Sumber Foto: Freepik
Oleh : Angkasa
“Aya, kamu udah sarapan?”
Bergeming, tidak ada jawaban bahkan dari gerakan. Aya adalah adik perempuan ku. Usianya baru saja menginjak 17 tahun beberapa bulan lalu. Kini dia jadi adik perempuan yang sangat pendiam. Dia memang tidak punya banyak teman dari awal tapi dia tidak pernah sediam ini sebelumnya.
Maafkan kakak, Aya. Kakak tidak bisa berbuat banyak… tapi kakak janji… kakak berusaha sejauh yang kakak bisa…
Aku terlambat ke kampus. Terpaksa ku diamkan Aya dan pergi secepat yang aku bisa. Meski tidak jauh dari rumah. Perjalanan selalu penuh dengan hambatan. Lampu merah, macet, ban bocor dan banyak lagi hal yang jadi hambatan. Hari ini misalnya, aku sudah terlambat 15 menit dari jam mata kuliah Bahasa Jerman. Terjebak macet karena kecelakan lalu lintas beberapa menit yang lalu membuatku harus berlari dari parkiran menuju lantai 3. Meski pada akhirnya tetap saja terlambat.
Sore ini, setelah kuliah. Aku berencana mengajak Aya jalan-jalan. Ada taman komplek dekat rumah yang mungkin akan Aya sukai. Rumah kami baru, jadi Aya belum pernah berkeliling sebelumnya. Aku pikir itu ide bagus agar Aya tidak terus diam di dalam rumah. Kalau mungkin Aya tidak suka taman. Ada kolam ikan kecil disana, opsi yang membantu.
Pukul 15.20 kelas selesai. Tak sabaran aku menjemput Aya untuk ke taman. Menaruh harap semoga Aya tertarik. Banyak hal yang aku harap bisa terwujud dengan hal seperti ini. Tempat pertama aku tuju adalah kamar Aya. Dia yang sedang duduk bersandar di ujung kasurnya. Tengah kosong menatap keluar jendela.
“Aya, kakak mau ngajak kamu ke taman komplek. Kamu siap-siap dulu, kakak mau mandi sama ganti baju juga.”
Lagi-lagi bergeming. Aya benar-benar jatuh telalu dalam hingga akupun kualahan menggapainya. Aku bahkan tidak bisa menebak Aya jatuh di lubang yang mana.
Perjalanan ke taman tidak berhasil banyak. Meski aya tidak keberatan untuk ikut tapi dia sama sekali tidak tertarik dengan apa yang dia lihat. Kita hanya duduk sekitar 45 menit di bangku taman dan memutuskan pulang.
Malam hari setelah rumah-rumah komplek kami sepi. Samar aku dengar suara isak tangis dari kamar aya. Ingin sekali aku masuk dan duduk di sampingnya. Meski aku juga tidak tahu pasti apa yang akan aku lakukan. Isak tangisnya mereda. Belum berjeda lama kini terdengar suara teriakan keras dari dalam. Turut sakit aku mendengar suara itu. Selepas teriakan kini mulai terdengar suara barang berjatuhan, suara benturan, suara pukulan yang tidak tahu persis datangnya dari mana.
Aku tidak tahan. Teraksa masuk aku ke kamar aya. Berantakan, semua barang kamarnya sudah tidak lagi beraturan. Aya kini terduduk di sudut kamar dengan memeluk kakinya yang kecil. Penuh hari
Aku hampir menyerah bulan lalu. Kalau bukan demi Aya, aku pastikan aku sudah hampir membunuh seseorang. Sampai detik ini, aku masih memaki seseorang yang membuat semuanya berubah. Dia anjing tak tahu diri yang akan aku cakar habis mukanya hingga tidak tahu lagi bagaimana rupa aslinya.
Psikiater Aya jelas bilang ini bukan hal yang mudah. Paling tidak butuh 6 bulan untuk Aya berangsur membaik. Itu durasi penyembuhan trauma paling cepat yang bisa dilakukan. Kemungkinan lebih dari jangka waktu itu jelas lebih besar. Aya masih harus berulangkali datang ke psikiater secara berkala. Meminum Phenelzine dalam dosis tertentu. Psikiater Aya juga menambahkan semacam suplemen nafsu makan dan vitamin. Sudah jelas untukku bahwa ini tidak akan mudah. Bahkan hingga detik ini aku ingat betul apa yang psikiater Aya katakan.
“Aya jelas butuh pendampingan serius. Aya juga seharusnya punya lebih banyak interaksi dengan orang-orang agar pikirannya teralihkan” kata psikiater saat pertama kali Aya aku bawa kesana.
“Dia akan banyak diam. Hal itu normal bagi orang-orang yang trauma dan depresi. Dia butuh terus didampingi hingga semuanya lebih baik. Setidaknya hingga Aya bisa berkomunikasi lagi”
Sesi psikiater ini jadi pertemuan dasar yang membuat aku harus tetap bertahan. Aya butuh aku, kakaknya. Bukan orang lain. Mau bagaimanapun, Aya adalah adik perempuanku yang tetap manis dan manja. Sebungkam apapun dia, aku akan tetap meraih dan menjaganya.
“Kasusnya termasuk serius. Maaf, Aya bukan anak perempuan yang beruntung. Kasus pelecehan oleh Ayah kandung sangat jarang ditemui. Kamu perlu memastikan bahwa Aya tidak mengandung anak dari Ayah kalian. Mau bagaimanapun itu tetap harus dipantau.”
Napasku terhenti. Tidak siap aku dengan semua kenyataan yang ada saat ini.
“Keputusanmu membawanya keluar dari rumah itu dan pindah secepat yang kamu bisa itu keputusan yang berarti. Membiarkan korban berada di lingkungan pelaku setelah kejadian akan membuatnya lebih ketakutan. Terlebih Aya mengalaminya saat dia berulang tahun. Hari mana seharusnya dia berbahagia.”
Penjelasan itu jelas memicu amarah yang luar biasa. tahu seberapa bajingan laki-laki itu. Apa yang dia lakukan pada adikku tidak akan pernah dimaafkan. Aku bahkan tidak lagi menyebutnya Ayah. Adik perempuanku, Rinaya ku yang manis.
“Aku berterimakasih padamu, Rey. Sebagai psikater Aya dan sebagai perempuan. Kau sudah jadi kakak yang baik untuk Aya.”