Cerpen: Nomophobia

Sumber gambar: id.pinterest.com

Oleh: Isma Sabrina

            Aku yang tengah trampil mengayuh pedal sepeda berkarat, iseng-iseng memutari desa yang kian bertransformasi menjadi semi kota. Rupanya pematang sawah sudah tidak seluas dulu saat diriku sedang tumbuh setinggi biji kecambah. Tidak ada lagi bocah-bocah yang asyik bermain lumpur atau menyerok ikan-ikan kecil di tepian sungai.

            Sesekali aku berhenti untuk mengistirahatkan diri, meluruskan kaki yang mulai terasa kaku dan berat. Meneguk setengah botol air mineral cukup membuat sungai di kerongkonganku banjir bandang, seketika haus hilang. Di bawah pohon yang cukup rindang, aku mengeluarkan jantung hatiku; layar kotak berlabel “SAMSUNG” di belakangnya. Kuputar musik favoritku sambil melirik kotak WhatsApp-ku. Sebuah pesan di WAG masuk,”Mrs. Aulin has invited you to join a video meeting on Google Meet. Join the meeting: https://meet.google.com/vca-bjuc-wdw. Kelas dimulai pukul 09.00 WIB.”

            Ternyata liburan telah usai, aku melupakan hari pertama kuliahku. Tapi aku tak lekas pulang, “Kelas virtual kan bisa dilakukan dimana aja,” begitu pikirku. Masih ada waktu 30 menit menuju perkuliahan, aku memutuskan pergi ke sebuah gubuk yang menyediakan Soto Kereyang menjadi favoritku dari kecil. Orang-orang menyebutnya Soto Kere sebab sotonya dijual dengan harga sangat murah, namun isi tumpah-tumpah dan rasanya bukan main lagi. Soto ini cocok banget buat orang-orang yang lagi low budget. Tapi, saking viralnya di instagram, banyak orang-orang berduit yang penasaran dan malah memberi uang lebih. Akhirnya Mbok Sumi, si pemilik gubuk Soto Kere ini memasang harga “bayar seikhlasnya”. Dan hari ini aku makan soto seharga tiga ribu rupiah. “hihi,” aku terawa kecil sebab di kantongku hanya tersisa lima ribu rupiah. Sudah kubayangkan dua ribuku untuk meneguk es teh manis berkeringat.

            Srutap-srutup terdengar bergantian dari satu meja ke meja lainnya. Aku juga berusaha menikmati mangkuk berkuah ini dengan fasih sekali. Namun aneh, tidak ada riuh manusia-manusia yang membicarakan betapa nikmatnya kuah soto ini usai menyantapnya. Kebanyakan dari mereka melayangkan pandangan pada jantung hati mereka masing-masing. Tampak jelas di sudut meja paling asri itu, si ibu membuka aplikasi Shopee yang baru saja memanggilnya lewat notifikasi, lalu menaik-turunkan keranjang belanjanya yang penuh berisi produk-produk yang identik dengan perempuan. Si bapak  asyik menengok You Tube sambil kebal-kebul menikmati putung rokok yang panjangnya sudah tak seberapa, serta kedua bocah di sampingnya sibuk bermain game Mobile Legend dengan masing-masinggadgetnya.

            Sinar matahari memang menyengat kulit kita dengan lahapnya, namun suasana antar sesama sedingin kutub es di utara. Tidak ada percakapan yang muncul. Tidak ada kehangatan dalam jiwa. Semua memilih layar kotak di gengamannya. Bahkan semenit pun tidak bisa terlepas darinya. Tidak satu dua, melainkan hampir semua orang di hadapanku melakukan hal yang sama. Hanya saja aku, atau bisa jadi aku juga hanya sedang kebetulan memikirkan hal semacam ini, sehingga seolah hanya aku yang tidak begitu. Aku ini sok-sok-an mengomentari, padahal aku terbiasa seperti itu, hanya saja aku sedang tidak melakukan itu. Ya Tuhan!

            Buyar lamunanku saat teringat waktu sudah berlalu, kelas sudah mulai 10 menit yang lalu. Aku bergegas menempatkan posisi ternyamanku dan menyalakan lagi sebatang rokok kretek. Masih di gubuk Mbok Sumi, aku menyilangkan kaki di kursi panjang yang berada di balik jendela yang berlatar dua gunung merapi dan merbabu.

            “Ash! Sial! Stimulusnya sudah bekerja dengan baik, harus cepet-cepet pulang,” gumamku karena ingin segera BAB.

5 langkah keluar dari pintu gubuk Soto Kere Mbok Sumi, seorang pemuda bersepeda motor menabrakku. “Brakkkk!!!” suara dua benda yang terbentur cukup keras. Setengah sadar kulihat Google Meet-ku masih berjalan, dan Samsung-ku masih ada dalam gengaman, hingga akhirnya aku tak sadarkan diri saat kurasa diriku terpental ke atas aspal.

Seorang pemuda yang usianya mungkin satu tahun lebih muda dariku, juga menggenggam gadgetnya. Seorang kakek tua yang ikut membopongnya ke pinggir jalan berkata,”Wong-wong zaman saiki wis keno sindrom nomophobia kuabeh, jan-jan!” katanya dengan logat khas wong jowo.

Tanpa kakek itu sadari, dia juga tengah mengalaminya. Hanya saja pemanfaatan dan penggunaan yang berbeda takaran dengan yang lainnya kadang membawa dampak baik ataupun sebaliknya. Orang-orang hampir seluruhnya telah mengidap sindrom nomophobia, yaitu adalah kecenderungan bahwa seseorang akan sering mengecek gadgetnya dan merasa khawatir jika tidak ada di dekat gadgetnya. Gadget telah melekat pada diri dan jiwa manusia, dan semakin ke sini akan semakin sulit terpisah dengannya.

Sepertinya manusia masa ini tengah mengalami ini, semuanya tanpa terkecuali. Hanya saja adalah tentang siapa yang bisa menempatkan diri untuk mengkontrol diri dan tentang bagaimana seseorang bijak dalam menggunakan teknologi.

“HP-ku!!!” teriakku saat aku sadarkan diri. Lagi-lagi gadget yang kucari pertama kali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *