Ilustrator: Faza
Oleh: Ahmad Ramzy
Kota B, seperti biasa, tidak pernah terasa sepi untuk pemuda yang penuh dengan gundah gulana di hatinya. Sebagai kota yang pernah menyandang ibukota, kondisi macet mengepul asap polusi sudah menjadi makanan sehari-hari. Beton-beton menjulang tinggi, di pinggirnya tersisa wajah muram kemiskinan akibat hirarki. Sial, hidup di kota B hanya untuk memenuhi dompet yang kosong bagi mereka yang siap. Berharap di kota B untuk menghibur diri sangatlah tidak mungkin, apalagi menjawab segala korsleting di otak.
Dalam kondisi yang tidak baik, belakangan hari, Tasrif tidak pernah selera makan, baginya makan hanya menjawab gerutu perutnya saja. Padahal ia terlahir di kota ini. Ia kembali ke tempatnya terlahir, bukan karena silaturahmi setahun sekali demi kerinduan orang tuanya, melainkan lari dari keadaan api dalam sekam yang membuntutinya. Ia saja tidak berdomisili di rumahnya. Justru ia memilih berdomisili di tempat organisasi yang jelas dapat melindungi dan sesekali memberikannya makan.
Keadaan ini dirasakan sejak ia bersama kedua temannya, Marco dan Sandi, menjaga tiga orang Daftar Pencarian Orang (DPO), masing-masing mereka adalah Joni, Jono dan Kamal. Dan belakangan, Joni tertangkap basah di kostnya. Tidak hanya dirinya yang diseret dalam operasi penjemputan, satu orangnya lagi, yakni Madun ikut terseret cobaan. Sedangkan Jono, telah ditodong surat panggilan dari kepolisian untuk bertandang dan memberikan keterangan. Kamal, setelah Tasrif beberapa hari di kota B, ia tidak pernah mendengar kabarnya lagi. Rentetan kejadian itulah yang akhirnya membuat Tasrif merasa berkali-kali pikirannya dibedil.
Mereka bertiga termasuk orang yang dicari-cari dari sekian banyaknya DPO selepas aksi May Day—Hari Buruh Internasional di kota K. Kerusuhan di kota K bukanlah peristiwa pertama kali dari aksi yang berserakan tumpah asinnya keringat dan aroma anyir darah manusia. Kota K pernah menjadi leading sector paham kiri. Berkat Sneevliet dan Semaun-lah, kota K tumbuh sebagai kota yang segar dengan perlawanan. Menurut Tasrif, kota K bagai auman singa di hutan belantara, aumannya tetap menghidupi ilalang di reruntuhan bangunan sudut kota, dan mungkin hingga seluruh penjuru Indonesia terpatri oleh semangat kota K. Hingga kini, yang tersisa dari aksi May Day di kota K adalah kekalutan tak beraturan. Dan sebanyak 8 orang masih berdomisili sementara di kantor polisi.
Karena itulah, di lubuk hati Tasrif, ia selalu bersumpah serapah, “Negara kacau, rezim biadab. Bajingan.” Karena baginya pula, rezim yang mendominasi hari ini merupakan copy-paste dari rezim Orde Baru
***
Tasrif, Marco dan Sandi merupakan anggota dari pers mahasiswa—LPM Obor. Tasrif sendiri, saat ini menjadi penyumbang tulisan terbanyak di LPM Obor Marco dan Sandi adalah dua adik tingkatnya yang tetap setia di garis massa, bersolidaritas dan merasa peka dengan tindak tanduk rezim yang jahat. Ketiganya bahkan memiliki kelompok diskusi dan kelompok aksi. Kelompok aksi yang terinspirasi dari ibu-ibu Argentina yang berunjuk rasa di depan Plaza de Mayo akibat tragedi desaparasidos.
Mereka bertiga, mungkin tidak sedikit pernah berselisih paham, wajarlah begitu. Tetapi, dalam urusan bersolidaritas, ketiganya sama-sama menaruh hati dan memasang badan untuk siapapun. Terutama untuk tiga orang dari kota K yang dalam pemburuan aparat itu.
Bermula pada 3 Mei Tasrif mendapat pesan WhatsApp dari Dani, temannya yang sama-sama di LPM, bedanya ia berada di LPM Cahaya Kata, kota K. Dani menyertakan foto yang menampilkan rupa Jono dan Joni terkena doxxing oleh suatu akun Facebook. Tasrif yang sedang memimpin rapat divisinya, kepalang kesal setelah tau kabar yang dialami oleh Jono dan Joni, yang merupakan temannya di pendampingan warga korban konflik agraria—warga Rawa Pelik. Kabar itu Tasrif perlihatkan kepada Marco yang kebetulan sama-sama berada di kantor LPM Obor, tanpa pikir panjang, Marco meminta foto itu dan akhirnya mengirimkannya ke Joni. Barulah setelahnya Marco mengatakan pada Tasrif kalau Joni masih berada di kostnya.
“Bang, si Joni ternyata masih di kost, mana dia nyantai-nyantai aja lagi,” ucap Marco dengan tertawa tanpa mengurangi keheranannya.
“Oh, ya?” bertanya Tasrif dengan memendam rasa khawatirnya.
Rapat itu tuntas, Tasrif cepat-cepat menghubungi Joni dengan telepon WhatsApp-nya. Panik bercampur khawatir meraba cepat di pikirannya.
“Dirimu di mana, cuy?” tanya Tasrif. “Kenapa masih di kost? Ini udah enggak aman lagi anjir,” lanjutnya.
“Iya, Lek. Gimana, ya, ini nasibku? Aman enggak ya kira-kira ke depannya?” tanya Joni diliputi rasa khawatir.
“Sek, sekarang dirimu sama siapa? Siapa yang bakal ngamanin dirimu?” Tasrif bertanya kembali. Lontaran khawatir terus bersaut-sautan di pikirannya.
“Sekarang aku sama temenku, Lek. Katanya sih aku bakal diamanin mbak Nia sama mas Wisnu. Tapi, mereka sampe sekarang belum dateng-dateng,” keluh Joni.
“Gapapa, coba ditunggu aja. Mereka pasti bakal jemput dirimu,” Tasrif mencoba meyakini Joni berkali-kali. “Sekarang, hapus semua chatting-an mu dengan orang-orang yang ada kaitannya dengan aksi May Day kemarin. Hapus riwayat telponmu. Kalau perlu, matiin dulu aja HP mu, ya,” perintah Tasrif untuk keamanan Joni.
“Oke, Lek. Thank you, ya. Ini tak coba hapus semua,” Joni mengiyakan.
***
Malam di kota transit berbagai kota, kota Z namanya. Kota yang terus diselimuti oleh dingin tak tertahan untuk orang yang lahir di kota penuh polusi dan panasnya suhu. Bagi Tasrif kota B seakan-akan langit tanpa ozon, panasnya sampai ubun-ubun mendidih. Pukul 23.35, Tasrif yang belum terlelap, meski sudah mengantuk, dikontak via WhatsApp oleh Nia. Tanpa pesan panjang, ia langsung meminta untuk berganti platform untuk komunikasi lebih aman dan intens. Tentu, banyak orang meyakini, WhatsApp adalah medium yang keamanannya cukup rentan, ditambah medium ini dimiliki oleh seorang kapital besar dari Amerika.
“Halo, Nia. Gimana?” tanya Tasrif melalui platform aman.
“Nanti ke … (safehouse) bisa?” timpal Nia.
Pikir Tasrif, ia akan ke tempat yang telah direncanakan itu tengah malam. Masalahnya satu, ia bertempat tinggal di tempat yang tidak mudah berlalu lalang, apalagi tengah malam. Akhirnya Tasrif menawarkan diri untuk datang esoknya.
“Paling pagi nanti aku baru bisa ke sana,” jawab Tasrif. Karena Tasrif cukup penasaran dan telah mengetahui bahwa Joni bersamanya, ia bertanya memastikan “Nia, kalo boleh tau. Selain Joni siapa?”.
Pesan itu terhenti tanpa balasan lagi. Menyadari itu, Tasrif bergegas memberikan kabar kepada Marco dan Sandi, bahwa mereka bertiga akan ke safehouse yang telah direncanakan oleh Nia dan Wisnu.
Kota Z yang terkenal dengan suhu dinginnya, cukup dinikmati oleh banyak kalangan. Bahkan, kota ini disebut sebagai kotanya para pensiun untuk mengistirahatkan seluruh raganya selepas bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun bekerja. Meminjam lirik lagu Robot Bernyawa, dari musisi beken Indonesia, Iwan Fals.
Inilah nasib orang-orang bawah
Tidur berjajar menciptakan mimpi indah
Bekerja terus bekerja
Mencoba membalik nasib
Ternyata susah
Itulah nasib buruk buruh Indonesia, barangkali betul sudah panggilan Karl Marx dan Friedrich Engels, bahwa “Para Buruh, Bersatulah!” Dengan panggilan itu, buruh atau mereka-mereka yang bertahun-tahun ditempa kapitalisme, mungkin tidak akan pernah terpikirkan untuk menghabiskan waktu lansianya di kota Z tersebut.
Pukul 05.57 tiba, Nia baru membalas pesan yang tersisa semalam. Tasrif bergegas mengecek pesan tersebut tanpa ragu.
“Jono sama Kamal, Lek,” jawab Nia. “Kalo ke sini, jangan rame-rame, ya. Selain keamanan, aku enggak enak sama Kang Felin,” tambahnya agar keadaan tidak semakin runyam.
“Oh, oke. Nanti kalo ke sana, aku berkabar,” ucap Tasrif.
Sayang, pagi bukanlah waktu baik bagi sebagian pemuda yang gemar bermalas-malasan merebahkan dirinya. Dengan sadar, Tasrif enggan datang cepat-cepat. Ia melanjutkan tidurnya, barang waktu sebentar. Dari jam setengah tujuh pagi ia melanjutkan tidurnya. Tidurnya pulas, karena kurang tidur semalam suntuk menunggu balasan Nia mengenai siapa saja yang dibawa dalam pelarian ke pinggir kota Z.
Sekitar sejam kemudian, Tasrif sadar dan membasuh muka kusut baru bangunnya itu dengan keran air yang menyala kencang. Setelahnya, ia mengabari lokasi safehouse itu kepada Marco dan Sandi. Siangnya mereka bertiga berangkat dengan bekal uang yang dikirim Wisnu untuk membelikan nasi bungkus, jus buah dan tiga bungkus rokok Gudang Garam Signature.
Sesampainya di safehouse, air muka bahagia tanpa ragu dari Joni melihat kami datang. Nia dan Wisnu pun telah menunggu kami cukup lama. Di sana bertukar informasi penting dan hangat mengenai rekam kejadian yang terjadi. Tentu sesambil melahap makanan yang tersedia seadanya.
Banyak cerita tersampaikan Joni, banyak cerita yang terlontar sebab Tasrif memulai pembicaraan dengan banyaknya pertanyaan. Joni dengan keyakinannya yang penuh, bercerita seakan tidak ada bahaya sama sekali yang mengintainya di hari kelak. Pada gilirannya, semua kejadian; pengrusakan, penyanderaan intel polisi, hingga penangkapan massa demonstran tergambar cukup rinci.
Dalam cerita itu, tiba-tiba saja Joni melempar rasa bertanya-tanyanya kepada Tasrif mengenai nasib Harris.
“Tapi, Lek. Si Harris gimana, ya, keadaannya sekarang?” Dan Joni melanjutkan “Nama dia masuk BAP, Lek soalnya. Semua gara-gara si Jaka.”
***
*Cerpen ini adalah cerita bersambung