Klikdinamika.com, Salatiga – Ketua Umum Partai Independent Mahasiswa (PIM) merasa dicurangi dengan adanya Undang-Undang Senat Mahasiswa tentang Partai Politik No. 4 pasal 9 ayat 10 yang berbunyi “Mengusulkan calon Ketua dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (DEMA) Institut dan/atau Fakultas apabila partai memiliki suara 30% di Senat Mahasiswa Institut dan/Fakultas.”
Ketua Pertai PIM, Ramdan mengungkapkan pihaknya kecewa dengan pelaksanaan Pemilu Raya (Pemira) tahun 2019, di mana partai yang ingin mengusung kandidat calon Ketua dan Wakil harus memenuhi syarat dari UU Senat Mahasiswa tersebut.
“Jujur agak jengkel dan merasa agak sedikit dicurangi, dari PIM itu dengan adanya Undang-Undang, dimana partai yang bisa mengusung Dema Faklutas dan Dema Institut itu harus mendapat 30%. Jujur masih bertanya-tanya tentang Undang-Undang itu kenapa acuan 30% dilihat dari daftar pemilih kemarin. Jadi berapa persen dari yang pemilih keseluruhan pemira kemarin?” ungkapnya saat ditemui Klikdinamika.com di Kampus II, Rabu, (27/11/19).
Dia menambahkan bahwa dari partai PIM sendiri telah mengirim surat audiensi kepada Dema Institut dan Sema Fakultas, namun PIM malah mendapat konfirmasi lewat email untuk mencantumkan tanggal dan tempat audiensi. Padahal seharusnya dari pihak Dema Institut dan Sema Fakultas yang menentukan tanggal dan tempatnya. “Makanya banyak statement-statement dari mahasiswa yang mengatasnamakan mahasiswa kupu-kupu itu lebih baik tidur di rumah ketika sudah tahu siapa yang menang. Jadi terkait dengan UU itu jujur kita sedikit mengkritisi,” ujarnya.
Terkait dengan Undang-Undang masih banyak kerancuan seperti Sema Fakultas yang memilih perdapil adalah jurusan, padahal Sema itu mewakili fakultas bukan jurusan. Selain itu, dirinya juga mempersoalkan tentang 30% keterwakilan perempuan. Dia mengkhawatirkan jika harus memaksakan adanya 30% perempuan padahal potensinya masih diragukan.
“Sekarang logikanya seperti ini, ketika dari partai saya itu tidak ada perempuan. Berhak atau ada potensi untuk kita calonkan sehingga kita memaksa untuk mencalonkan yang ada dan kemungkinan dan Alhamdulillah bisa, jadi mau apa pengurusannya? Ketika kita mencalonkan seseorang yang tak punya potensi menurut kita habis itu dia jadi di dataran Sema F maupun Sema I. Akan menjadi apa Sema F dan Sema I? Logika sederhananya seperti itu. Ketika kita menganut UU habis itu sosialisasi UU dari Sema F pun juga kurang. Menurut saya kalau mungkin Sema F Dema I itu nggak terima silahkan konsultasi kepada saya. Karena apa? Nyatanya kita sudah mengirim surat melalui jalur yang benar dan tidak di ACC”.
Dia mengatakan imbas dari aturan yang dimuat dalam Undang-Undang tersebut adalah ketidaksehatan sistem demokrasi ketika komponen oposisi dihilangkan. “Ketika menurut saya itu seharusnya mengacu pada 30% tersebut yang diacukan atau hitungan-hitungan 30% itu dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) IAIN Salatiga. Itu ada berapa ribu? Ada sekitar 15.000 mahasiswa yang aktif. Otomatis kalau seperti itu nggak ada partai yang masuk. Jadi apa gunanya demokrasi ketika tidak ada pihak oposisi,” tuturnya.
Menanggapi hal itu ketua Dema institut, M. Fairus Kadomi mengklarifikasi, bahwa UU Sema tersebut menggunakan sistem presidential threshold, yaitu ambang batas yang diberikan bagi partai politik sebagai syarat untuk mengajukan calon Ketua dan Wakilnya.
“Jadi Sema itu kan salah satunya menggunakan sistem presidential threshold. Dimana partai yang sebelumnya, sebelum tahun ini berarti harus mencapai ambang batas partai atau suara sejumlah 30%. Tahun kemarin itu saya rasa belum ada partai yang lolos. 30% itu kan syarat untuk menduduki atau mencalonkan di DEMA Institut. Itupun karena peraturan ini baru disahkan kemarin bulan agustus. Jadi kemungkinan ada pasal yang perlu dikaji lagi. Nah untuk tahun depan itu bagaimana? Untuk yang calon tunggalnya itu kan ada beberapa partai yang bisa lolos,” katanya.
Ketua Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM), M. Ibnu Malik mengatakan bahwa pihaknya hanya sebagai pelaksana, dimana tugasnya hanya menjalankan peraturan yang bersumber dari UU Sema.
“Kami kan hanya sebagai pelaksana atau penyelenggara saja dan itu semua kita di bawah suara Undang-Undang. Ketika Undang-Undang bicara kayak gitu kita hanya bisa melaksanakan, kecuali dengan kendala-kendala yang lain. Semisal ada Undang-Undang yang menggantung kadang ada satu ayat atau apa yang luput dari KPUM pun terkadang ada,” ujarnya. (Sania/Tasya/Helda/ Luluk/Anik/ Red).
macam apa ini? UU kok memberatkan, Situ SEMA atau DPR
Demokrasi di ciderai. Sudah gak usah adakan pemira. Untuk apa merubah sistem kalau sistemnya tidak meperbaiki demokrasi malah bikin salah satu golongan naik. Dasar serakah.
Demkrasi milik siapa, demokrasi untuk siapa, ditunggu majalah LPM tentang pemira –