Belungsang Jurnalis, Bawa Petaka Demokrasi

Ilustrator: Aulia Ulfa

Oleh: Redaksi DinamikA

Rezim Orde Baru kini seakan kembali lagi. Media yang menjadi pilar ke-lima Demokrasi kini mulai dibungkam oleh penguasa yang serakah dan tamak akan jabatan. Media dipaksa menjadi humas dan menerima setiap kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah, sedangkan, media yang memilih untuk tetap memegang nilai independensinya harus menerima intimidasi dan tekanan di setiap sudut gerakan. Data Yayasan TIFA mencatat, terdapat 44% pelarangan liputan sepanjang tahun 2024.

Represifitas Kepada Media Arus Utama

Sejak pemerintahan Kabinet Merah Putih, pembahasan mengenai jurnalis santer dibicarakan, dari bentuk kekhawatiran atas kasus-kasus yang menimpa jurnalis terdahulu sampai dengan pertemuan-pertemuan yang dilakukan presiden dengan pembesar media. Pada 22 Februari, Presiden melakukan pertemuan pertamanya dengan pembesar media. Akhirnya, timbul kekhawatiran di masyarakat, karena beranggapan pertemuan itu merupakan upaya mereduksi pemberitaan media.

Lalu, pertemuan kembali terjadi pada 6 April pertemuan yang lebih terbuka, dengan ditayangkan secara langsung di tengah-tengah perdebatan masyarakat tentang UU TNI dan intimidasi pers. Dari hasil pertemuan kedua itu, akhirnya membuat masyarakat berspekulasi bahwa apa yang dilakukan pemerintah adalah semata-mata untuk mencari sebuah citra di tengah polemik yang menyudutkannya.

Pada 19 Maret, tepat sebelum beberapa jam DPR melakukan pengesahan RUU TNI, Kantor Tempo mendapatkan kiriman berupa kepala babi yang terpotong kupingnya, di alamatkan kepada salah  satu wartawan Tempo desak politik dan host siniar Bocor Alus Politik, Francisca Christy Rosana. Tiga hari setelahnya, Kantor Tempo kembali mendapatkan kiriman enam ekor bangkai tikus oleh orang yang tidak dikenal pada pukul 02.11 WIB dinihari.

Lalu, teror juga dilakukan oleh akun Instagram @derrynoah pada 21 Maret 2025 yang terus bergulir dengan menggiring narasi-narasi provokatif untuk menutupi opini masyarakat bahwa apa yang dikerjakan oleh Tempo adalah sebuah “kesalahan”. Bukan hanya itu, akun Instagram itu juga melakukan doksing dengan mengunggah foto profil dan alamat e-mail Cica—sapaan akrab Francisca.

Tak lama, pada 21 Maret Jubir Istana menyambut kasus itu dengan guyonan yang menyulut amarah publik dengan respon “Sudah dimasak saja.” Melihat tanggapan itu, masyarakat seolah digiring bahwa dalang dari terror itu adalah bagian dari pemerintah sendiri. Dari hal-hal yang menimpa jurnalis profesioal itu, memunculkan pertanyaan dari sudut pers mahasiswa atau pers alternatif.

Apa Kabar Pers Mahasiswa?

Di masa Orde Lama, Pers Mahasiswa (Persma) digunakan sebagai alat demokrasi yang vokal menyuarakan kritikan kepada pemerintah. Suara yang berasal dari dalam kampus disuarakan oleh mahasiswa melalui pers kampus. Persma bukan hanya menjadi sebuah ekstrakurikuler di dalam kampus, namun juga menjadi media yang dapat digunakan untuk menggaet atensi masyarakat saat pers arus utama yang dibungkam suaranya. Sedangkan di masa Orde Baru, Persma disebut penerbitan untuk meredamkan suara kritis dari mahasiswa yang mengakibatkan terjadinya beberapa perubahan kerja pers mahasiswa. Jika dikembalikan dengan yang terjadi pada hari ini, apakah mungkin pers mahasiswa akan mengalami kemunduran yang serupa dengan masa Orba?

