Kosmetik Politik Rezim Populis-Militeristik

Sumber Foto: dunyasayiseti.com

Oleh: Ahmad Ramzy

Akui saja, rezim hari ini hanya mengumbar kebodohan: janji-janji gizi baik, ketidakpastian 19 juta lapangan pekerjaan, Proyek Sengsara Nasional (PSN) tetap berjalan, eksplorasi tambang besar-besaran, sentralisasi perencanaan ekonomi, mental korup, kanonisasi jejak sejarah Indonesia, obral-obral jabatan, kriminalisasi pegiat HAM, dan masih banyak lainnya. Demi menjaga stabilitas nasional, semua bopeng jerawat dirias dengan kosmetik politik ala Prabowo—kosmetik nasionalisme mental militeristik.


Setahun bergulir, Kabinet Merah Putih banyak menyelewengkan kekuasaan. Berlindung dari narasi-narasi menyesatkan, yang nir-empati pada akar persoalan. Sebagai contoh, demonstrasi besar-besaran yang terjadi di pekan terakhir bulan Agustus, dituduh sebagai perbuatan makar dan terorisme. Bahkan, Prabowo seakan menciptakan “hantu” jadi-jadian dari olah polah antek asing.


Akar masalahnya bukan pada “hantu” imajiner yang dibentuk Prabowo, melainkan riak-riak frustasi sosial warga telah berkumpul dalam kekecewaan yang sama—kekecewaan terhadap ketidakadilan. Prabowo sendiri tak kunjung melakukan pembebasan kepada massa aksi yang ditangkap di berbagai kota. Alih-alih bertanggung jawab dan meminta maaf atas tindakan kekerasan yang dilakukan aparat, ia justru berlindung dengan kosmetik
nasionalismenya yang semu.


Padahal, mana mungkin rakyat miskin kota yang terpanggil dirinya untuk turun ke jalan disetir oleh antek asing. Justru mereka berinisiatif sebab nurani. Tidak ada provokasi, semua berdasar dari nurani.


Hingga kini, banyak dari kawan-kawan sependeritaan masih dibelenggu oleh jeruji besi, dua orang kawan kami masih belum ditemukan, dan beberapa kawan lain di bawah kendali rasa trauma. Sedang rezim hari ini tidak tergugah perasaannya, masih terus menerusmelanjutkan lantunan tarian di atas penderitaan jutaan orang.

Adigang Adigung Si Tangan Besi


Bukan kali pertama sebagai rakyat dihadapi oleh rezim militeristik. Dan bukan hal baru buat kita melihat karakter Prabowo si tangan besi yang di tangannya banyak bertumpahan darah orang tak bersalah.


Sekali saja berbeda, nasionalisme atau lebih tepatnya chauvinisme Prabowo memproduksi ungkapan-ungkapan yang paternalistik—meminta rakyat percaya dan bersikap tenang. Tetap percaya dengan kekuatan kepemimpinan Prabowo-Gibran di kancah nasional dan global, serta tenang terhadap segala proses pemerintahan yang busuk bau tengik ini.


Ini serupa dengan gambaran Hannah Arendt dari rezim totaliter, bahwa produksi propaganda kepalsuan dan kosmetik nasionalisme merupakan upaya untuk melanggengkan dominasi total terhadap rakyat.


Prabowo pun secara terang-terangan memberikan stempel “musuh objektif” pada kelompok oposan. Bukan hanya sekedar menandai, namun beriringan juga dengan penggembosan melalui kekerasan—vertikal maupun horizontal.


Si tangan besi pun tidak habis cara, ia mengkonsolidasikan kekuatan secara multi sektor: oligarki, aparat, partai-partai, buzzer, influencer, dan lain-lain. Akhirnya, banyak orang berbondong-bondong menghamba dan melindunginya secara totalitas.


Kekuatan kolektif masyarakat sipil di bawah tanah adalah ancaman besar bagi rezim totaliter. Bagaimanapun caranya, kolektivitas harus teratomatisasi atau terpecah-pecah dan tak berarah. Rezim totaliter juga tidak akan segan untuk berperilaku seperti serigala pemangsa—homo homini lupus.


Jika dulu si tangan besi Soeharto mendemonisasi kelompok oposan sebagai Komunis yang tak beragama, sekarang tak jauh berbeda dengan si tangan besi Prabowo, ia mendemonisasi kelompok oposan sebagai kelompok Anarkis dan Teroris—yang dianggap dekat dengan kerusuhan dan pengrusakan.


Mana mungkin sebagian lain dari rakyat yang menuntut telah memahami ideologi tertentu ketika mereka turut berperan dalam aksi-aksi demonstrasi. Pada gilirannya, demonstrasi adalah ruang cair untuk siapapun. Bahkan, seorang intelijen militer bisa masuk di dalamnya dan mengobrak-abrik kemurnian sikap rakyat. Sehingga, tuduhan yang disematkan kepada rakyat menjadi halal di mata rezim untuk ditindak dengan represif.


Karakter inilah yang tidak akan hilang dari rezim bercorak totalitarisme. Satu tahun melangkahnya rezim hari ini adalah bukti nyata dominasi total anti-kritik dan amoral.

