Sumber Foto: Pinterest
Oleh: Najma Jamilah
“Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.” Mengutip salah satu buku R.A Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Siapa yang tidak mengenal sosok Kartini? Raden Ajeng Kartini atau yang lebih sering dikenal R.A Kartini adalah tokoh pejuang wanita yang terkenal akan kontribusinya dalam memperjuangkan hak-hak dan kebebasan perempuan di era penjajahan Hindia Belanda. Pada saat itu, perempuan yang bukan anggota bangsawan tidak diberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Sosok R.A Kartini yang berasal dari keluarga bangsawan membuatnya memiliki kesempatan untuk belajar. Walau demikian, R.A Kartini tetap merasakan adanya ketimpangan besar yang dialami oleh kaum perempuan pada saat itu.
Melihat kondisi tersebut, Kartini tergugah untuk memperjuangkan emansipasi perempuan. Emansipasi ini bertujuan untuk membebaskan perempuan dari jeratan penindasan. Hal tersebut juga dilakukan, untuk memberikan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam segala aspek kehidupan, tanpa ada diskriminasi di dalamnya. Tak hanya itu, R.A Kartini juga mendirikan sekolah untuk perempuan di Rembang serta menulis sebuah buku yang berjudul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’, yang berisi pemikirannya tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan untuk kemajuan bangsa.
Semangatnya dalam memperjuangkan hak-hak Perempuan dan kesetaraan gender menginspirasi banyak perempuan, dari generasi ke generasi. Bahkan, hingga saat ini, setiap tanggal 21 April selalu kita peringati sebagai hari Kartini. Tanggal tersebut diperingati sebagai bentuk penghormatan dan mengenang jasa-jasa R.A. Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender di Indonesia.
Namun, pertanyaannya: apakah Perempuan-perempuan di Indonesia sudah mencapai dan menjalankan peran ideal seperti yang diharapkan Kartini dalam kesetaraan gender dan emansipasi perempuan?
Era modern yang penuh dengan gejolak rintangan dan perubahan ini, menunjukkan bagaimana perubahan sosial, budaya, dan teknologi yang rumit memengaruhi peran perempuan masa kini. Dalam konteks ini, peran perempuan dalam upaya menjadi Kartini dengan cara mereka sendiri. Hal ini menghadirkan berbagai tantangan dan rintangan yang harus dihadapi oleh perempuan masa kini.
Kesenjangan Gender
Meskipun sudah banyak kemajuan dalam mencapai kesetaraan antara pria dan wanita, kesenjangan gender masih menjadi masalah besar di berbagai bidang aspek kehidupan, seperti di bidang pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Perempuan masih mengalami diskriminasi dalam hal mendapatkan pendidikan yang baik, kesempatan kerja yang sama, dan pengakuan atas kontribusi mereka di berbagai bidang. Berdasarkan data dari (World Bank, 2023). Rata-rata, gaji perempuan lebih rendah 15% dibandingkan laki-laki. Hal ini membuktikan masih terjadinya kesenjangan gender yang signifikan di bidang pekerjaan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kerja sama dari masyarakat, pemerintah, dan lembaga internasional untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan adil bagi semua kalangan.
Beban Ganda (Double Burden)
Perempuan zaman sekarang dituntut untuk serba bisa, menyeimbangkan antara karir, keluarga, dan kehidupan sosial. Beban ganda ini semakin berat karena masih kuatnya budaya patriarki, di mana laki-laki dianggap memiliki peran utama di luar rumah dan perempuan bertanggung jawab penuh atas urusan rumah tangga. Sedangkan, pembagian kerja yang tidak seimbang antara pria dan perempuan dapat menimbulkan beban kerja pada pihak yang terdominasi. Pembagian kerja yang tidak seimbang ini merupakan bentuk ketidakadilan gender, sebagai korbannya adalah perempuan–yang dalam konteks ini adalah perempuan pekerja. Beban ganda ini meliputi pekerjaan domestik, seperti: mencuci, memasak, mengasuh anak dan lain-lain. Ditambah, dengan pekerjaan publik seperti mencari nafkah atau bekerja. Di sini, tantangannya adalah bagaimana perempuan dapat me-manage waktu dan tenaganya dengan optimal, agar semua aspek kehidupan dapat terpenuhi dengan baik.
Berdasarkan data pada (UNICEF, 2022), mengatakan bahwa hanya 20% perempuan di Indonesia yang memiliki akses terhadap cuti melahirkan berbayar dan masih kurangnya akses perempuan terhadap layanan penitipan anak yang terjangkau serta berkualitas (World Bank, 2023). Hal ini membuktikan bahwa, masih kurangnya dukungan dan kesempatan yang adil terhadap perempuan dalam hal cuti melahirkan, serta akses terhadap layanan penitipan anak yang terjangkau dan berkualitas. Pada hakikatnya, permasalahan peran ganda perempuan bukan pada peran itu sendiri, melainkan pada akibat atau dampak yang ditimbulkannya pada keluarga.
Tuntutan Media Sosial
Dalam era digital seperti saat ini, perempuan dibebani ekspektasi untuk selalu tampil sempurna di media sosial, yang dapat memicu tekanan dan rasa tidak percaya diri untuk mengekspresikan diri dengan apa adanya. Buktinya, perempuan lebih sering mengalami body shaming, cyberstalking, termasuk pelecehan secara online. Menjadi Kartini masa kini, seharusnya berani tampil apa adanya, menunjukkan rasa percaya diri, dan menolak diri dari standar kecantikan yang tidak realistis.
Perubahan Cara Pandang dan Budaya Patriarki
Perubahan cara pandang dan budaya patriarki mengacu pada: bagaimana kita berpikir dan bertindak dalam kebiasaan, yang selama ini membatasi peran dan hak perempuan dalam masyarakat? Budaya patriarki menempatkan laki-laki dalam posisi dominan dan perempuan dalam posisi subordinat. Sehingga, berdampak menghambat perempuan untuk mencapai kesetaraan gender, seperti stereotip laki-laki hanya mencari nafkah dan tidak terlibat dalam pekerjaan rumah dan pengasuhan anak. Sedangkan, perempuan dibebankan dengan seluruh tanggung jawab rumah tangga dan pengasuhan anak, serta diharapkan untuk tetap bekerja. Stereotip ini mengakibatkan beban kerja ganda bagi perempuan dan menghambat pencapaian kesetaraan gender dalam kehidupan keluarga.
Seperti kutipan yang pernah disampaikan oleh Mohammad Hatta, “Jika kamu mendidik satu laki-laki maka kamu mendidik satu orang, namun jika kamu mendidik satu perempuan, maka kamu mendidik satu generasi“. Kutipan ini menjelaskan betapa pentingnya peran perempuan dalam kemajuan masyarakat. Hal ini menekankan, bahwa investasi pada pendidikan perempuan bukan hanya soal keadilan dan kesetaraan saja, namun juga merupakan investasi strategis bagi masa depan suatu bangsa.
Kutipan tersebut rasanya masih sangat relevan hingga saat ini–di mana kesenjangan gender dalam pendidikan, peluang, dan karir ternyata masih banyak kita temui. Hal ini menjadi pengingat akan betapa pentingnya pendidikan perempuan dalam mengubah dunia, untuk menciptakan lingkungan di mana semua perempuan memiliki kesempatan untuk belajar dengan baik dan meraih potensi yang mereka miliki secara penuh.
Menjadi sosok perempuan seperti Kartini di masa kini memang bukanlah hal yang mudah. Namun, dengan semangat, tekad yang kuat, dan kerja keras, perempuan milenial harus memiliki sikap optimis supaya mampu terus berkarya dan membawa perubahan positif bagi bangsa dan negara. Sosok Kartini telah menunjukkan kepada kita, bahwa perempuan memiliki potensi yang luar biasa. Di era modern ini, tugas kita adalah meneruskan perjuangannya dan mewujudkan cita-citanya tentang kesetaraan gender dan kemajuan bagi seluruh perempuan Indonesia.
Menjadi Kartini masa kini bukanlah tentang mengenakan kebaya dan menjunjung tinggi adat istiadat saja. Melainkan, tentang semangat juang, kecerdasan, dan tekad untuk memajukan bangsa dan negara. Di era yang penuh tantangan ini, perempuan zaman sekarang harus berani mendobrak batasan, melawan stereotip gender, dan terus berkarya untuk membawa perubahan positif bagi masa depan. Mari kita bersama-sama melanjutkan perjuangan Kartini dan mengantarkan perempuan Indonesia menuju masa depan yang gemilang—supaya, para Kartini masa kini, dapat mencapai potensi penuh mereka dan berkontribusi secara maksimal bagi kemajuan bangsa.