Sumber Foto : Rukita.co
Oleh: Sikna Aurel Rianditha/Kontributor
Tikar dibentangkan
Puluhan kami mulai meringkuk di atasnya
Lilin sudah redup
Redupnya membimbing peristirahatan
Angin menerpa sela-sela anyaman kayu
Yang gruwung di beberapa tempat
Terasa udara dingin, kian meringkuk
Kicauan jangkrik tak menghampiri indra pendengar
Apakah pejantan tidak berminat kawin?
Kepakkan sayap nyamuk menyihir kantuk
Mendesak mata menengok kegelapan
Jadi, seperti ini wujud kegelapan?
Tanpa setitik cahaya menemani
Tanpa penenang membersamai
Tanpa penunjuk jalan mengiringi
Tapi, mengapa harus terkejut?
Ini adalah bagian dari nasibku
Yang akan selalu melekat dalam jiwaku
Bukankah sudah sering merasai?
Tapi, mengapa baru kali ini merasa terbebani?
Apakah pertanda sudah mulai asing dengan kegelapan?
Ataukah sudah mulai jenuh dengan kesunyian?
Tidak…
Aku adalah asa
Apalagi yang dipunya oleh kaum kami selain asa?
Perlukah keluar satu sen untuk setiap asa yang mengalun?
Apakah berdosa juga jika asa timbul?
Tuan, sudikah engkau mendengar asaku? Asa kaum kami?
Ataukah kembali menjadi angin lalu tak berarti?
Inilah nasib kami
Selalu membawa asa tanpa tahu kapan tidak merasa di bui
Asa, biarlah hanya kami yang membawanya
Aku. Kami. Asa.