Bius Mati Teruntuk Rakyat


Rezim Prabowo-Gibran adalah rezim yang ditimang-timang langsung oleh —si Sengkuni—penipu ulung. Di mana sejak kick off konsolidasi paslon—mungkin hingga hari ini, perjalanannya dituntun sedemikian lancarnya.


Mimpi buruk yang tengah dirasakan rakyat mendapat extra time yang langsung diteken oleh Jokowi. Sejak rezim Jokowi, rakyat telah dibabak belurkan dan kalah telak. Di tengah kekalahan itu, bukannya menghentikan babak, babak baru ditambah lagi olehnya. Targetnya bukan makin membonyokkan rupa rakyat, tetapi dengan jelas menambah angka-angka kematian rakyat.


Bukan tanpa alasan penulis merasa seperti itu. Rekam jejak berdarah Prabowo menjadi bukti kuat. Gibran sendiri pun mendapat karpet merah yang membuatnya jadi Wakil Presiden “plonga-plongo”—boneka dari bapaknya sendiri, dan akan sangat mudah untuk membebek Jokowi.


Salah satu dari master plan Jokowi dalam memperkuat sektor aparat telah dikabulkan Prabowo-Gibran dan DPR dengan UU TNI. Pun rakyat tengah dihadang momok besar RUU Polri dan RKUHAP. Makin banyak beban struktural, makin remuklah badan rakyat.


Dari penelitian Made Supriatma, Prabowo sedang membentuk 514 Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP). Adapun rencana mempersiapkan 25 ribu pasukan komponen cadangan(Komcad) pada tahun 2025. Kemudian, genap lima tahun kepemimpinan Prabowo, ia menginginkan sekitar 1 juta personel tentara sudah tersusun di seluruh penjuru negeri. Terjadilah peristiwa yang sudah dinarasikan Majelis Lidah Berduri dalam lirik lagu Dapur,
NKK/BKK, “kota sudah dikepung tentara”.


Hasil dari data Bli Made, Prabowo memberikan komando kepada militer untuk turut andil mengurusi pangan melalui program food estate. Bahaya latennya, selain mengintervensi aktivitas rakyat dengan kapanpun. Militer juga menjadi kepanjangan tangan untuk melangsungkan deforestasi dan pembukaan lahan hutan adat seperti yang dijanjikan Zulkifli Hasan seluas 481.000 hektar di Papua. Dengan dalih ketahanan pangan, hutan-hutan
dihilangkan.


Wacana menstimulasi kekuatan militer ini menjadi ancaman besar untuk rakyat. Bisa jadi, nantinya banyak pembunuhan massal atas nama nasion. Jangan lupa, karakteristik utama militer adalah patuh terhadap komando sentral. Dengan budaya Indonesia seperti yang diucapkan Mochtar Lubis—Asal Bapak Senang (ABS), maka akan memungkinkan terjadinya “pembersihan lingkungan” demi perintah satu komando.


Prabowo yang bermental militeristik, bukan tidak mungkin dirinya akan memerintah seluruh tentara Indonesia untuk merangsek dan membabat habis kehidupan rakyat.

Harapan dari Reruntuhan


Selain menganalisa rupa tindak tanduk penindasan rezim hari ini. Hal yang mesti dipersiapkan rakyat adalah mental persatuan dan terus menerus membangun politik keseharian.

Politik keseharian bukan hanya menarasikan arti perlawanan, tetapi memperkuat simpul persaudaraan dan kemanusiaan. Seringkali kita merasa luput dan terburu-buru oleh keadaan. Nyatanya, tidak akan ada perubahan besar yang dikebut cepat. Semuanya harus dilalui dengan keuletan, kesabaran dan kedisiplinan.


Hari ini mungkin kita boleh takut. Akan tetapi, janganlah kita ditundukkan oleh imajinasi ketakutan yang tak berkesudahan. Esok dan hari-hari setelahnya adalah bagian dari perlawanan panjang. Nafas yang perlu dijaga, kebersamaan yang perlu dibentuk. Semuanya harus dikuatkan kembali. Sebab, kita semua adalah kumpulan orang-orang yang ditindas.


Perlu disadari, ke depan banyak dari kita akan kehilangan hal-hal kecil dan besar di dalam hidup kita. Kehilangan pekerjaan, kehilangan posisi, dan mungkin kehilangan nyawa.


Kalau bukan dengan persaudaraan dan kemanusiaan sesama yang ditindas, dengan siapa lagi harapan hidup bisa kita berikan? Pun sebaik-baiknya manusia ialah mereka yang tetap memperjuangkan haknya. Dan kita harus mempersiapkan banyak hal untuk melawan tirani yang menghamba pada pola pikir kapitalistik dan bermental militeristik. Untuk itulah, sebagai zoon politicon atau makhluk politik, kita memiliki peran besar merekonstruksi
kolektivitas politik yang inklusif dan egaliter.


Berpegang eratlah satu sama lain, dan menjaga nafas panjang kekuatan kolektif rakyat. Hanya dengan itulah, kita dapat bertahan lebih lama. Yakinlah, kekuasaan itu bisa lapuk. Dan teruntuk kita semua: tumbuhlah, tetaplah tumbuh liar serupa gulma.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *