Sempat berhenti satu tahun, Sakbani mahasiswa asal Magelang dapatkan gelar cumlaude saat wisuda VIII IAIN Salatiga pada Oktober 2018. Tak hanya menjalani status sebagai mahasiswa, ia juga nyambi menjadi santri. Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Tingkir Salatiga menjadi tempatnya menimba ilmu agama. Disana, ia juga mengajari anak-anak mengaji.
Pemilik kulit sawo ini sempat tinggal di asrama kampus, pada smester 3 ia memutuskan untuk mondok dengan alasan kurangnya ilmu agama yang didapatkannya ketika mengikuti perkuliahan. Ketika mondok dapat memperkuat ilmu kuliah, maka dari itu menetaplah ia di pondok hingga saat ini. “Di pondok saya dapat memperkuat ilmu agama yang saya dapatkan di kampus, jadi semakin banyak ilmu agama yang saya dapatkan,” tutur mahasiswa Pendidikan Agama Islam ini.
Dengan menganalisis ketidakadilan gender dalam buku pendidikan agama dan budi pekerti (studi komparasi buku pendidikan agama islam dan kristen kelas XI tingkat SMA) mengantarkannya menjadi wisudawan terbaik.
Tak muluk-muluk, alasannya mengambil penelitian ini lantaran melihat gender dalam isi buku pendidikan agama islam dan kristen masih dominan laki-laki. “Bahwa dalam agama itu masih bermuatan bias gender seperti redaksi kalimat, gambar yang sering dimunculkan hanya tokoh laki-laki sedangkan yang perempuan tidak ada. Alsannya karena kenapa perempuan itu tidak ditempatkan pada semestinya. Jika gender dilaksankan dengan baik maka akan membuat kondisi yang baik di masyarakat, pemerataan gitu lah,” ungkapnya.
Meski begitu, kendala untuk menyelesaikan skripsi juga sempat ia alami. “Sulitnya itu meminta referensi dari pustaka, karena masih jarang dan langka. Akhirnya saya mengambil dari Fatimah el mernisii dan tokoh feminis lainnya,” kata alumni SMAN 1 Bandongan Magelang ini.
Indeks Prestasi Komulatif (IPK) 3.94 tak mudah ia dapatkan. Sebelum menjadi mahasiswa, setelah lulus dari SMA ia sempat bekerja di toko sepatu selama satu tahun. Ia mengaku bekerja untuk biaya tambahan masuk kuliah. “Karena keterbatasan biaya untuk kuliah, selama menjeda satu tahun saya gunakan untuk bekerja meskipun hasilnya tak seberapa tapi hasilnya bisa buat tambah-tambah persiapan kuliah,” ujar pria kelahiran Magelang, 3 Februari 1993 ini.
Tak hanya menjadi mahasiswa kupu-kupu, ia juga mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Berawal mengikuti teman, ia mendapatkan ilmu dakwah. Hal itu pula yang menjadikannya memiliki ilmu dakwah. “Di LDK saya dilatih menjadi seorang public speaking, mempraktekan dakwah di sekolah-sekolah waktu ramadhan dan mengajar di pesantren kilat,” tandas peraih juara 3 Lomba Cerdas Cermat tingkat Provinsi Jawa Tengah ini.
Memiliki orangtua sebagai petani, putra pasangan Nur Aziz dan Saidah ini tak pernah mengeluh, ia juga tak malu mengakui profesi orangtuanya. Bahkan saat sekolahnya sempat mandek satu tahun karena keterbatasan biaya ia mengisi waktu untuk membantu orang tuanya mengurus sawah. “Saya membantu orang tua di sawah, mengairi sawah kadang malam juga sampai jam 11,” aku anak terakhir dari lima bersaudara ini.
Kesempatan besar ia dapatkan dari Rektor IAIN Salatiga, Rahmat Hariyadi. Berkat IPKnya yang tinggi, cita-citanya menjadi dosen pendidikan akan terwujud. “Alhamdulillah ada jalan untuk S2. Kata pak rektor sebagai hadiah peraih IPK tertinggi mendapatkan beasiswa S2 gratis di IAIN Salatiga,” katanya bangga. (IF/Red)