Pro-Kontra Perluasan Lahan TPA Ngronggo

Seorang pemulung berdiri di atas tumpukan sampah TPA Ngronggo (Sumber Foto: Rizqho*/Vokal).

Oleh: Inatsa Dzikraa Ramadhan Siregar

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Ngronggo, yang menjadi satu-satunya tempat pembuangan akhir di Kota Salatiga, kini hampir mencapai overload capacity. Sodikin, salah satu karyawan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Salatiga, memaparkan, akan ada perluasan lahan baru untuk sampah yang kian menumpuk. Namun, perluasan ini menuai pro-kontra dari warga Ngronggo, Kelurahan Kumpulrejo, Kecamatan Argomulyo.

Secara umum, pengelolaan sampah di Indonesia dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, open dumpling, yaitu sistem pengelolaan sampah di tanah cekungan yang dibiarkan terbuka, tanpa ditutup atau dilapisi dengan tanah lagi. Kedua, controlled landfill, yaitu sistem yang memakai teknik memadatkan sampah dengan menggunakan alat berat, kemudian ditimbun dengan tanah setiap lima hari sekali. Tujuannya agar mengurangi bau yang ditimbulkan sampah dan mempercepat pembusukan. Ketiga, sanitary landfill, yaitu sistem yang hampir menyerupai controlled landfill tetapi dilakukan setiap hari.

Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022 menyebutkan, Indonesia menghasilkan sekitar 21,1 juta ton sampah per tahun. Apabila tidak ditanggani dengan benar, angka penghasilan sampah di Indonesia yang kian meningkat per tahunnya akan menjadi sumber masalah baru. Sampah yang terus menerus menumpuk akan memunculkan sumber pencemaran yang baru.

Saat reporter DinamikA memasuki TPA seluas 5,5 hektar ini, terlihat beberapa pemulung memilah-milah sampah dan memasukan beberapa yang sudah dipilih ke dalam karung yang dibawanya. Terlihat juga banyak botol plastik, kertas, dan sampah lainnya yang memiliki nilai jual, berhamburan dan terletak terpisah-pisah menandakanan pemiliknya telah menempati satu titik di sini. Bagi sebagian warga sekitar Ngronggo, TPA ini telah menjadi salah satu tempat menggantungkan hidup dengan menjadi pengepul barang bekas.

Di sepanjang jalan menuju tumpukan sampah yang menjulang, ada sekitar 40 titik tempat pemulung menaruh sampah yang sudah dipilih dari tumpukan sampah. Satu titik biasanya ditempati oleh satu sampai dua orang. Sampah plastik yang telah terkumpul dan terpilah akan disetorkan dan dihargai dengan sejumlah uang. Beberapa pemulung mengaku mendapatkan hasil kira-kira Rp. 30.000 ribu per empat hari dari bekerja di TPA Ngronggo.

“Dulu itu, warga sini kerjanya peternak sama ngarit. Tetapi sejak ada TPS Ngronggo ini, mereka jadi memiliki tambahan mata pencaharian baru,” ujar Sodikin di kantor TPA Ngronggo, Sabtu (25/5/2024). Dia kemudian menjelaskan tentang berbagai cara pengelolaan sampah di TPA Ngronggo yang melibatkan warga sekitar.

Pengelola TPA Ngronggo mengaku, kehadiran pemulung yang mengambil sampah plastik sangat membantu mereka dalam menghadapi masalah overload capacity. Selain itu, beberapa pemulung juga memisahkan sampah organik seperti sisa makanan guna pembuatan kompos. Kompos yang telah selesai dibuat bisa dipakai secara gratis untuk siapa saja. Tidak hanya kompos, sampah organik juga dimanfaatkan untuk menjadi pakan bagi magot kemudian magot diperjual-belikan.

Bagaikan pemandangan gunung yang menjulang, namun beraroma tak sedap dan bisa tercium dari jarak yang cukup jauh. Gambaran itu cukup menjadi ciri tersendiri bagi Kampung Ngronggo. Terdapat beberapa pemukiman warga yang tinggal sekitar area TPA Ngronggo. Pemandangan serta bau tersebut terlihat menjadi hal yang biasa bagi warga yang tinggal di sana.

Namun di balik itu, beberapa warga diam-diam tidak menginginkan ada TPA di lingkungan mereka dikarenakan polusi yang bersumber langsung dari TPA. Salah satunya adalah Jumiati yang memiliki warung kecil di Kampung Ngronggo.

“Polusi banget itu. Kalau lagi di-buldoser itu, baunya sampe ke kampung,” ucap Jumiati sambil tertawa kecil di teras warungnya, Sabtu (25/5/2024) siang. Bukan hanya bau tak sedap, ketika musimnya, lalat yang berasal dari TPA Ngronggo turut mengganggu aktifitas sebagian besar warga.

Jumiati juga menjelaskan, sekarang, dampak dari polusi udaranya belum seberapa. Tetapi, jika lahan TPA Ngronggo akan diperluas atau dibuka lahan baru, dia takut hal itu akan menimbulkan beberapa penyakit ke warga desa. Dulu, warga Ngronggo ramai terkena gangguan pernapasan dan flu, tetapi belum terlalu parah. Selain polusi udara, TPA Ngronggo juga menjadi penyebab utama terjadinya polusi air.

Dalam penelitian berjudul Kualitas Air Tanah Berdasarkan Kandungan Tembaga [Cu(II)], Mangan [Mn(II)] dan Seng [Zn(ii)] di Dusun-Dusun Sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Ngoronggo (Jurnal SOSCIED Vol 1, No. 1 (2018), Vina Vatalia Van Harling mengemukakan, dari 37 sumur yang diteliti yang berada pada radius kurang dan lebih dari 1 km dari TPA Ngronggo, kondisinya berstatus tercemar ringan.

Pengelola TPA Ngronggo telah melakukan upaya penanganan polusi air. Air dibedakan menjadi dua, yaitu air dari limbah dan air yang berasal dari sampah. Setelah melewati tahap pengelolaan, air itu dibuang ke sungai yang berada tepat di belakangnya melalui selang yang berbeda.

Namun, belum terdapat penanganan yang cukup memadai terhadap limbah cair yang berasal dari air hujan yang menggenang pada timbunan sampah padat (air lindi), sehingga terjadi pencemaran.

“Kalau untuk air disini, nggak bau, kan disini setiap tiga hari tampungan airnya dikuras,” ucap Jumiati mengenai air yang sehari-hari digunakan. Air yang digunakan warga berasal dari aliran PDAM, sehingga cukup aman untuk digunakan sehari-hari.

Kapasitas TPA Ngronggo yang hampir penuh mengakibatkan pengelola harus segera mengambil solusi yang tepat untuk sampah yang terus datang. Jika tidak, maka TPA Ngronggo akan ditutup. Rencana kedepannya, lahan TPA Ngronggo akan diperluas hingga bagian belakang. Tetapi, perluasan ini juga menuai sedikit kontra dari warga secara diam-diam.

“Kalau bisa, jangan ada perluasaan lahan, lah, kalau saya pribadi jangan ada lah. Tapi, ya, kalau dari orang lain, kan, juga ada yang ngambil manfaat dari situ. Doanya aja biar semuanya sehat aja,” harap Jumiati.

***

Liputan ini merupakan hasil Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) “Bersinergi Mengoptimalkan Daya Kritis Progresif Mahasiswa di Era Industri 5.0” yang diselenggarakan oleh LPM DinamikA pada 23-26 Mei 2024.

*Rizqho merupakan anggota LPM Vokal Universitas PGRI Semarang (UPGRIS); salah satu peserta PJTL.

1 Komentar

  1. Brahmada siregar Balas

    Untuk dapat mereduksi sampah organik agar dapat mengurangi overload capacity sebaiknya sekitar lokasi di bangun teknologi pengolahan sampah yang melibatkan pembakaran bahan organik.dengan incenerator sehingga dapt mengurangi dampak lingkungan sekitar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *