Dalam kesendirian.
Dalam kesendirian aku mengerti. Dalam kesendirian aku memahami. Dalam kesendirian aku meresapi. Dalam kesendirian aku merindukan mati.
***
“Ar…”
“Iya?”
“Ketika dua orang sudah terlalu dekat, karena ada suatu perselisihan biasanya mereka akan pecah.”
Tangan Ar berhenti.
“Kita enggak ‘kan, Ar?”
Tangan Ar kembali memoles kanvas putih di depannya dengan kuas yang ujungnya basah cat berwarna. Ar sudah kebal mendapat pertanyaan sensitif macam ini.
Kania hidup di pesisir pantai utara pulau Jawa. Sifatnya yang ceria menguap ketika ibunya meninggalkan ia, kakak perempuan, dan ayahnya. Kania kecil belum mengerti kenapa ibunya tega meninggalkannya. Ia masih kelas 5 SD saat peristiwa itu terjadi.
Siang itu ayahnya berteriak keras, juga geram.
“Ganti-ganti nomer wae! (Ganti-ganti nomor saja!)”
Ungkapan itu melesat bersama beberapa kartu telepon genggam kepunyaan ibunya yang dilempar begitu saja ke halaman rumah. Ibunya di puncak kemarahan. Wajahnya yang putih ayu karena bantuan make-up itu meradang. Para tetangga yang sedang ingin beristirahat agak celingukan- antara takut dan berani menampakkan diri.
Setelah itu, Kania kecil dan kakaknya, Esti tidak menemukan ibunya sepulang sekolah. Beberapa baju-meskipun ibunya mempunyai banyak baju- raib. Juga kosmetik dan tas besar yang jarang digunakannya. Sejak saat itu, Kania kecil dan Esti tak lagi mendapati ibunya ketika pulang sekolah. Hingga saat ini.
“Kita enggak ‘kan, Ar?” Kania mengulang pertanyaan yang sama. Kini kepalanya menyembul di balik kanvas putih yang memisahkan tubuh Ar dan tubuh Kania.
“Kania, apa aku bisa menjanjikan sesuatu yang belum pasti?” jawab Ar.
“Ya, setidaknya kamu bisa berbohong untuk hal ini.”
Ar tertawa, tidak keras. Berapa kali lagi kau harus menanyakan itu, Kania? Tanya Ar dalam tatapan.
Ar tahu Kania begitu khawatir dengan persahabatan mereka. Ar yang suka ke gereja dan Kania yang terkadang masih ingat ke masjid. Kania muslimah yang baik ketika ibunya masih suka mengingatkan untuk pergi ke masjid, mengaji, dan mencium tangan ibunya sebelum berangkat sekolah. Tapi, semenjak Kania tidak mencium tangan ibunya sebelum berangkat sekolah, sisi hati Kania terpuruk. Ia seringkali meragukan campur tangan Tuhan yang ada di pihaknya.
Bahkan, hijab yang dipakai Kania tak lagi melingkari rambut indahnya semenjak datang ke kota itu, Kudus. Kania masih sukses mempertahankan ke-islaman-nya di KTP yang sebentar lagi habis masa aktifnya. Setelah masa aktif KTP nya habis, siapa yang tahu kepercayaannya pada agama juga terkikis.
“Kamu seperti tidak mengenal laki-laki, Kania.”
“Karena aku tidak mengenalnya, maka aku harus mempertanyakannya.”
Ar dan Kania sama-sama tahu, persahabatan mereka sangat riskan. Tapi untuk ukuran Kania yang terlalu kenyang dengan penghianatan, ia tak peduli. Justru Ar yang khawatir. Banyak yang menganggap Kania sedikit demi sedikit melucuti ke-muslimahan-nya karena Ar. Dulu Kania masih mau berhijab untuk sekadar datang ke kampus. Kemudian hijab itu tertinggal di tumpukan bawah lemari bajunya. Lalu menyusul dengan dress yang semakin lama semakin ke atas dan hanya dipadukan dengan kaos berlengan pendek.
“Orang-orang mulai berasumsi kalau kamu terpengaruh olehku, Kania!” dulu Ar sudah pernah menyatakan kegelisahannya.
“Aku tidak butuh asumsi orang-orang, Ar”
“Tapi kamu tidak bisa hidup tanpa orang-orang.”
“Yang kutahu aku tak bisa hidup tanpamu.”
Pikiran Ar mandek ketika Kania mengucapkan mantra itu. Ar tahu betul Kania tidak menitipkan rasa yang berlebih kepadanya. Ia hanya nyaman. Namun, apa Ar sendiri sudah memastikan bahwa kenyamanan Kania tak berkelanjutan? itu masalahnya.
(D1418/Red_)