Ilustrasi demo mahasiswa (Sumber Foto: poskota.co.id)
Oleh: L. Adam Farhan A/Kontributor
Lanskap bernegara belakangan ini menampakkan watak ketidakberpihakan terhadap rakyat. Pemerintah mengambil peran utama dalam pembuatan kebijakan yang hanya mementingkan segelintir kelompok–oligarki.
Hal demikian termanifestasi dalam tiga hal. Pertama, revisi UU KPK untuk mengebiri fungsi dan wewenang lembaga anti rasuah. Kedua, pembentukan UU Cipta Kerja yang mewakili kepentingan penguasa kapital dengan menanggalkan kesejahteraan buruh. Sampai yang terbaru, ketuk palu Mahkamah Konstitusi yang memberikan karpet merah bagi Gibran yang sarat akan kepentingan karib keluarga.
Belum lagi, ihwal konflik agraria yang semakin hari semakin masif. Merujuk data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), setidaknya terdapat 2.710 konflik agraria terjadi selama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Adanya konflik agraria tersebut berdampak terhadap 5,8 juta hektar tanah masyarakat dengan jumlah korban perampasan mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh Indonesia. Lebih dari itu, 1.615 orang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya.
Dalam konteks perguruan tinggi, kini terjadi lonjakan harga, khususnya di perguruan tinggi yang sudah berstatus PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Fenomena ini dikarenakan bergesernya arah pendidikan menjadi suatu komoditas yang diperjualbelikan. Sebab, untuk mencicipi manisnya pendidikan tinggi, diperlukan modal yang relatif mahal.
Case of case di atas menjadi suatu pukulan telak bagi mahasiswa yang kini cenderung apatis. Api semangat perlawanan yang dahulu terpatri dalam budaya kampus tampaknya sekarang mulai kehilangan tajinya. Mungkin kita perlu mempertanyakan secara kritis, mengapa pasifitas semakin menjangkit budaya politik dan perlawanan di kampus.
Hilangnya Budaya Perlawanan
Keteguhan idealisme mahasiswa yang terpantik ketika melihat penderitaan rakyat akibat permasalahan sistemik yang begitu masif lambat laun mulai tergerus ombak depolitisasi. Laksana makanan tanpa garam, kampus-kampus yang tidak memiliki budaya perlawanan menjadi hambar tak terasa.
Hal demikian terjadi akibat beberapa faktor. Pertama, kita perlu menyoroti kebijakan merdeka belajar yang berfokus pada pembentukan jiwa entrepreneur muda. Walaupun kebijakan tersebut tidaklah sepenuhnya salah, namun layak untuk dikritik. Sebab, universitas kini secara eksplisit laiknya pabrik untuk mencetak lulusan sarjana yang mekanis, penurut, dan pragmatis. Lambat laun, budaya kritisisme dan semangat akademik secara kualitatif tinggalah seonggok barang loak yang tak menarik.
Bagaimanapun, kita harus menilik menteri pendidikan sebagai aktor yang turut andil dalam mempengaruhi dan mengontrol struktur perguruan tinggi. Latar belakang pendidikan Nadiem Makarim sebagai lulusan bisnis–sekaligus pengusaha–yang minim kompetensi pedagogik, menjadi bias dalam mengelola pendidikan di Indonesia.
Kedua, pendidikan tinggi yang menjadi komoditas. Pola-pola perguruan tinggi yang berorientasi bisnis, kini tidak lagi menjadikan kualitas dan kebebasan akademik menjadi suatu yang utama. Alhasil, perguruan tinggi hanya berfokus untuk mendulang keuntungan sebesar-besarnya dengan menaikkan biaya kuliah, mewajibkan membayar uang pangkal, dan lain sebagainya.
Demikian itu, berakibat melonjaknya biaya kuliah, membuat sulitnya pendidikan tinggi bagi kalangan masyarakat miskin. Neoliberalisme menjadikan perguruan tinggi lebih didominasi oleh mahasiswa dari latar belakang kelas menengah-atas, yang cenderung apatis dalam melihat persoalan realitas masyarakat.
Ketiga, pembatasan masa studi yang termaktub dalam Permendikbudristek No. 44 Tahun 2015 membuat mahasiswa berlomba-lomba untuk lulus dengan predikat cum laude. Sehingga, kondisi ini menjadikan mahasiswa tidak tertarik untuk terlibat aktif dalam kancah sosial-politik yang mempengaruhi kebijakan publik.
Terakhir, budaya feodalisme dalam perguruan tinggi yang mengakar kuat menimbulkan ketimpangan relasi kuasa di antara mahasiswa dan dosen. Budaya feodalisme mengakibatkan mahasiswa memiliki watak penurut dan mekanis. Tenaga pendidikan layaknya perwujudan raja Jawa yang selalu benar.
Faktor-faktor tersebut menyebabkan segregasi di antara mahasiswa dan politik. Pola sejarah tampaknya kembali berulang, ketika kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) ala Orde Baru yang bertujuan untuk depolitisasi mahasiswa. Ringkasnya, mahasiswa diinstruksikan untuk belajar dengan benar, mendapatkan nilai bagus, dan tidak perlu untuk bersinggungan dengan politik.
Bergerak, Berbaur, dan Bersatu
Menilik secara historis, dalam menghadapi penjajahan kolonial Belanda hingga Jepang, kaum muda terpelajar pra-kemerdekaan menjadi mesin penggerak perubahan sosial. Mereka berbekal pemikiran yang politis, ideologis, dan sikap berani melakukan perlawanan terhadap penjajahan kolonial. Selain itu, mereka juga membaur dengan rakyat tanpa adanya konstruk elitis kaum terpelajar.
Seperti halnya termaktub dalam buku “Revolusi Pemuda 1944-1946” karya Benedict Anderson, pergerakan politik para kaum muda-terpelajar–yang tersebar dalam kelompok Asrama Menteng 31, Prapatan 10, dan Cikini 71, menjadi roda percepatan kemerdekaan Indonesia. Himpunan para pemuda yang terafiliasi ke dalam berbagai organisasi, tak segan untuk meruntuhkan latar belakang organisasi dan kelas untuk akhirnya bersatu dan bergerak, menciptakan budaya perlawanan pemuda.
Lebih lanjut, Benedict Anderson juga menjelaskan, dalam hal pendidikan politik, para pemuda di asrama itu juga mengajak sekalian masyarakat umum untuk sama-sama belajar dan berdiskusi. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran akan realitas sosialnya. Sebab, ketika masyarakat sadar akan realitas sosialnya secara politis, maka semangat untuk bergerak bersama-sama untuk melakukan perubahan sosial dapat terjadi.
Pendidikan politik layaknya sebuah teropong yang dapat mengungkap sesuatu di balik sebuah wacana dominan. Terlebih, pendidikan politik mestilah dimiliki oleh kalangan pemuda. Sebagai benih-benih peradaban bangsa, tentulah pemuda tidak boleh apatis terhadap dinamika perpolitikan di Indonesia.
Lebih tepatnya, segregasi antara mahasiswa sebagai pemuda dan politik sudah selayaknya dihilangkan. Politik elektoral memanglah kejam dan kotor, tetapi tidaklah menggambarkan perpolitikan secara umumnya. Sebab, politik tidaklah sebatas menceburkan diri ke dalam parlemen. Ringkasnya adalah, politik bukan hanya ajang pemilihan lima tahun sekali. Lebih dari itu, politik merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan yang berlandaskan kerakyatan untuk kemaslahatan bersama.
Seperti halnya pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, keberpihakan terhadap rakyat miskin, menolak segala wujud perampasan tanah dan ruang hidup masyarakat, menuntut kesejahteraan dan kepastian pekerjaan bagi masyarakat, serta pelayanan kesehatan yang murah dan mudah merupakan contoh dari pendidikan politik. Selain itu, pendidikan politik juga mencakup keterbukaan akses pendidikan bagi seluruh masyarakat. Beberapa hal di atas mesti terpatri di dalam pikiran generasi muda.
Jangan hanya berdiam diri yang berujung pada sikap menormalisasikan setiap kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada rakyat! Secara tidak langsung, hal tersebut merupakan suatu pengkhianatan kaum terdidik yang membiarkan rakyat tetap bodoh dan nelangsa kehidupannya. Hilangkanlah segala konstruk berpikir bahwa mahasiswa adalah agen perubahan, super hero yang harus menyelamatkan orang-orang tertindas, ataupun sebagai juru selamat!
Mengutip apa yang dikatakan Tan Malaka, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.” Oleh karena itu, sudah saatnya mahasiswa untuk bergerak, bersatu, berbaur, dan melawan kekuasaan yang menindas rakyat!