Sumber Foto: Akrom/DinamikA
Klikdinamika.com– aksi Kamisan telah terjadi 760 kali dan terhitung 16 tahun lamanya, aksi Kamisan ini mengangkat tema ‘Bongkar Senandung Kebohongan Jokowi’ yang dilaksanakan di Depan Istana Presiden Republik Indonesia, Jakarta, Kamis (19/01/23).
Pada aksi Kamisan tersebut dihadiri oleh Maria Catarina Sumarsih, Bivitri Susanti, Yati Andriyani Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), 2017-2020, Usman Hamid direktur Amnesty Indonesia, Sandyawan Soemardi, Gufron Mabruri direktur Imparsial, penampilan musik dan seni, serta sejumlah massa aksi Kamisan.
Melansir dari berita Kompas.com, Rabu, 11 Januari 2023 pemerintah mengakui terjadinya 12 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu melalui laporan yang disampaikan oleh Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) kepada presiden.
12 pelanggaran HAM berat tersebut antara lain: (1) Peristiwa 1965-1966, (2) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, (3) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989, (4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, (5) Peristiwa Penghilangan Paksa 1997-1998, (6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, (7) Peristiwa Trisaksti dan Semanggi 1998-1999, (8) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet, Banyuwangi 1998-1999, (9) Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, (10) Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, (11) Peristiwa Wamena, Papua 2003, (12) Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Maria Catarina Sumarsih, koordinator Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan, sekaligus ibu korban dari Pertistiwa Tragedi Semanggi I, Benardinus Realino Norman Irawan (Wawan) mengomentari janji presiden saat kampanye untuk menuntaskan pelanggaran HAM dan keputusan terakhir Jokowi terkait penuntasan pelanggaran HAM secara non-yudisial.
“Janji-janji Presiden Jokowi hanya senandung kebohongan yang ditampilkan kepada masyarakat yang dilakukannya dalam Nawacita sewaktu kampanye akan menjadi presiden, kemudian sekarang ini presiden akan menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu dan kini secara non-yudisial, itulah yang kami tolak,” jelasnya dengan tegas.
Ia juga mengatakan bahwa janji penuntasan pelanggaran HAM berat hanya dijadikan suatu kepentingan untuk kekuasaan semata.
“Dari menjelang pemilu ke pemilu, mengangkat peristiwa pelanggaran HAM berat hanya sebatas untuk kepentingan kekuasaan, sampai sekarang pun masih ada yang terus menyuarakan presiden tiga periode dan jabatan presiden diperpanjang,” ungkapnya.
Sumarsih, membeberkan juga alasan Presiden Jokowi yang terlihat tidak sanggup menyelesaikan pelanggaran HAM.
“Pak Jokowi itu seperti bingung, bingung ketika dia mengangkat orang-orang terduga pelanggar HAM berat di dalam gerbong kekuasaannya, lalu terduga pelanggar HAM ini memberi masukkan kepada Jokowi sehingga terbit Keputusan Presiden (Keppres) No. 17 tahun 2022 tentang pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu yang bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No. 26 tahun 2000 yang di dalamnya tidak ada istilah non-yudisial sama sekali, mekanisme di dalam UU nya pun sudah jelas,” tuturnya.
Bivitri Susanti, turut memberikan suatu tanggapan terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat yang harusnya tidak hanya sebatas pengakuan dan santunan saja.
“Refleksi 16 tahun 760 kali aksi Kamisan, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah memberikan keadilan untuk korban. Bukan sekedar pengakuan, bukan juga sekedar santunan. Kita harus membicarakan terlebih dahulu pengungkapan kebenaran, kebenaran harus diluruskan,” imbuhnya.
Ia pun berujar bahwa harapan yang perlu diberikan ialah harapan untuk para korban pelanggaran HAM.
“Saya ada di sini karena saya ingin bersama kawan-kawan semua untuk memelihara harapan, bukan untuk berharap pada penguasa, tetapi berharap soal keadilan untuk korban,” tegasnya. (Ramzy/red).