Penggunaan nama penerbitan kampus sudah mulai ditinggalkan, namun Persma masih diposisikan serupa dengan yang terjadi di masa Orba. Persma diposisikan sebagai humas, yang bertugas sebagai media “pemolesan citra” kampus, bukan menjadi media yang menghubungkan antara suara mahasiswa dan birokrasi. Hal itulah yang mengakibatkan kerja-kerja Persma selalu dianggap salah dan menyerang kode etik yang berlaku di dalam kampus.

Represifivitas sering terjadi di dalam kampus, beberapa bahkan sudah masuk ke dalam intimidasi berat dan berakhir dengan pembredelan. Isu pembredelan di dalam kampus bukan menjadi isu baru, namun isu yang mengakar dan selalu ada sampai sekarang. Pun dengan konten-konten yang dianggap meresahkan dan berakhir dipreventif oleh birokrasi. Bukan hanya sikap frontal yang dikeluarkan kampus, namun sikap berkelit dari jajaran birokrasi juga memunculkan kebingungan di tengah banyaknya pertanyaan dari mahasiswa yang disampaikan kepadanya.

Di beberapa Persma, represivitas terjadi dengan pencabutan izin terbit dan izin kelembagaan. Seperti yang terjadi di Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Catatan Kaki Universitas Hasanuddin, LPM Lintas IAIN Ambon, LPM Suara USU Universitas Sumatra Utara (USU), dan beberapa Persma lainnya. Baru-baru ini, LPM DinamikA juga mendapat perhatian khusus dari sejumlah oknum yang merasa diresahkan olehnya.

18 Oktober 2024, di masa penerimaan peserta baru, LPM DinamikA menerima pesan dari nomor tidak dikenal yang saat dihubungi kembali ternyata nomor milik dari Humas Kepolisian Kota Salatiga. Lalu dekat-dekat ini, LPM DinamikA sudah mengalami dua kali pemanggilan dari birokrasi kampus pada 21 Maret dan 21 April 2025, akibat laporan intel yang menyampaikan bahwa LPM DinamikA yang memotori berjalannya aksi #INDONESIAGELAP. Sebelumnya di Salatiga pada tahun 2016, Persma Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) mengalami pembredelan yang disebabkan oleh laporan dari aparat. Akibatnya, kampus mencabut izin lembaga Persma yang bersangkutan.

Ke mana Payung Hukum untuk Jurnalis?

Pasca reformasi 1998, pers profesional mendapatkan perlindungan dari UU Nomor 40 Tahun 1999 dan Dewan Pers untuk melakukan kerja-kerja jurnalis. Berbeda dengan pers professional, Persma masih banyak dibayangi dengan hantu-hantu pembredelan dan pembungkaman karena berada di bawah naungan kampus yang memegang penuh segala pendanaan dan perizinan di dalamnya.

18 Maret 2024, Perguruan Tinggi di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi telah melakukan kerja sama dengan Dewan Pers untuk melindungi kegiatan jurnalistik, sedangkan Perguruan Tinggi di bawah Kementerian Agaman (Kemenag) belum ada kejelasan dalam upaya melindungi kerja pers di dalam kampus yang berbentuk struktural.  

Sudah selayaknya kerja-kerja pers dilindungi, baik itu di dalam kampus ataupun di luar kampus. Jurnalis bukan pembual, mereka yang menyampaikan suara tak terdengar untuk mendapatkan panggung, mereka yang menyampaikan kebenaran yang ada di lapangan. Jika pers tidak mendapatkan perlindungan oleh pemerintah atau jajaran atas birokrasi, maka sudah selayaknya masyarakat umum turut menjadi tameng untuk mereka yang menyuarakan keresahan di tengah masyarakat itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *