Sumber Foto: Media Indonesia
Oleh: Zakya Zulvita
Indonesia dijuluki sebagai negara demokrasi, slogannya yang menyuarakan ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ kini dipertanyakan. Filsuf politik Pakistan Abul A’la Maududi menyebutkan bahwa ada 11 soko guru demokrasi yang menjadikan suatu negara berbudaya demokrasi.
Adapun 11 soko guru tersebut adalah kedaulatan rakyat, pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah, kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, hak asasi manusia, pemilihan yang bebas dan jujur, persamaan di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan pemerintah secara konstitusional, pluralisme sosial ekonomi dan politik, nilai-nilai toleransi pragmatisme kerjasama dan mufakat.
Hal yang lumrah saat demokrasi selalu menjadi bumerang dan menimbulkan pemaknaan baru di masyarakat. Demokrasi yang senantiasa diagung-agungkan, kini seakan sudah tidak ada ajinya. Demokrasi seperti apa yang sebenarnya digaungkan oleh pemerintah sekarang? Pemerintah yang bergerak dan rakyatnya diam atau rakyat di jegal agar pemerintah bergerak?. Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) oleh DPR dan pemerintah resmi ditetapkan pada 6 Desember 2022. Dikutip dari Kompas.com pro dan kontra mewarnai jalannya peresmian dan pembahasan RUU-KUHP.
KUHP digadang-gadang bakal menjadi bentuk reformasi dari peninggalan kolonial Belanda, yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dilansir dari Wikipedia, KUHP Indonesia sebelumnya merujuk pada Wetbook van Strafrecht voor Nederlands-Indië yaitu hukum kolonial Belanda. Pengesahannya dilakukan pada tahun 1915 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918, melalui Staatsblad nomor 732 yaitu lembaran yang berisi aneka peraturan resmi dari pemerintah kolonial yang mempunyai tahun penerbitan dan nomor urut.
Pantasnya Indonesia perlu berbangga diri, karena sejak disahkannya KUHP oleh DPR diharapkan menjadi awal kebangkitan hukum di Indonesia. Tapi kenapa banyak masyarakat yang meragukan dan menentang KUHP. Menjadi kabar gembira ataukah sebuah awal merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah yang tidak terbuka dengan landasan pembuatan hukum di Indonesia.
Wajar jika banyak aksi demo mahasiswa menuntut transparansi terjadi dalam perumusan undang-undang, karena hukum bukan hanya milik satu pihak tapi kesepakatan bersama yang menjadi kesatuan. Dalam hal ini, kesenjangan dapat terjadi jika rakyat dan penguasanya tidak ada penengah dalam mengambil keputusan.
KUHP dan pasal kontroversi
KUHP pasal 240 dan 241 banyak menimbulkan kontroversi yang dianggap membungkam mulut rakyat untuk bersuara, pasal ini menyasar pada orang-orang yang menyiarkan, menunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar di muka umum, memperdengarkan rekaman maupun menyebarluaskan dengan teknologi informasi yang sah dengan isi penghinaan terhadap pemerintah, dapat dihukum 4 tahun penjara.
Kemudian ada pasal nomor 218-220 juga mengatakan penghinaan kepada presiden dan wakil presiden, juga layanan pengaduan presiden mengenai penyerangan kehormatan, harkat dan martabatnya. Pasal yang dibuat katanya untuk mensejahterakan rakyat, malah dianggap menjadi senjata bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan mengkritisi pemimpin.
Contoh saja, bagaimana nasib para aktivis dan penyuara keadilan yang getol menyampaikan pemikiran dan ketidak setujuan rakyat dengan pemikiran pemerintah, mereka akan sangat tersudutkan dan seakan tidak ada perlindungan kepada mereka. Kebebasan pers akan sulit didapatkan, melihat besarnya ancaman yang menyertai keberlangsungan bersuara. Padahal hanya dengan mereka suara rakyat tersampaikan dan didengar pemerintah.
Di dalam kesatuan demokrasi menyatakan, hukum harus dibuat dengan sewajarnya, yang berarti tidak menghalang-halangi sebuah lembaga atau individu dalam menegakkan kebenaran. Terlebih kebenaran mengenai tuntutan Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan hak mutlak setiap individu, yang apabila dapat tersampaikan dengan baik dapat membawa kedaulatan rakyat yang diharapkan. Lalu ditujukan dan disasarkan kepada siapa hukum yang dibuat kali ini?.
KUHP pasal 306, membahas mengenai hukum pidana untuk tersangka koruptor, juga dipermasalahkan. Karena hukum yang dijatuhkan lebih ringan dari pada hukum sebelumnya, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) nomor 31 tahun 1999.
Isi KUHP pasal 306 yaitu, pidana bagi orang yang melawan hukum, memperkaya diri sendiri maupun korporasi yang merugikan negara atau perekonomian negara. Dikenai hukum penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 20 tahun. Pelaku juga dihukum denda minimal Rp 10 juta dan maksimal Rp 2 miliar.
Sedangkan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor menyatakan, orang yang melawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara diancam pidana seumur hidup atau minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun. Juga denda minimal Rp. 200 juta dan denda maksimal Rp. 1 miliar. Ayat 2 berbunyi, bisa dijatuhkan hukuman mati jika korupsi tersebut dilakukan pada keadaan tertentu.
Korupsi menjadi kejahatan yang besar, sedangkan perbuatannya adalah mengambil hak-hak milik orang-orang yang percaya kepadanya. Sehingga, butuh sanksi yang tepat untuk memberi efek jera bagi pelakunya. Jika dibandingkan mengenai hukum diatas, dapat dilihat bahwa KUHP pasal 306 seolah memberi angin segar untuk koruptor.
Disinilah persepsi masyarakat muncul, apakah ini memang permainan pemerintah untuk membiarkan tikus berdasi itu menggerogoti padi rakyat? atau ini hanya akal-akalan mereka untuk ikut serta dalam tindakan korupsi?. Jika para koruptor semakin menjadi, lantas bagaimana nasib rakyat yang bekerja banting tulang?.
Selain pasal tersebut, masih banyak pasal KUHP yang kontroversial, sehingga dikhawatirkan merusak kesatuan bangsa. Masih ada waktu 4 tahun lagi semenjak KUHP disahkan, untuk rakyat terus melakukan perundingan dan penolakan terhadap pasal-pasal yang dianggap menyimpang.
Tagar #Semuabisakena yang dicetus Najwa Shihab agaknya bisa menjadi bentuk persatuan masyarakat yang tidak setuju dengan penetapan pasal bermasalah. Sebagai rakyat Indonesia, wajib bagi kita untuk andil dalam menentukan, menegakkan, dan mengawasi jalannya hukum yang ada di Indonesia.
Ingat ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ bukan hanya diucapkan dalam bibir. Tapi butuh tindakan yang nyata. Terus gencarkan #Semuabisakena, sampai keadilan menjadi milik kita bersama.