekarang enggak bisa. Bahkan kalau tidak hujan dua bulan udah enggak ada air. Bahkan, di lingkungan saya harus pakai sumur bor dengan kedalamannya sampai 40-50 meter. Kalau dulu itu cuma 5 meter sudah ada air dan nggak pernah habis selama saya hidup di situ. Kita mengalami krisis air.
Kondisi warga bagaimana, setelah anda tersandung permasalahan kriminalisasi akibat penolakan tambang
Sebenarnya semua orang tidak pernah menginginkan dipenjara, tapi dengan perusahaan membuat isu-isu yang nggak benar dan melaporkan sesuatu yang tidak pernah kita lakukan. Kita menjadi jengkel dan rasa ingin menolak itu tetap ada. Justru karena adanya perusahaan, menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Contohnya antara warga penolak dengan yang pro tambang itu selalu gesekan. Dahulu sebelum ada perusahaan, kita aman, tentram, dan damai. Justru sekarang antar tetangga tidak rukun.
Apakah aksi penolakan masih berlangsung di Tumpang Pitu?
Beberapa waktu lalu, para petani melakukan aksi protes karena jalan yang biasa digunakan untuk akses pertanian rusak akibat eksplorasi tambang. Mereka merasa dirugikan.
Apa pesan anda mengenai aktivitas pertambangan yang masif dan berlebihan di Indonesia?
Di mana pun yang namanya tambang itu eggak ada yang melestarikan alam semua. Pertambangan itu apapun bentuknya pasti dapat merusak alam. Kita harus pandai-pandai menjaga dan merawat lingkungan agar tetap lestari. (Fatah/Bintang/red)