Tangkapan layar kegiatan diskusi “Ormas dalam Kelindan Tambang dan Mafsadat” via Zoom Meeting. (Sumber Foto: Screenshot Zoom Meeting).
Klikdinamika.com– Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) DinamikA bekerja sama dengan Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatamnas), Kader Hijau Muhammadiyah (KHM), dan Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) melangsungkan diskusi dengan membawa tajuk “Ormas dalam Kelindan Tambang dan Mafsadat” yang berlangsung melalui Zoom Meeting, Kamis (8/8/2024).
Diskusi ini diadakan setelah keluarnya penerimaan tawaran Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah melalui Konsolidasi Nasional Muhammadiyah pada 28 Juli lalu. Jauh lebih dulu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah menyetujui tawaran IUP tersebut tanpa pertimbangan panjang.
Pada diskusi yang diikuti lebih dari 40 perserta ini, LPM DinamikA menghadirkan tiga pemateri, yaitu: Alfarhat Kasman dari Jatamnas, Yayum Kumai dari KHM, dan Ayu Rikza dari FNKSDA.
Alfarhat Kasman membuka materi dengan memberikan pernyataan, bahwa program pemerintah soal energi ini pernah menyebabkan warga sekitar meninggal dunia akibat gas beracun.
“Dalam catatan yang ada di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mandailing Natal, kurang lebih telah menyebabkan sekitar 5-6 orang yang meninggal dunia akibat gas beracun yang dikeluarkan oleh PLTP di Mandailing Natal. Jadi, transisi energi dan energi yang terbarukan seperti ini, justru menjadi ancaman besar bagi keselamatan manusia dan lingkungan,” tutur Alfarhat.
Ia juga menerangkan, bahwa kampanye yang dilakukan oleh pemerintah terkait masalah energi, sering dianggap salah satu usaha penyelamatan lingkungan.
“Lalu, juga ada masalah-masalah besar soal energi yang dikampanyekan oleh pemerintah. Isinya itu sering dianggap solusi dan bagian dari hal-hal yang berkaitan dengan penyelamatan lingkungan,” tambahnya.
Pemateri kedua, Yayum Kumai, menjelaskan bahwa pengambilan keputusan oleh Muhammadiyah terkait perizinan tambang merupakan sinyal bahwa hegemoni kapitalisme barat sedang menguat.
“Permasalahan abstrak yang sifatnya mengawang-awang, yaitu menandakan momen ini menjadi sinyal bahwa hegemoni sains barat yang didasari logika kapitalisme sedang menguat. Mengindikasikan bahwa nggak ada lagi tempat bagi sains sumber-sumber sains, selain sains barat yang dibentuk dan dikonstruksi dasarnya adalah logika kapitalis. Nggak ada lagi sains lokal atau ilmu pengetahuan lokal,” jelasnya.
Ayu Rikza, selaku pemateri ketiga, juga memberikan argumentasinya mengenai dampak kerusakan yang diakibatkan oleh perusahaan sektor tambang.
“Di sektor tambang itu sendiri, dia tidak hanya terbatas dalam memberikan pendapatan atau hasil secara keuangan dan lain sebagainya. Tapi, di satu sisi, dia sangat berdampak pada kerusakan ekologis, juga kerusakan yang diderita oleh manusia. Tidak hanya sektor tambang, tidak hanya berdampak memiskinkan orang, tetapi juga membuat orang tidak punya rumah atau lingkungan atau ruang hidup yang mendukung daya hidupnya sendiri,” pungkasnya.
Adif Fahrizal, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga yang menjadi moderator acara dalam diskusi ini, berharap agar diskusi ini bisa menjadi pemantik bagi masyarakat yang resah dengan keadaan Indonesia saat ini.
“Saya kira diskusi semacam ini bisa menjadi pemantik bagi kita, sebagai masyarakat yang resah dengan keadaan Indonesia hari ini yang sedang tidak baik-baik saja. Kemudian kesadaran ini bisa terus terawat dan bisa menjadi bahan bakar untuk melakukan aksi yang lebih nyata dan aksi yang lebih konkrit” ucapnya via Zoom Meeting. (Madjid/red)