Beberapa Titik Temu Gagasan Marxisme Dan Syari’at Islam

Oleh : Faiz Alfa

Sumber Foto : kumparan.com

“Agama adalah candu masyarakat” Karl Marx dalam jurnal Deutsch Französische Jahrbücher.

Kutipan tersebut tentu familiar di telinga orang-orang yang menekuni ilmu filsafat. Karena memang tidak bisa dipungkiri, bahwa Marx adalah salah satu tokoh yang punya pengaruh besar dalam khazanah ilmu tersebut, terutama filsafat barat. Hampir tidak mungkin jika seseorang mendalami filsafat barat akan tetapi dia tidak mengenal Bapak Marxisme ini.

Agus Suaidi, salah satu dosen IAIN Salatiga pernah ditanya mengenai kutipan tersebut. Ketika dia mengisi acara seminar nasional yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam (HMPS AFI) tahun lalu. Pada sesi diskusi dan tanya jawab, salah satu peserta diskusi bertanya tentang pendapat pemateri terkait agama adalah candu yang diungkapkan oleh Karl Marx.

Suaidi menjawab, yang kurang lebihnya begini, bahwa Marx mengatakan itu kemungkinan besar konteksnya adalah agama Kristen (entah Protestan, Katolik, Ortodok, Koptik, atau bahkan semuanya). Karena kita tau kalau dia hidup di Jerman, dan pernah tinggal beberapa lama di Inggris. Di sana—pada saat itu kebanyakan orang beragama Kristen dan orang Islam sedikit sekali. Orang-orang yang dia temui selama itu adalah orang Kristen dan mungkin Yahudi.

Selain itu, Marx Juga tidak sempat melakukan studi secara komprehensif terhadap agama Islam. Jadi mungkin yang dimaksud di sini adalah agama Kristen. Sebagai agama yang menjadi semacam candu bagi masyarakat.

Membicarakan teori-teori Marx dengan syari’at Islam memang seperti dua hal yang saling bertentangan. Karena dia sendiri tidak dikenal sebagai penganut agama yang taat. Selain itu, ketika orang mendengar namanya, atau gagasannya mengenai sosialisme ilmiah, mungkin benyak dari mereka yang berfikiran kalau Marx, maupun marxisme bertentangan dengan Islam.

Alih-alih menguraikan perbedaan antara gagasan Marx dengan syari’at Islam, Munir Che Anam dalam bukunya, Muhammad SAW dan Karl Max Tentang Masyarakat Tanpa Kelas justru menguraikan titik temu antara gagasan Marx dengan ajaran agama yang dibawa oleh Muhammad SAW, yaitu Islam.
Dalam bukunya, Anam mengatakan ada beberapa titik temu antara gagasan Marx dengan ajaran Islam. Titik temu itu antara lain, tentang kaum yang lemah (proletariat), pekerja, dan derajat mausia.

1. Proletariat
Orang-orang lemah yang disebut oleh Marx sebagai proletariat, dalam diksi Quran disebut dengan mustadh’afin. Di sana dijelaskan, bahwa mustadh’afin adalah orang-orang Bani Israil yang bermukim di Mesir. Pada era Nabi Musa, mereka adalah orang-orang yang lemah. Karena selain pendatang, raja Mesir pada masa itu, Fir’aun (Ramses II) memerintahkan kepada para pasukannya untuk membunuh setiap anak laki-laki yang lahir dari keturunan Bani Israil. Dalam kondisi seperti itu, mereka jelas merupakan kaum yang lemah dan dilemahkan.
 
Allah hendak mengangkat derajat para mustadh’afin ini dan kemudian menjadikan mereka sebagai pemimpin di dunia. Hal ini selaras dengan yang dikatakan Marx bahwa kaum ploretariat (buruh, pekerja, budak) harus diangkat derajatnya.
 
2. Tentang Pekerja
Marx dalam tulisan-tulisannya selalu membela hak-hak para pekerja. Menuntut para pemilik perusahaan tempat mereka bekerja agar memberi upah dengan layak. Tidak hanya mengeksploitasi tenaga pekerja.
 
Hal ini senada dengan ajaran Islam. Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya memerintahkan umatnya agar memberi upah kepada pekerja sebelum  keringatnya mengering. Ini menunjukkan kalau Islam memuliakan pekerja.
 
3. Derajat Manusia
Masyarakat sosialis yang digagas oleh Marx adalah masyarakat tanpa kelas. Semua orang memiliki derajat yang sama. Tidak ada jurang pemisah antara orang kaya dan miskin, birokrat maupun warga sipil. Dan semua dibebani kewajiban yang setara.
 
Selaras dengan itu, Islam mengajarkan bahwa semua manusia di mata Allah itu sama. Baik yang kaya, miskin, pintar maupun bodoh. Mereka semua derajatnya sama di hadapan-Nya. Yang membedakan adalah ketaqwaannya. Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa Allah tidak memandang manusia berdasarkan banyaknya harta yang dimiliki, tidak pula memandang manusia berdasarkan bentuk fisik. Akan tetapi Allah memandang manusia berdasarkan akhlaqnya.

Untuk dapat menguraikan hal semacam ini, tentu dibutuhkan sebuah objektifitas. Karena menelaah teori-tori marxisme dengan disertai semacam ‘phobia’ terhadap peristiwa G30S/PKI serta ideologi kiri lainnya yang akan menghasilkan analisis yang berat sebelah. Maka dari itu, seperti kata Gus Dur, perlu kiranya dibedakan antara marxisme sebagai ideologi dan marxisme sebagai institusi dan gerakan.

1 Komentar

  1. Dede Leni Mardianti Balas

    Kereen. Bahasa yang ringan membantu saya untuk dapat memahami.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *