Cerpen: Abadi

Oleh: Nur Afifah Asfiyati

Kita adalah aku dan kamu yang abadi.

Berjalan sepanjang hari, menapaki bumi pertiwi. Saling menyempurnakan dalam hal apapun. Ketika seseorang berusaha memisahkan, jiwa kita yang mempersatukan. Kita berlari, menantang debu bertebaran. Sama-sama berjanji untuk saling melengkapi dalam meraih mimpi. Ditatap dengan sepasang mata membinar harapan tinggi.

Kita saling menyemangati, dari kecil hingga dewasa kini. Berbagi bekal, kunci jawaban bahkan uang jajan kerena lupa membawa uang. “Dimana ada aku, pasti disitu ada kamu” kira-kira seperti itulah peribahasa yang pantas untuk kita. Berbagi air mata sampai lupa bagaimana cara tertawa, berbagi gelak tawa sampai lupa cara menangis. Kita pernah sedekat nadi sampai saling menatappun sudah mempunyai arti.

Pernah dengar? Ketika dua orang bertatapan, langsung bisa saling mengerti. Iya… hanya mereka yang mengerti. Itulah rasaku pada saat itu. Cukup memanfaatkan telepati karena kita saling memahami.

Kamu ada setiap 1x 24 jam, disaat aku butuh seseorang untuk bersandar diterpa masalah. Kamu datang tak peduli di luar sedang panas ataupun hujan. Tak peduli siang atau malam. Yang ada dipikiranmu itu hanya satu yaitu aku. Begitu kamu datang dengan sebuah senyuman, aku menyambutmu dengan sebuah harapan. Dengan bibir pucat, tubuh bergetar, aku mendekapmu erat-erat. Mencari ketenangan dalam kehangatanmu.

It’s okey. It’s okey. I’am stay with you.

Tanganmu mengusap punggungku. Semua akan baik-baik saja.

Aku masih ingat waktu itu, ketika aku merenung gegara nilai matematika ku kurang dari 50. Cukup mengerikan bagiku. Baru kali ini aku mendapatkan hukuman dari kedua orang tuaku, tidak diberi uang saku selama seminggu. Aku merasa kecewa atas diriku sendiri. Namun kamu menghiburku layaknya Mr. Bean dan Charlie Chaplin.

Bersamamu, detik yang kulalui seperti abadi. Kita pernah tersesat, salah naik metromini sampai dirumah hingga malam hari. Kamu menginap dirumahku agar tak ingin aku dimarahi sendirian. Pulang ke rumah dihadiahi dengan nasihat dengan nada tinggi. Anak perempuan jangan pulang larut malam, tidak baik, seperti itulah yang dilontarkan kepada kita.

Tidak apa-apa. Masa muda tidak akan pernah datang dua kali kan, katamu.

Disudut kamar, apakah kita merasa sedih? Tentu tidak. Kita merasa puas karena semua beban pikiran sudah hilang terhempas. Ingin sekali tertawa saat teringat sebuah kenangan kecil antara aku dan kamu. Lucu sekali. Hahaha…

Hingga akhirnya dering telepon pukul setengah tiga pagi itu seperti gundam memukul jiwa dan ragaku. Aku pikir kamu menelpon tengah malam, karena ingin berbagi tangis, seperti yang pernah terjadi pada diriku. Diputuskan sang pacar sampai aku lupa makan, lupa waktu, lupa segalanya.

Namamu tertera jelas dilayar ponselku. Ternyata sudah lima kali kamu menelpon. Dengan mata masih berkunang-kunang dan nyawa masih belum terkumpul. Aku mengangkat telepon, suara terisak tangis yang ku dengar.

“Din, kamu kenapa?” ekspresiku panik.

“Hiks… Hiks… ini tante nak,” jelas mamanya Dinda.

“Tante kenapa nangis tan??”

“Sekarang kamu ke rumah sakit ya hiks…” lalu sambungan terputus.

Kali itu juga aku segera keluar dari kamar dengan kaki dan tangan berkeringat dingin. Mama dan Papa sudah duduk di ruang tengah dengan rasa wajah cemas, mewanti-wanti.

Kenapa Pa, tanyaku saat itu, Papa hanya mengintruksikanku agar cepat siap-siap. Mr Bean dan Charlie Chaplin yang sering menghiburku seperti sedang bermain-main. Diperjalanan, pikiranku hanya berkutik dengan kata-katamu ‘Masa muda tidak akan pernah datang dua kali kan’.

Tidak, aku belum siap dengan semua ini. Kakiku merasa ngilu melangkahkan ke ruangan yang telah disebutkan Papa. Keringat dinginku kian menjadi jadi. Tanpa sadar air mataku mengalir di pipi. Ada Tante dan Paman di depan ruangan itu.

Kamu yang pucat pasi dibalik selimut berwarna putih. Menutupi seluruh tubuhmu.

Aku kira telpon pukul tiga pagi itu karena kamu meminta aku untuk membawakan cemilan lalu menonton film untuk melupakan sakit hati.

Baiklah, kamu ternyata sudah menjadi abadi. Meninggalkanku sendirian karena ingin berpetualang berbeda  dimensi. Dimensi yang lebih luas daripada angkasa. Bagaimana rasanya disana? Luaskah atau ada ribuan dimensi yang lebih menarik dari sekedar bumi.

It’s okey. It’s okey.

Kata itu yang selalu kamu bisikan. Keheningan ini menghanyutkan. Tujuh belas tahun yang lalu kamu hadir. Membawa sebuah misi dan visi untuk empat belas tahun singgah membekaskan sebuah gelar ‘sahabat abadi’.

Di ruangan yang serba putih, suara tangis kian mencekam. Dengan gemetar, tanganku menarik selimut, lalu aku menyentuh tanganmu yang dingin. Jantungmu tak berdetak. Matamu tertutup rapat. Seluruh kulitmu pucat pasi, tetapi bagaimanapun kamu terlihat cantik. Aku tahu kamu bahagia disana. Semoga kelak kita akan dipersatukan kembali dalam dimensi yang sama.

Tak apa pergi, tapi…

Jangan pernah lupa untuk kembali

Singgahlah sesekali…

Walau itu dalam mimpi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *