Dua Wajah Tren Makanan Jalanan

Deretan pedagang kaki lima di jalanan (Sumber Foto: Newspillar.com).

Oleh: Lutfi Aulia Zahra

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), Street food (makanan jalanan) didefinisikan sebagai makanan dan minuman siap saji yang dijual oleh pedagang kaki lima, terutama di jalan-jalan, pasar, atau tempat-tempat umum lainnya.

Street food telah dikenal sejak awal peradaban manusia sekitar sepuluh ribu tahun lalu. Orang Yunani kuno mendokumentasikan kebiasaan masyarakat Mesir di pelabuhan Alexandria yang menjual ikan   goreng   di   jalanan.   Kebiasaan   ini   kemudian   meluas   ke   Yunani   dan   Romawi.

Di Indonesia, makanan jalanan terus berkembang pesat seiring meningkatnya permintaan masyarakat akan makanan yang cepat, terjangkau, dan praktis. Konsep street food kini menjadi pilihan populer, karena kemudahan akses, kecepatan dalam penyajian, serta variasi menu yang ditawarkan.

Berdasarkan survei Rakuten Insight Center dengan 13.670 responden, 43 persen masyarakat Indonesia makan di luar beberapa kali dalam seminggu, sementara 17 persen melakukannya beberapa kali  sebulan. Data ini menunjukkan bahwa hanya 2 persen yang tidak pernah makan di luar, mencerminkan tingginya ketergantungan pada makanan luar, khususnya street food. Tren ini mengindikasikan pergeseran pola hidup masyarakat modern yang semakin sibuk dan memilih solusi praktis. Namun, meningkatnya konsumsi street food juga menimbulkan kekhawatiran terkait kualitas gizi dan keamanan makanan. Regulasi dan edukasi konsumen menjadi langkah penting untuk menjaga keseimbangan antara kepraktisan dan kesehatan.

Menurut Artemis P. Simopoulos dan Ramesh Venkataramana Bhat dalam buku “Street Foods”jajanan jalanan biasanya dijual melalui kios, gerobak, atau truk makanan dan dirancang untuk konsumsi langsung. Fenomena ini memenuhi kebutuhan masyarakat akan makanan praktis dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan restoran. Keunikan street food terletak pada keberagaman jenisnya, mulai dari makanan lokal hingga yang populer secara global. Hasil studi FAO pada tahun 2007 mencatat bahwa 2,5 miliar orang di dunia mengonsumsi street food setiap hari, menegaskan perannya sebagai pilihan konsumsi ekonomis. Namun, kebersihan, gizi, dan regulasi tetap menjadi isu yang perlu perhatian serius.

Kemudahan dan Aksesibilitas, Mendorong Street Food Kian Digemari

Kemunculan street food  pascapandemi tidak hanya menjadi tren kuliner, tetapi juga membuka peluang besar bagi masyarakat kecil untuk memperbaiki perekonomian mereka. Penelitian oleh Zeb dan Hussainan Javed pada 2021 menunjukkan bahwa sektor street food memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal, terutama saat situasi ekonomi sulit. Fenomena ini menjadi tonggak kebangkitan ekonomi informal, di mana pedagang kecil memanfaatkan peluang untuk beradaptasi.

Dinamika ekonomi di Indonesia sendiri dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor, seperti yang diungkapkan oleh Nugroho, dkk, dalam penelitiannya berjudul Dinamika Pertumbuhan Kawasan Permukiman Kota Jambi. Menekankan pentingnya sektor informal, termasuk street food dalam menciptakan peluang kerja dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menunjukkan bahwa sekitar 40% mahasiswa di perkotaan lebih memilih membeli makanan dari pedagang kaki lima daripada restoran permanen. Hal ini disebabkan harga terjangkau, aksesibilitas mudah, dan penyajian cepat yang sesuai gaya hidup urban.

Selain itu, biaya sewa dalam tempat usaha yang tinggi di area komersial memaksa banyak pedagang kecil beralih ke lokasi strategis di pinggir jalan. Menurut Martin, dalam penelitiannya, berjudul The Role of Street Food in Urban Consumer Preferences tahun 2014, konsumen cenderung lebih memilih pedagang kaki lima karena lokasinya dekat dengan aktivitas sehari-hari seperti kampus, kantor, atau pusat kota. Data BPS tahun 2022 juga mencatat bahwa 60% konsumen perkotaan menganggap street food sebagai alternatif utama untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, terutama bagi mereka yang memiliki mobilitas tinggi.

Dilema Risiko Kesehatan di Balik Popularitas

Gorengan (Sumber Foto: Javaistan/pixabay.com)

Street food di Indonesia telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat, namun di balik popularitasnya, terdapat sejumlah masalah yang memprihatinkan. Salah satu isu utama adalah potensi risiko kesehatan akibat penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) berbahaya seperti formalin, boraks, dan rhodamin B. Berdasarkan data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2021, sekitar 15% sampel street food yang diuji mengandung bahan berbahaya ini. Penggunaan BTP semacam itu dapat menyebabkan gangguan pencernaan, keracunan, hingga efek jangka panjang yang berbahaya bagi generasi mendatang.

Selain masalah kesehatan, keberadaan street food  juga  memperburuk  persoalan  sampah perkotaan. Menurut data Dinas Lingkungan Hidup Jakarta yang dikeluarkan pada tahun 2021, sekitar 25% sampah di kawasan perkotaan berasal dari sektor informal, termasuk pedagang street food. Banyak pedagang yang kurang memperhatikan pengelolaan limbah secara efektif, sehingga kemasan plastik sisa makanan, dan sampah lainnya menumpuk mencemari lingkungan. Minimnya fasilitas pengelolaan sampah di area street food mempercepat kerusakan lingkungan perkotaan.

Masalah kebersihan makanan juga menjadi perhatian serius. Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Indonesia yang dirilis tahun 2022, sekitar 30% kasus keracunan makanan di perkotaan disebabkan oleh konsumsi street food. Rendahnya kesadaran pedagang terhadap standar kebersihan, seperti penggunaan bahan mentah yang tidak higienis dan penyimpanan makanan yang tidak sesuai standar, turut memperkeruh risiko kesehatan konsumen.  Edukasi dan pengawasan terhadap praktik kebersihan pedagang menjadi langkah penting untuk mengurangi kasus tersebut.

Aktivitas street food juga berdampak pada kemacetan lalu lintas, terutama di kawasan perkotaan yang padat. Laporan dari Dinas Perhubungan Kota Surabaya yang dipublikasikan pada 2023, menunjukkan bahwa 15% titik kemacetan di kota tersebut disebabkan oleh pangkalan pedagang kaki lima, termasuk street food. Pedagang yang berjualan di pinggir jalan tanpa izin resmi mengurangi ruang jalan dan mengganggu arus kendaraan, terutama di area pasar atau pusat keramaian.

Oleh karena itu, meskipun street food berperan penting dalam perekonomian masyarakat, diperlukan upaya yang lebih serius dari pemerintah dan masyarakat. Pengawasan ketat terhadap penggunaan bahan pangan, edukasi tentang kebersihan makanan, penataan lokasi berjualan, serta pengelolaan sampah yang efektif harus menjadi prioritas. Dengan langkah-langkah ini, street food dapat terus berkembang secara sehat dan berkelanjutan tanpa mengorbankan kesehatan masyarakat, lingkungan, dan ketertiban kota.

Upaya Pengendalian Risiko Kesehatan dan Lingkungan dalam Industri Street Food

Penggunaan bahan tambahan pangan berbahaya dalam street food masih menjadi ancaman kesehatan yang serius di Indonesia. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) perlu meningkatkan pengawasan terhadap pedagang makanan jalanan untuk memastikan bahan yang digunakan aman. Pelatihan mengenai penggunaan bahan pangan yang sehat sangat diperlukan untuk mencegah penggunaan zat kimia berbahaya. Mengutip laporan dari Kementerian Kesehatan Indonesia yang dirilis pada 2022, telah merekomendasikan pengawasan lebih ketat di pasar makanan dan penegakan sanksi bagi pelanggar sebagai langkah preventif.

Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah pengelolaan sampah yang dihasilkan oleh aktivitas street food, yang sering kali mencemari lingkungan. Dinas Lingkungan Hidup Jakarta pada tahun 2021 menyoroti pentingnya fasilitas pengelolaan sampah yang memadai di kawasan pusat keramaian, sekaligus mendorong pedagang untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Penataan lokasi berjualan juga menjadi solusi untuk mengatasi dampak terhadap lalu lintas. Mengutip data dari Dinas Perhubungan Kota Surabaya yang dirilis pada 2023, mencatat  pentingnya  pengaturan  lokasi  strategis  untuk pedagang agar tidak mengganggu mobilitas masyarakat. Dengan kebijakan yang terintegrasi, street food tidak hanya menjadi solusi kebutuhan masyarakat, tetapi juga dapat berkembang secara sehat dan berkelanjutan.

Meskipun street food menawarkan kemudahan dan kepraktisan,  tantangan  besar  terkait kesehatan dan lingkungan masih perlu diatasi dengan serius. Pengawasan yang lebih ketat dari BPOM, pelatihan bagi pedagang tentang bahan pangan yang aman, serta penerapan standar kebersihan  yang ketat  sangat  penting  untuk  melindungi  konsumen.  Selain itu,  pengelolaan sampah yang efektif dan penataan lokasi berjualan yang tepat harus menjadi prioritas untuk menjaga kenyamanan dan kebersihan lingkungan perkotaan. Dengan adanya langkah-langkah yang lebih tegas dan terintegrasi dari pemerintah dan komunitas, street food bisa berkembang secara berkelanjutan tanpa mengabaikan aspek kesehatan, kebersihan, dan kenyamanan masyarakat.

Daftar Pustaka

Antara. (2023, Agustus 15). Satpol PP Surabaya halau PKL berjualan di badan jalan PasarKeputran. Antara. https://jatim.antaranews.com/berita/723957/satpol-pp-surabayahalau-pkl-berjualan-di-badan-jalan-pasar-keputran

Asmi, S., et al. (2023). Uji kandungan boraks, formalin dan rhodamin B pada makanan jajananmahasiswa. gizi dan kesehatan,-https://ejournal.poltekkesaceh.ac.id/index.php/gikes/article/download/1112/421?utm_source.com

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). (2021). BPOM Temukan 102 Sampel Takjil Tidak Memenuhi Syarat. https://www.pom.go.id/berita/bpom-temukan-102-sampeltakjil-tidak-memenuhi-syarat?utm_source.com

Badan Pengawas Obat dan Makanan. (2019). Peraturan BPOM No. 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan.

Badan Pusat Statistik. (2022). Tren konsumsi makanan di kawasan perkotaan: Street foodsebagai pilihan utama. Jakarta: BPS.

Dinas Lingkungan Hidup Jakarta. (2021). Laporan Tahunan Pengelolaan Sampah Perkotaan Jakarta. Dinas Lingkungan Hidup Jakarta.

Dinas Perhubungan Kota Surabaya. (2023). Penataan Pedagang Kaki Lima di Kawasan Srikana. https://voi.id/berita/273440/pemkot-surabaya percepat-penataan-pkl-kawasan-srikana?utm_source.com

Food and Agriculture Organization (FAO). (2007). Food for the cities: Street foods. Rome: FAO.

GoodStats. (2023, Maret 12). Street food dan kedai kaki lima jadi pilihan favorit masyarakatsaat makan di luar. https://goodstats.id/article/street-food-dan-kedai-kaki-lima-jadipilihan-favorit-masyarakat-saat-makan-di-luar-K4yrH?utm_source.com

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2022). Laporan Kasus Keracunan Makanan diIndonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2Tahun 2023 tentang Pengawasan Bahan Berbahaya dan Beracun pada Media Udara.

Martin, J. (2014). The role of street food in urban consumer preferences. Journal of Urban Economics and Development.

Meliani, A. (2023). Persepsi Pedagang Makanan tentang Halalan Thayyiban dalam Jual Beli Makanan Perspektif Hukum Ekonomi Syariah (Studi pada Pedagang Street Food di Kota Payakumbuh. (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).

Nugroho, C., Agustang, A., & Pertiwi, N. (2022). Dinamika pertumbuhan kawasan permukiman Kota Jambi. Jurnal Ilmiah Mandala Education.

Rakhman, A. Z. (2021). Ensuring food security of indigenous peoples in Latin America by the UN Food and Agricultural Organization (FAO). RUDN Journal of Law, 25(4), 855–871.

Simopoulos, A. P., & Bhat, R. V. (2000). Street Foods. Basel: Karger Publishers.

Siregar, A. P. (2022). Metode dan aplikasi perhitungan: Pemanfaatan data sekunder di bidang ekonomi pertanian dan agribisnis. Yogyakarta: UGM Press.

StreetFoody Srl. (n.d.). Makanan Jalanan: Ceritanya. Retrieved from https://www.streetfoody.it

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *