Oleh: Aditya Ramadhan
Media massa atau pers adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan informasi dari sumber kepada khalayak dengan menggunakan alat–alat komunikasi. Pers hadir sebagai perwujudan paling penting bentuk demokrasi di Indonesia. Dengan adanya media massa dapat menyuarakan suara-suara atau aspirasi yang tidak terdengar. Karena pers sejatinya fokus untuk mengedepankan kepentingan publik. Selain fungsi untuk menyampaikan kabar atas peristiwa-peristiwa yang terjadi, pers selayaknya juga menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat sebagai alat untuk mengontrol kinerja pemerintah, mengawasi jalannya pemerintahan, dan tentunya sebagai kritik untuk pemerintah agar bisa dijadikan bahan evaluasi. Pers haruslah memegang teguh prinsip independensi dan akuntabilitas. Segala hal yang menyangkut kebebasan pers dan peraturan-peraturan tentang pers diatur dalam UU Pers dan Dewan Pers sebagai lembaga yang mengawasinya.
Menjadi pegiat dalam media massa memang bukanlah pekerjaan yang mudah. Terdapat kode etik jurnalistik yang harus dipatuhi dan dipegang teguh oleh media dan jurnalis itu sendiri. Karena kualitas dari para jurnalis juga menentukan seberapa kualitas dan kredibilitas media itu.
Peran pers pada era pemerintahan Orde Baru tidaklah sejaya atau sebebas seperti saat ini. Pada masa itu media seperti Tempo, Detik, dan Editor dibredel oleh pemerintah Soeharto karena dianggap mengkritik yang dapat mengancam kekuasaannya. Pasca reformasi, pers kembali tumbuh dan memperoleh haknya atas kebebasan menyampaikan pendapat dan suara-suara kritis tanpa takut ada ancaman dari siapapun termasuk pemerintah. Oleh karena itu, pada masa sekarang ini media atau pers seharusnya mampu menjalankan fungsi dengan sebaik-baiknya. Pemikiran-pemikiran kritis yang seharusnya mewarnai pers sekarang ini. Kualitas dari media seharusnya semakin baik dan meningkatkan kredibilitasnya.
Namun kenyataan yang terjadi sekarang ini tidaklah seperti yang diharapkan. Beberapa media-media arus utama tidak lagi mengedepankan idealisme seperti yang seharusnya. Kemajuan teknologi menjadi salah satu penyebabnya. Globalisasi merubah pola dari media itu sendiri. Yang semula media pers hadir secara konvensional dalam bentuk cetak, kini beralih ke daring (online), meski masih ada beberapa yang memiliki produk cetaknya.
Demi memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi, media daring lebih mengutamakan kecepatan dari pada keakuratan. Karena tuntutan kecepatan, sehingga konten yang dimuat terkadang juga asal-asalan. Seperti penulisan ejaan yang tidak baku, judul yang menyesatkan dan konsep click bait yang seringkali disalahgunakan. Kode etik jurnalistik juga dilanggar dengan dalih kebijakan dari keredaksian. Kebanyakan media kini tidak berlomba-lomba untuk menciptakan karya-karya jurnalistik yang bermutu tetapi berlomba-lomba untuk mendapatkan kepopuleran dan juga rating yang dapat mendatangkan keuntungan.
Salah satu kasus yang membuktikan bahwa beberapa media hanya mengejar rating adalah berita yang ditulis oleh detik.com tentang kehidupan seksualitas seorang artis (Nora). Berita tersebut ramai menuai kontra di platform Twitter dan pihak yang bersangkutan juga sudah mengajukan protes kepenulis berita tersebut, namun justru mendapat jawaban dari penulis yang sungguh tidak etis sebagai seorang jurnalis. Selain konten yang tidak bermutu dan tidak penting, itu juga telah melanggar kode etik jurnalistik karena tidak meminta izin kepada yang bersangkutan untuk dijadikan berita. Tampaknya jurnalis tersebut seperti tidak pernah diberikan materi tentang kode etik jurnalistik atau mungkin sengaja melupakan, bisa juga itu adalah visi dari media yang memang bertujuan memperoleh klik sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kualitas dari kontennya.
Contoh kasus lain yang masih berkaitan dengan luputnya kode etik jurnalistik pada media arus utama adalah plagiarisme. Berita yang diunggah oleh Indonesiainside.id pada Desember 2020 lalu telah memplagiat artikel milik Randy Mulyanto yang ia tulis di Al Jazeera. Plagiat itu dilakukan dengan menerjemahkan tulisan asli dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh penulis yaitu Randy Mulyanto melalui akun twitternya. Ia mengeluhkan ke-tidak bijakan media tersebut yang memplagiat dengan menerjemahkan dari awal hingga akhir tanpa menyertakan sumber asli maupun izin kepada penulis.
Itulah beberapa bukti nyata potret ke-tidakbijakan media di negeri kita pada era-modern ini. Tentu itu hanyalah beberapa. Masih banyak media-media yang masih mengedepankan mutu dari pada hanya sekadar untung. Masih ada pula media-media yang menjamin independensi dan akuntabilitas. Sebagai pembaca kita juga harus cerdas dalam memilih konten yang akan kita baca. Selektif dalam memilih bacaan yang bermutu dan berkualitas.