(Sumber Foto: prismreports.org)
Oleh: Ahmad Ramzy
Pemilihan Umum Raya (Pemira) tahun ini bergulir begitu menarik. Gelaran tahunan ini lebih mengesankan untuk eskalasi politik yang biasanya membosankan. Kesadaran kolektif ini berinisiatif untuk mendongkel warisan kekuasaan yang langgeng, membelenggu, dan dilegitimasi secara berulang kali oleh segolongan pemangku “kebijakan semu” di kampus kita saat ini.
Respon akar rumput menghadapi kekuasaan rezim mahasiswa, bukanlah suatu kebodohan atau akal-akalan reaksioner. Tentu saya yakin dengan landasan filosofis yang dibangun oleh pikiran mereka yang bersih dan mulia. Ini bagian dari dinamika politik kampus. Terhinalah kalian yang menghujat gerakan ini.
Tajuk yang dibawa adalah #restorasidemokrasikampus. Tajuk ini relevan melihat kondisi demokrasi kampus yang dijalankan oleh sekelompok mahasiswa yang berafiliasi eksternal satu warna. Sungguh benar landasan ini digelorakan, di tengah tidak adanya inklusivitas politik terhadap afiliasi warna lain. Akan tetapi, gerakan ini bukan gerakan yang didasari oleh iri hati tidak dapatnya kursi kekuasaan.
Kalian yang alergi dengan gerakan organik ini adalah sekumpulan orang-orang yang pengecut. Bodoh saya rasa jika gerakan organik ditanggapi dengan caci maki yang tidak berdasar dan menyudutkan personal. Sebab sejati-jatinya, restorasi adalah keniscayaan.
Penting kiranya bila kita membumikan demokrasi—yang tidak ekslusif dan tersentral. Demokrasi di kampus kita sekadar mengakomodir kepentingan segolongan mayor. Setiap orang berhak memiliki sikap politik, sebagaimana tutur Aristoteles bahwa semua manusia adalah makhluk politik (zoon politikon). Wacana membumikan demokrasi dalam bentuk Mahkamah Mahasiswa bukanlah gagasan sempit yang pendek makna, melainkan kesegaran pemikiran politik yang sesuai dengan trias politica, di mana politik kampus kita membutuhkan lembaga yudikatif—fungsi pengawasan dan penegakkan supremasi hukum..
Namun, perlu disadari, bahwa regulasi hukum Ormawa yang ada tidak dibentuk untuk mewadahi seluruh mahasiswa. Maka, koalisi mahasiswa sipil perlu membangun Mahkamah Mahasiswa secara mandiri tanpa terikat dengan regulasi yang ada di UU Ormawa. Percuma rasanya jika kita melandasi gerakan itu dengan regulasi yang saat ini digunakan. Sebab, tidak ada dan tidak mungkin lembaga legislatif–dalam hal ini Sema–membuat aturan yang memuluskan wacana aliansi koalisi mahasiswa sipil tersebut.
Pentingnya Pengawasan dari Rektorat
Termaktub dalam Keputusan Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Islam (Pendis) Nomor 3814 tahun 2024 Tentang Petunjuk Teknis Organisasi Kemahasiswaan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) dalam Bab V mengenai Pengawasan dan Evaluasi dijelaskan, bahwa Wakil Rektor/Wakil Ketua/Wakil Dekan, lebih khususnya Wakil Rektor mengawasi dan mengevaluasi kinerja Dema serta Sema. Lebih lanjut, memotong budaya politik eksklusif sektarian satu golongan yang ada di dalamnya. Melihat hal tersebut, Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan seharusnya mendesak kerja-kerja Dema dan Sema, wabil khusus Sema Universitas, untuk membuat regulasi mengenai pembentukan lembaga yudikatif. Hal tersebut dilakukan untuk menyokong terwujudnya sistem yang berkeadilan. Sebab, tidak mungkin mereka memfasilitasi aspirasi mahasiswa untuk mewujudkan Mahkamah Mahasiswa.
Bentuk dari lembaga yudikatif atau Mahkamah Mahasiswa yang dicanangkan merupakan alat untuk mengontrol kekuasaan yang dzolim. Pada gilirannya, Wakil Rektor 3 perlu menyambut hangat kesadaran guyub aliansi mahasiswa sipil dengan wacana Mahkamah Mahasiswanya yang berimajinasi merestorasi demokrasi yang telah membusuk.
Berkaca pada beberapa kampus, contohnya Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ), terdapat regulasi resmi mengenai lembaga yudikatif. Perlulah kita melihat kampus lain, karena biasanya rumput tetangga jauh tampak lebih hijau. Kemudian, kita perlu belajar melihat, lalu dianalisis menyesuaikan kebutuhan mahasiswa kampus kita sendiri. Sebab, tugas seorang Wakil Rektor 3, tidak lain dan tidak bukan adalah mendukung berdirinya Mahkamah Mahasiswa.
Wakil Rektor 3 sudah semestinya menjaga animo aliansi mahasiswa sipil tetap segar. Selanjutnya, Wakil Rektor 3 juga perlu mendukung penuh pembentukan Mahkamah Mahasiswa. Andil Wakil Rektor 3 sangat ditunggu-tunggu untuk menjaga kestabilan demokrasi kampus. Bahkan, bagi penulis, rektorat perlu meneken Surat Keputusan (SK) yang berkenaan dengan pembentukan Mahkamah Mahasiswa, melalui mekanisme pengawasan yang ketat oleh Wakil Rektor 3, tanpa adanya tedeng aling-aling kepentingan kekuasaan afiliasi partai maupun eksternal.
Tinggal menunggu waktu, restorasi adalah keniscayaan. Maka saksikanlah aksi-aksi progresivitas yang dikerjakan oleh aliansi mahasiswa sipil. Kerja-kerja kebudayaan ini adalah kerja-kerja revolusi yang nyata.
Mahkamah Mahasiswa, Merehabilitasi Politik Mahasiswa
“Tidak ada kesalahan atau kejahatan yang lebih mengerikan bagi Tuhan daripada yang dilakukan oleh kekuasaan” – Kierkegaard.
Pada bagian ini, mari kita bahas duduk perkara urgensi dibentuknya Mahkamah Mahasiswa. Prasyarat objektif yang dipersiapkan bukan hanya menggedor pintu Wakil Rektor 3 untuk andil dalam pembentukan Mahkamah Mahasiswa. Hal lainnya adalah mempersiapkan rancangan struktural maupun kultural.
Secara struktural, person-person yang nantinya di dalam Mahkamah Mahasiswa terdiri dari dua sampai tiga perwakilan fakultas. Perwakilan ini diisi oleh mereka yang telah melewati pendidikan politik melalui mekanisme khusus dan tanpa embel-embel kepentingan individu maupun kelompoknya. Sistem pendidikan politik ini pun harus disiapkan pula oleh aliansi mahasiswa sipil untuk menjamin kualitas individu yang bervisi adil dan mementingkan kebaikan bersama (common good).
Terlampau kenyang kita menemukan fenomena politik mahasiswa yang abal-abalan–tersusun oleh mental gagah-gagahan sektarian. Untuk itulah, wahana paling ideal adalah membabat habis kebudayaan buruk tersebut melalui pendidikan politik yang bersih dari kepentingan golongan mana pun.
Lembaga yudikatif atau kehakiman yang menjadi wacana progresif ini bukan lembaga gibah yang membicarakan kinerja Dema dan Sema atas dasar penilaian subjektif. Mahkamah Mahasiswa merupakan lembaga independen yang tugasnya mengawasi dan menilai tindak-tanduk berjalannya politik mahasiswa secara objektif. Lebih khususnya lagi, mencegah kesewenang-wenangan kekuasaan politik mahasiswa.
Kemudian, operasional Mahkamah Mahasiswa memiliki kewenangan mengadili yang putusannya bersifat final dan mengikat. Dalam wewenangnya, Mahkamah Mahasiswa harus menafsirkan UU Ormawa, menguji langsung Peraturan Perundang-undangan Ormawa, menyelesaikan masalah dan sengketa aktivitas kemahasiswaan, baik sengketa Pemira, serta sengketa secara kelembagaan yang terjadi di universitas maupun fakultas. Mahkamah Mahasiswa beroperasional ketika para hakim mengetahui kesalahan yang tengah terjadi dan didorong pula oleh laporan-laporan yang masuk untuk disidangkan.
Andaikan kita mengharapkan Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum Raya (Bawasra) untuk menjalankan wewenang mengawasi Pemira—rasanya sangat muskil berhasil. Bahkan, dijalankan pun, penulis kira tidak akan mungkin. Daripada menaruh harapan berlebih ke mereka, lebih baik membangun secara langsung lembaga kehakiman yang sesuai dengan wewenangnya.
Poin prasyarat objektif lain yang perlu dipikirkan adalah bagaimana rancangan secara kultural dapat berjalan efektif, karena membabat habis mentalitas ego sektoral bukanlah pekerjaan yang mudah. Penulis yakin, akan banyak pertentangan dalam pembentukan Mahkamah Mahasiswa, meskipun tidak menutup kemungkinan narasi membangun Mahkamah Mahasiswa ini dapat diterima oleh banyak pihak. Maka daripada itu, tugas Wakil Rektor 3 ialah mengawasi tumbuh kembang dan memiliki andil membangun Mahkamah Mahasiswa.
Wakil Rektor 3 perlu menyadari bahwa kultur politik mahasiswanya memiliki imajinasi politik yang berkecenderungan hegemonik. Demokrasi partisipatif tidak terjadi dalam ruas-ruas perpolitikan mahasiswa. Apabila Ormawa–dalam hal ini Dema–selama beberapa tahun belakangan mengakui telah merangkul banyak pihak, tapi tidak menjamin jumlah pihak lain di luar afiliasi dominan itu seimbang dan mendapatkan tempat yang layak.
Miris bilamana kita melihat politik mahasiswa kampus kita. Siklusnya selalu terbaca, bahwa golongan afiliasi satu warna akan memenangkan kontestasi demokrasi kampus dari tahun ke tahun. Kemudian, produknya sama, proses dominasi yang berulang-ulang setiap periodenya.
Pun secara kultural pula, sikap-sikap kesadaran massa harus terbentuk lebih masif untuk menjadi watch dog, yakni anjing pengawas kekuasaan, bukan menjadi guard dog, anjing penjaga kekuasaan. Sebab, hal yang sudah semestinya disadari, bahwa common enemy kita adalah praktik-praktik amoral negara maupun kampus. Bukan senggol menyenggol antar sesama mahasiswa—konflik horizontal.
Wacana Mahkamah Mahasiswa bukan wacana yang muncul dari ruangan kosong. Ada alasannya, dan sangat fundamental untuk menjaga keutuhan demokrasi. Penulis pernah terbesit lembaga ini saat masih awal berkuliah, tepatnya semester satu. Bagi penulis, wacana Mahkamah Mahasiswa adalah wacana bersama, bukan milik perseorangan. Semua orang yang berbekal pengetahuan mengenai demokrasi pasti akan berpikir serupa. Untuk itulah, bangunlah Mahkamah Mahasiswa!
Resonansi gerakan grassroot yang tengah terjadi di UIN Salatiga, bukan hanya perihal membangun Mahkamah Mahasiswa, tuntutannya yang lain adalah reformasi birokrasi. Tuntutan reformasi birokrasi merupakan tuntutan vis-a-vis dengan akar masalah utamanya, yakni sistem yang dari susunan terbawahnya (red: Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS)) hingga tertinggi (red: Dema dan Sema). Bahkan, lembaga yang seharusnya independen dalam proses Pemira, justru menjadi bagian yang terintegral satu warna.
Reformasi birokrasi menjadi penting untuk dilakukan di samping juga mempersiapkan perkakas-perkakas membangun Mahkamah Mahasiswa. Komposisi Dema, Sema, HMPS, KPUM, dan Baswara harus melibatkan banyak pihak. Terlebih secara latar belakang seharusnya komposisi tersebut tidak mengutamakan satu warna saja.
Pekerjaan Rumah (PR) kita menumpuk-numpuk. Tetapi, inilah jalan yang harus dipilih, jalan yang tak ada ujung. Serupa celotehan masyarakat sipil Prancis pada Mei 1968, “Jadilah Realistis, Tuntutlah yang Tidak Mungkin”, terjemahan bahasa Indonesia dari “Soyez Realistes, Demandez L’Impossible”. Yakinlah, Mahkamah Mahasiswa ‘kan berdiri!