Sumber Foto: Freepik
Oleh: Fatah Akrom
“… untuk menyusun dan menjalankan skenario kotor seperti ini tidak perlu kepintaran atau kecerdasan, yang diperlukan cuma dua, mental culas dan tahan malu.” —Dirty Vote, Bivitri Susanti
Kutipan di atas jadi manifestasi bentuk kritik terhadap sistem demokrasi prosedural. Bau amis dan sistem yang diperhalus oleh segelintir kepentingan sudah mengakar dan membudaya di negeri ini, begitu juga dengan kampus kita. Tidak ada yang berubah dalam sistem demokrasi di kampus kita, yang berubah hanya susunan pemain dan warna Instagram, serta kabinet barunya. Tulisan hadir sebagai bentuk protes pada tidak bergairahnya sistem politik mahasiswa. Pemira tak lebih dari arena uji laga sebelum akhirnya terjun di politik sesungguhnya.
Jika pembaca muak dengan isu tahunan ini, maka mungkin saat ini kita harus marah. Pembangkangan terhadap sistem yang tidak berkeadilan bukan sebuah kesalahan, sebab pada hakikatnya demokrasi merupakan pemerintahan rakyat (dari kata demos rakyat dan cratia pemerintah). Secara substantif, acuannya adalah prinsip kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang berdaulat, bukan penguasa.
Sesaat tulisan sebelumnya dengan judul yang sama ditulis dengan bertanya, maka penulis kira perlu menulis dengan analisis yang mendalam. Tulisan mendalam yang mengurai soal restorasi dan perbaikan sistem politik yang lebih segar di tataran mahasiswa sudah menjadi desakan utama. Hal tersebut dilakukan demi tercapainya nilai-nilai demokrasi kampus yang lebih merata dan inklusif.
Meritrokrasi dalam Birokrasi
Data SEMA, DEMA, dan Ormawa Tiap Fakultas:
https://drive.google.com/drive/folders/1-DMqfMYskA9eg76Xut6CAe4luA9vzqsA?usp=drive_link
Mari kita mulai tulisan ini dengan seabrek data. Kemarahan publik tentang kekuatan oposisi dominan bukan lahir begitu saja. Permasalahan mengenai Pemira sangat bisa dianggap jadi permasalahan serius. Sifat serampangan dan semau-maunya sendiri dalam pembuatan kebijakan menjadikan cerminan kualitas mahasiswa dalam suatu kampus menjalankan dinamika politik kampusnya. Singkatnya, salah satu prasyarat melihat bagaimana kualitas suatu kampus, salah satunya bisa dilihat dari bagaimana Stundent Goverment-nya menjalankan birokrasi dan politik keberpihakannya.
Saya berandai-andai, jika tiap calon Presiden Mahasiswa dan anggota Senat Mahasiswa paham betul mengenai definisi kehendak rakyat (The will of the people), dan kebaikan bersama atau kebijakan publik (the common good) mereka akan malu jika membangun pemerintahan versi mereka sendiri. Paham kedaulatan rakyat ini lahir sebagai respon terhadap kepahaman yang memberikan kekuasaan mutlak pada negara, baik berbasiskan argumen theokratis maupun duniawi, seperti dalam konsep Thomas Hobbes tentang Leviathan. Prinsip pembenaran dari teori ini, khususnya demokrasi Athena yang saat itu berkembang, ialah warga negara seharusnya menikmati kesetaraan politik agar mereka bebas memerintah dan diperintah secara bergiliran.
Lalu, bagian apa yang salah dalam definisi ‘demokrasi’ di kampus kita?
Para calon Presiden Mahasiswa dan Senat Mahasiswa harusnya kembali lagi membaca buku, mereka harus menemukan kembali substansi demokrasi. Demokrasi pada dasarnya merupakan sebuah pemerintahan konstitusional yang mampu mengekang dan membagi kekuasaan mayoritas, sekaligus dapat melindungi kebebasan individu. Demokrasi muncul atas perjuangan nilai-nilai kebajikan sipil (civil virtue), seperti kebebasan, kesetaraan, keadilan dan kedaulatan yang mulai diperjuangkan dalam rangka melakukan perlawanan atas bentuk otoritarianisme. Sifat otoritarisme yang dahulu kerap melekat pada bentuk pemerintahan monarki otoriter cenderung berkuasa secara mutlak atas rakyatnya. Inilah yang kemudian dikenal dengan ‘kehendak rakyat’.
Hal pertama dalam perbaikan sistem demokrasi dalam kampus ialah meritokrasi dalam birokrasinya. Pertimbangan pemilihan kader dipilih bukan lagi menggunakan asas pertemanan atau dari organisasi mana dia berasal, melainkan kompetensi dasar, kecakapan, dan kapasitas diri. Hal ini tidak benar-benar sepele karena arah kebijakan dan advokasi keberpihakan tergantung pada siapa yang berkuasa. Oleh karena itu, jangan berharap jika ada permasalahan ke depannya seperti naiknya UKT, permasalahan pelecehan seksual, dan permasalahan pembangunan tiap fakultas yang tidak berkeadilan, mampu dibela oleh mereka—para calon terpilih—yang Anda pilih pada Pemira nantinya.
‘Mlempem’-nya Peran SEMA
Kedua, harusnya kita menanyakan peran dan fungsi pengawasan SEMA dalam stagnasi Pemira dari tahun ke tahun. Tanpa evaluasi besar-besaran, tujuan pengembalian demokrasi itu tidak akan tercapai. Pelaksanaan Pemira pada lima tahun terakhir masih jauh dari pemilihan umum yang ideal, serta memenuhi nilai-nilai demokratis dan berintegritas.
Sebagai salah satu manifestasi demokrasi, Tomas Meyer mengemukakan bahwa Pemilu semata-mata bukan hanya demokrasi prosedural dalam menentukan pilihan dan pengambilan keputusan, melainkan lebih jauh sebagai suatu nilai. Demokrasi mampu mengristalisasi kehendak rakyat yang sesungguhnya. Namun, apabila menengok Pemira lima tahun terakhir, dapat dipahami bahwa Pemira semata-mata hanya dianggap sebagai pelaksanaan demokrasi prosedural. Hal ini dikarenakan Pemira diselenggarakan sekadar kontestasi formalitas dengan berbagai keterbatasan.
Sifat formalitas Pemira ditandai dengan dominasi partai tertentu yang disokong oleh salah satu organisasi ekstra kampus, dalam mereproduksi budaya sistem tersebut. Akibatnya, independensi dan integritas lembaga penyelenggara Pemira seperti Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) dan Badan Pengawas Pemira (Bawasra) juga dipertanyakan. Tidak dapat dipungkiri, situasi tersebut akan mempengaruhi rendahnya legitimasi publik terhadap hasil penyelenggaraan Pemira di kampus kita.
Partisipasi mahasiswa dalam Pemira bisa menjadi tolak ukur apakah suatu demokrasi di kampus kita sudah mendapat legitimasi publik atau belum. Hal inilah yang menjadi tugas utama instansi penyelenggara pemira. Selanjutnya, yang perlu dikuatkan adalah aspek kemanfaatan demokrasi. Artinya, demokrasi haruslah dilihat dalam perspektif tepat guna dan berdaya guna. Pada satu sisi, demokrasi dapat meningkatkan partisipasi, namun juga tidak mengorbankan aspek lainnya terutama aspek ekonomis. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa demokrasi yang baik dapat terlaksana apabila nilai, partisipasi, dan kemanfaatan dalam demokrasi dapat terlaksana secara optimal.
Bangun Mahkamah Mahasiswa
Hampir-hampir wacana mengenai Mahkamah Mahasiswa jadi satu gagasan yang jarang terdengar di kampus kita. Namun, wacana mengenai subtansi penegakan hukum justru menjadi alat legitimasi kekuasaan yang baru. Jika kita sadari betul, justru selama ini Pemira tidak begitu asyik dan berjalan seadanya karena tak ada intrik gugat menggugat. Penulis paham betul budaya demokrasi kampus kita yang ‘ramah-tamah’ dan terlalu kekeluargaan itu yang membuat ayem tentrem. Padahal, sebuah sistem yang sudah dikondisikan adalah tanda kebebasan yang diberangus.
Coba kita bayangkan sekali lagi, bagaimana KPUM UIN Salatiga gelagapan menerima gugatan sengketa kecuragan Pemira yang justru senior-seniornya pun belum pernah mengalami kondisi tersebut? Terlihat begitu gagapnya sistem demokrasi di kampus kita, bukan? Meskipun ada lembaga seperti KPUM dan Bawasra, mereka hanya mampu menjangkau kecurangan Pemira dalam hal teknis dan administratif. Hal ini akan menjadi pertanyaan apabila terdapat kecurangan Pemira dalam dimensi yang lain. Misalnya saja, kecurangan etik; kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM); serta kecurangan yang dilakukan dengan menggunakan teknologi cyber atau perangkat teknologi informasi pemilihan dengan cara online. Kecurangan tersebut berdampak pada tereduksinya nilai-nilai demokrasi dalam Pemira.
Mahkamah Mahasiswa dapat mempermudah terimplementasinya sebuah asas hukum yang menyatakan “actori in cumbit probatio, yang artinya bahwa siapa yang menggugat maka ia wajib untuk membuktikan. Hal ini sangat penting karena di beberapa kampus, adanya Pemira justru membuat mahasiswa berbuat frontal, bahkan tak jarang ‘politik baku hantam’ menjadi the final resort ketika salah satu paslon merasa dicurangi. Hal ini setidak-tidaknya dapat diminimalisasi dengan adanya pengadilan mahasiswa karena pihak yang merasa tercurangi dapat mengumpulkan sebanyak-banyaknya bukti, serta dapat berdebat dengan pihak penyelenggara atau pihak paslon yang menang Pemira. Dengan demikian, maka ketika ada kecurangan dalam Pemira tidak perlu lagi ada baku hantam, namun cukup berdebat secara logis, komprehensif, dan sistematis di Mahkamah Mahasiswa.
Wacana Mahkamah Mahasiswa tentunya lebih elegan dan eksotis sebagai insan akademis daripada adu pukul layaknya mahasiswa yang tidak tahu tata krama. Membangun demokrasi sebagai miniatur bangsa haruslah melihat aspek kebangsaan secara komprehensif. Di Indonesia, semangat ketatanegaraan pasca reformasi berubah dari supremasi parlemen—dalam hal ini MPR—menjadi supremasi konstitusi dengan check and balances antar lembaga negara. Dengan demikian, adanya supremasi konstitusi menyiratkan adanya implementasi dari Trias Politica-nya Montesquieu, dengan memisahkan lembaga negara menjadi tiga bagian: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Terakhir, penulis dengan sadar memahami bahwa gagasan ini bisa saja menjadi percuma, jika stagnasi Pemira tidak disadari atau dibiarkan. Pembiaraan tersebut ternyata juga bagian dari politik mayoritas mereka. Menjadi Wakil Mahasiswa bukan sebatas berfoto dengan tangan kanan mengepal dan tangan kiri memegang proposal kegiatan. Watak kekuasaan yang diamanahkan harusnya melampaui jargon kabinet tahunan, yang berakibat terjerumus dalam belenggu pejabat narsisme yang nir-prestasi.
Selanjutnya, bagi kita yang masih merasa masih peduli dengan politik kampus atau setidaknya marah dengan kondisi ini, maka penulis yakinkan bahwa sudah saatnya mengkonsolidasikan diri untuk mengevaluasi demokrasi di kampus kita. Kekuatan demokrasi dan kehendak rakyat ada ditangan kita.
Mari kita bangun kekuatan oposisi di luar parlemen!