Ritual Pemanggil Mahasiswa Bagian 2: Koersi Jajan Menuai Sampah

Ilustrasi belanja sampah (Sumber Foto: Pinterest)

Oleh: M. Ghithrof Danil Barr, Kamal Mustafa Al-Jaba, Sidqon K. Hasyim

“…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka…” QS Ar-Ra’d ayat 11

PBAK telah usai. Selanjutnya mahasiswa baru akan menempuh langsung pendidikan kampus. Sedih, senang, terharu, dan bahagia meluap-meluap dalam diri mereka. Sebab sebagian kecil agenda telah mereka lalui. Namun, ada PR besar yang menjadi tanggung jawab bersama. Bukan hanya bagi mahasiswa baru, semua elemen yang ada di kampus perlu untuk berbenah dan menyadari apa-apa saja yang menjadi tanggung jawab besar di benak kita semua. 

Tak perlu malu mengakui, PBAK tahun ini memang menuai banyak protes. Dari tahun ke tahun agaknya problem-nya tak pernah berubah. Keluhan-keluhan seolah angin lalu, dan hanya sebatas menyapu poni rambut—tak berarti apa-apa. Terlebih persoalan sampah yang kerap diabaikan. Mungkin banyak yang berpikir  “ah nanti juga ada yang bersihin, lagian cuman sampah kecil. Nggak berefek.” Tapi tak selayaknya pemikiran seperti ini hinggap di dalam pikiran intelektual kampus.

Penugasan PBAK yang mengharuskan mahasiswa membawa jajanan ke dalam kampus, berujung pada peningkatan jumlah sampah, terutama sampah bungkus jajanan dari penugasan tersebut. Hal ini justru bertentangan dengan kampus yang membawa slogan “Green Wasathiyah Campus”. Sedangkan, pengelolaan sampah di kampus sendiri, masih belum ramah lingkungan. Buktinya, masih seringkali kita mendapati adanya pembakaran sampah di lingkungan kampus. 

Tumpukan sampah tidak hanya mencederai keindahan lingkungan, tetapi juga mencemari tanah dan air. Dalam jangka panjang, volume sampah yang meningkat dapat berdampak negatif pada kesehatan lingkungan kampus dan sekitarnya. Ditambah adanya pembakaran yang akan mencemari udara juga. Berdasarkan data yang diambil dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2022, negara kita menghasilkan sekitar 21,1 juta ton sampah per tahun. Di Salatiga sendiri, terdapat sekitar 80 ton sampah yang dihasilkan setiap harinya. 

Alih-alih membentuk lingkungan yang hijau, momen PBAK justru menyumbang lebih banyak sampah yang kian membludak tiap harinya. Sebagai negara penyumbang sampah ketiga sedunia, Indonesia akan terus menerus menghadapi masalah dan sumber pencemaran yang baru. Hal ini menunjukan tidak adanya komitmen penyelenggara PBAK untuk membantu menghadapi permasalahan lingkungan, khususnya permasalahan sampah.

Slogan “Green Campus” pun pada akhirnya hanya sebatas slogan yang memanjakan mata. Kampus juga dapat dilihat belum berhasil menumbuhkan kesadaran mahasiswa akan permasalahan sampah. Kampus terlihat seperti tidak peduli dengan penugasan PBAK yang bertentangan dengan konsep green campus yang dicanangkan. Penugasan yang justru menyumbang sampah dalam jumlah yang besar, jelas bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Komitmen kampus dalam mewujudkan green campus harus senantiasa tercermin dalam segala aspek dan kegiatan, termasuk dalam kegiatan PBAK.

PBAK seharusnya menjadi ajang di mana mahasiswa baru tidak hanya belajar tentang budaya akademik dan kemahasiswaan, tetapi juga tentang tanggung jawab sosial sebagai mahasiswa terhadap lingkungan. Jika kampus tetap tidak konsisten dalam menerapkan konsep green campus, maka slogan tersebut hanya akan menjadi jargon tanpa makna serta tak pernah ditanya esensinya.

Harapan itu masih ada

Bukan berarti tanpa solusi, penugasan PBAK dengan membawa jajanan bisa diganti dengan alternatif lain. Misalnya, tugas membawa jajanan itu digantikan dengan Potluck, yakni di mana setiap orang atau sekelompok orang berkumpul bersama untuk menyediakan makanan dan minuman yang dapat dimakan bersama-sama. Setiap mahasiswa membawa bekal masing-masing yang tidak memberatkan, sesuai dengan kemampuan dari tiap mahasiswa.

Bekal tersebut nantinya akan dimakan bersama di tiap kelompok. Setiap mahasiswa akan saling mencicipi bekal yang dibawa oleh masing-masing di tiap kelompok. Hal ini dapat mengurangi adanya sampah, dan juga tidak memberatkan mahasiswa. Kegiatan potluck ini juga memberikan makna kebersamaan di antara para mahasiswa.

Untuk mewujudkan Green Wasathiyah Campus, bukan berarti kampus saat ini belum menginterpretasikan Green Wasathiyah Campus, tapi untuk mendukung kemajuan slogan tersebut. Penugasan yang bisa dibilang ‘tidak bermanfaat’, sebaiknya diganti dengan penanaman bibit pohon. Per orang atau–jika terlalu banyak–per kelompok membawa satu bibit pohon.

Di celah-celah kegiatan PBAK, dapat diselipkan penanaman bibit pohon sebagai pengisi kegiatan outdoor juga. Untuk jenis pohon apa dan di mana lokasi penanamannya, itu urusan panitia. Mereka perlu mempertimbangkan usulan ini, bisa juga mereka tidak menyetujuinya. Lebih baik lagi kalau proses perawatannya dipikirkan, bukan hanya semata-mata menanamnya saja.

Sebagai pertimbangan lain, mengingat PBAK selalu melahirkan sampah-sampah, diperlukan penanganan sampah dalam rangkaian PBAK. Untuk pendaur-ulangan sampah, panitia PBAK Fakultas Dakwah tahun lalu pernah mengusung hal ini, contohnya mahasiswa baru pernah diberi penugasan untuk mengkreasikan kardus bekas menjadi tas kardus. Namun, persoalannya adalah pada sampah yang ditinggalkan mahasiswa baru itu sendiri.

Butuh penanganan sampah oleh mahasiswa sebagai peserta PBAK, contoh kecilnya tiap orang membawa sampah masing-masing. Datang dalam keadaan bersih, pulang dalam kondisi yang sama. Ide ini disampaikan karena muncul rasa ‘kasihan’ kepada panitia, mereka telah berpeluh-peluh mengasuh mahasiswa baru sejak hari pertama. Mungkin lebih tepatnya rasa empati sebagai sesama manusia, karena panitia tidak semenyedihkan itu, sehingga perlu dikasihani.

Mulailah dari diri kita sendiri

Persoalan sampah sebenarnya menjadi persoalan yang tidak pernah selesai dalam kehidupan kita. Perlu adanya partisipasi, kerjasama dari tiap individu dalam hal ini; mahasiswa, dosen, tendik dan seluruh civitas akademika kampus. Persoalan sampah bukan hanya tanggung jawab panitia atau pihak kampus, melainkan tanggung jawab kita semua. Walaupun panitia maupun pihak kampus berusaha semaksimal mungkin menegaskan pentingnya menjaga kebersihan, masih banyak mahasiswa yang tidak membuang sampah pada tempatnya.

Menertibkan kebiasaan membuang sampah pada tempatnya di tengah kerumunan besar seperti PBAK, bukanlah hal yang bisa dilakukan sekejap mata. Kesadaran bersama tentang pentingnya menjaga lingkungan harus ada dalam diri setiap individu. Kita perlu mengingat bahwa kebersihan lingkungan adalah cerminan dari sikap kita sebagai masyarakat penghuni kampus.

Apabila kita mulai sadar dan berkomitmen untuk membuang sampah pada tempatnya, persoalan ini bisa teratasi. Tindakan kecil seperti ini dapat memberikan dampak besar bagi lingkungan kita. Menurut Ali Syari’ati, faktor terpenting yang mempengaruhi perubahan sosial adalah rakyat (an-nas), atau dalam hal ini seluruh elemen di dalam kampus.

Dalam perspektif Islam, setiap individu bertanggung jawab atas nasibnya sendiri. Rakyat merupakan faktor terpenting dalam menentukan maju atau mundurnya sebuah peradaban. Perubahan sosial sangat bergantung pada tiap individu. Setiap individu akan menuai hasil dari apa yang telah diperbuatnya. Persoalan sampah tidak akan pernah selesai jika belum ada kesadaran dan upaya dari tiap individu. Butuh kerja sama dan komitmen bersama untuk menghadapi persoalan tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *