Konflik Lahan Pundenrejo: Trauma dan Hilangnya Ruang Hidup Petani

Patok PT LPI yang hingga kini berdiri pada salah satu—di antara 5—Persil lahan 7,3 Hektar yang bermasalah.Kini diapit tanaman tebu yang mereka tanam di atas lahan yang kini statusnya milik negara (Sumber Foto: Fadlan)

Oleh: : Fadlan Naufal R dan Radhitya Angga Putra P

Sepulang dari pasar, Nur Kawan (63) bersama Supiah (63), istrinya, warga Desa Pundenrejo, cuma bisa terpaku saat melihat bagian belakang rumahnya tak lagi berbentuk. Rumahnya roboh. Atap rata dengan tanah.

Pada saat kejadian, karyawan yang bekerja di warung mie ayam miliknya–yang berada tepat di depan rumah–kebingungan dan ketakutan saat banyak orang tak dikenal turun dari truk, mendatangi dan mengobrak-abrik rumah yang berlokasi di pinggir jalan raya Pati-Jepara itu.

“Padahal biasanya istri ke pasar sendiri. Saya kira waktu itu ramai ada kecelakaan di jalan, ternyata rumah saya dirobohkan. Saya tidak membawa handphone sehingga tidak bisa dihubungi (Red: oleh karyawan),” kenangnya dengan nada pilu.

Emosinya membuncak mengingat peristiwa perobohan rumah itu. Perasaan sakit hati menerpanya, pun ia menceritakan ketidakadilan yang dialaminya dalam peristiwa yang terjadi pada tanggal 7 Mei 2025 kala itu. “Yang merobohkan itu seperti maling!” ujar Nur Kawan meluapkan kemarahan sambil terus mengumpat.

“Sakit hati, karena dia (PT Laju Perdana Indah), belum punya hak tapi sudah berani merusak. Kalau punya hak, mestinya kasih tahu dulu,” imbuh Kroco, panggilan akrab Nurkawan dengan nada kesal yang agaknya masih terus ia tahan.

Supiah juga tak bisa menahan kesedihannya ketika menyaksikan kondisi Rumah yang dibangun dengan susah payah itu dirobohkan. “Kalau bojoku nangis, tok!” ungkap Nurkawan.

Kondisi rumah Kasimin kini yang dirobohkan (Sumber Foto: Fadlan)

Selain rumah miliknya, gerombolan orang tak dikenal yang diduga preman bayaran PT Laju Perdana Indah (LPI) itu juga mendatangi rumah Kasturi, pemulung yang juga terkadang menjual daun singkong untuk memenuhi kebutuhan hidup, berjarak kurang lebih 200 meter dari rumah Nur Kawan.

Empat bulan pasca peristiwa itu amat membekas dan menyisakan trauma, terutama bagi Marni (60), istri Kasturi (61). Kondisi mentalnya terus memburuk.

Berdasarkan video amatir dari peristiwa yang berhasil terekam warga, terlihat jelas aksi mereka yang mendatangi rumah Marni. Spontan, perempuan itu histeris, berupaya melawan dan mempertahankan rumah yang ditinggali bersama keluarganya itu. Dengan jumlah yang cukup banyak, preman-preman itu tak butuh waktu lama merobohkan bagian demi bagian rumah Marni. Mulai dari teras, sisi samping rumah, sampai dapur di bagian belakang.

Marni jatuh pingsan. Ia tidak sanggup melihat rumah yang dibangun dengan keringatnya, nyaris tak bersisa dalam waktu singkat. “Sampai saat ini istri saya masih belum sembuh dari trauma,” tutur Kasturi dengan nada bergetar.

Menurut pengakuan Mohammad (34), Ketua RT 4, Desa Jering, sekaligus Sekretaris Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo (Germapun), keluarga Kasturi tidak punya apa-apa selain di lahan itu. Ia menduga itu menjadi salah satu faktor trauma mendalam Marni. Kasturi dan Marni, katanya, sudah mendirikan rumah di lahan itu sejak lebih kurang 7 tahun yang lalu, lahan yang termasuk dalam 5 Persil itu.

Sisa puing-puing rumah Kasturi dan Marni setelah atap teras depan raib, sebab dirobohkan secara paksa oleh preman pihak PT LPI.
(Sumber Foto: Fadlan)

Mohammad juga mengatakan bahwa teras yang dirobohkan itu baru saja dibangun setelah bertahun-tahun harus kehujanan. Bahkan Marni sampai meminjam uang untuk membangun bagian depan rumah itu. Namun, kini tak bersisa, teras depannya belum bisa dibangun lagi.

Dari keterangan warga Pundenrejo lainnya, tak lama pasca pengrusakan rumah warga, sejumlah orang yang diangkut menggunakan truk kembali mendatangi  lokasi di deretan jalan areal rumah Supeno (57), wakil ketua Germapun yang kesehariannya membuka usaha warung kopi di rumahnya. Saat itu aksi gerombolan orang tak dikenal menyambangi dan ingin merobohkan rumahnya. Aksi berhasil digagalkan karena dihadang beberapa warga yang kebetulan tengah nongkrong menikmati kopi di warungnya.

Adu mulut pun tak terhindarkan. Bahkan untuk meyakinkan dan bersikukuh lahan yang ditempati sah miliknya, ia menunjukkan berkas dokumen izin PT LPI yang sudah kadaluwarsa.

Dari pengakuan Supeno, selama kurun waktu dua bulan sebelumnya, ia menyaksikan satu persatu rumah di desanya dirobohkan oleh orang yang disebutnya “preman-preman” PT LPI. “Yang pertama itu iup-iupan (joglo tempat istirahat warga/petani-red). Hari berikutnya rumahnya Kasimin, lalu Kasturi, terus rumah Kroco. Giliran rumah saya mau dirobohkan. Kami lawan,” ujarnya.

Sebenarnya, rentetan pengrusakan dan perobohan rumah bermula pada bulan Maret 2025 atau 5 bulan setelah Hak Guna Bangunan (HGB) PT LPI telah kedaluwarsa. Waktu itu sejumlah lelaki bercadar dan karyawan PT LPI yang mengendarai truk mendatangi dan merobohkan iup-iupan yang dibangun secara gotong royong dari iuran warga.

“Para preman datang ketika warga terlelap selepas sahur. Warga dan rekan-rekan Germapun kecolongan. Kami melihat genteng hancur berkeping-keping. Mereka berhasil merobohkan iup-iupan,” kenang Supeno.

Para petani yang tergabung dalam Germapun bersolidaritas mendirikan lagi rumah-rumah yang dihancurkan. “Ya, meski tidak sama seperti sebelumnya. Ada warga yang menolak dibantu seperti Kasimin karena dia menerima tali asuh dari PT LPI sebesar Rp5 juta,” jelasnya.

Para petani mencari keadilan dengan menempuh upaya hukum. Mereka melaporkan peristiwa pengrusakan itu ke Polres Pati dan berusaha mengadu kepada Bupati Pati. “Hingga kini, belum ada respons atau tindakan dari aparat kepolisian. Waktu ke Kantor Bupati malah diusir Satpol PP, ” imbuhnya, mengenang kejadian itu.

Petani Germapun berkumpul di lokasi Iup-iupan—sebelumnya Iup-iupan itu ialah Joglo, namun dirobohkan oleh 7 truck Preman LPI. Lalu dibangun seadanya kembali oleh para Petani. Kali ini mereka berkumpul hendak membuat pernyataan sikap atas lahan agar segera masuk ke dalam TORA. (Sumber Foto: Fadlan)

Fajar Muhammad Andika atau akrab dipanggil Dhika, pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang selaku kuasa hukum petani Pundenrejo menjelaskan, bahwa kasus ini sebenarnya termasuk delik umum. “Jadi meski tidak ada aduan, kasus ini seharusnya tetap diusut secara serius oleh kepolisian,” jelasnya.

Awal mula dan carut marut kepemilikan

Keberadaan lahan seluar 7,3 hektare di Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati ini, tak lepas dari konflik “perebutan” penguasaan sejak era kolonial. Lahan ini digarap turun-temurun oleh petani Pundenrejo sebelum dikuasai Belanda.

Soetomo (95 tahun), menjadi saksi konflik agraria berkepanjangan di Desa Pundenrejo. Ia ingat betul yang terjadi kala itu, Soetomo muda menggarap lahan bersama ayah dan adiknya. “Iki mau ne yo tanah rakyat” (ini dulu ya tanah rakyat),” nada suaranya bergetar.

Potret Mbah Tomo, saksi hidup perampasan lahan turun temurun sejak zaman Belanda hingga kini di tangan PT LPI, lahir tahun 30an, kini usianya 95 Tahun. (Sumber Foto: Fadlan)

Pengusiran mereka terjadi lagi pasca peristiwa politik tahun 1965. Tentara Perintis mengancam para petani yang dianggap tidak patuh sebagai simpatisan gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dipaksa angkat kaki dari lahan yang selama ini menjadi tanah garapannya. “Pernah diusir karo tentara perintis iku, nek ora minggir dianggep PKI,” ungkapnya.

Ia berusaha meyakinkan kepemilikan lahan yang kini dikuasai PT LPI memang  mulanya dikelola para petani. “Mbiyen yo dikelola rakyat kui mau a, terus gandeng dilebur pegawai pabrik iki diterusno rakyat dikei ganti rugi, tapi aku ra rumongso diganti rugi,”  ingatan Soetomo mundur jauh ke belakang menyebut sejumlah nama yang dulu menggarap lahan. Diantaranya, Tomejo, Sarno, Sarwi, Sukatam, Kartongalbi, dan Latip. “Seng nggarap pertama iku,” (Yang nggarap pertama itu),” katanya.

Kisah ini diperkuat Suriyanto (79 tahun), adik Soetomo yang juga mengingat jelas petani menggarap lahan tersebut setelah Belanda meninggalkan Indonesia. “Wes mesti mulai tahun 50 mulai digarap, sekitar 14 hektar iku wes digarap rakyat,” katanya.

Potret Mbah Suriyanto, adik kandung dari Mbah Tomo. Kini usianya 79 tahun(Sumber Foto: Fadlan)

Ia bercerita sejak tahun 1950, tanah itu dikelola bersama oleh warga desa. Namun, sebagaimana yang dikatakan Soetomo sebelumnya, situasi berubah drastis di tahun 1965-an. “Rame-ramene Gestapu PKI, iku wong-wong wes diparani perintis neng omah-omah. Nek ora gelem mundur seko lahan, dianggep PKI (kalo gamau mundur dianggap PKI),” jelasnya.

DI tahun 1973, lahan ini diklaim PT BAPIPPUNDIP–di bawah naungan Kodam IV Diponegoro. Lahan berubah status menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) sampai tahun 1994 dan diperpanjang hingga 2024. Namun PT BAPIPPUNDIP bangkrut pada tahun 1999 dan menjual HGBnya kepada PT Laju Perdana Indah (LPI) pada 16 Februari 2001.

Lantas, klaim kepemilikan PT LPI atas lahan lahan yang terbagi dalam 5 Persil ini bermula sejak tahun 2001, saat mendapat peralihan izin Hak Guna Bangunan dari  PT BAPIPPUNDIP.

Namun, Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) tahun 1960, HGB diberikan kepada pihak tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya.

Dalam Pasal 86, Permen ATR/BPN No.18/2021 jelas menyebutkan HGB hanya untuk sektor non pertanian. Kenyataannya, lahan itu tak pernah digunakan sebagaimana peruntukannya baik oleh PT LPI maupun PT BAPIPPUNDIP sebagai pemegang HGB sebelumnya. Sebab, lahan justru digunakan oleh mereka untuk menanam tebu, dan terlantar lebih kurang 20 tahun. 

Ketika terlantar itulah, terakhir kali ketika para petani dapat memanfaatkannya kembali menjadi lahan produktif. Dari cerita warga yang kami temui: Ketika musim hujan, beberapa petani menanam padi. Saat musim kemarau, mereka menanam ketela, terong, kacang, dan palawija lainnya.

Tercerabut dari ruang hidup

Di balik konflik perebutan lahan yang panjang dan tak kunjung selesai, para petani Pundenrejo yang terdampak pun dipenuhi rasa kekhawatiran dan ketakutan tercerabut dari ruang hidupnya. Saat PT LPI masuk pada 2020, tanaman mereka dirusak dan mereka diusir secara paksa. Hingga kini petani tidak bisa menggarap lahan sebagai mata pencaharian dan terpaksa bekerja serabutan agar tetap hidup.

Mereka tak lagi dapat berharap dapat menggarap lahannya. Salah satunya, Jupri (58), yang kini terpaksa menggantungkan hidup sebagai tukang batu yang kerjanya tak begitu pasti. Kadang ada, kadang tidak ada. “Saat tidak ada proyek, ya menganggur,” katanya singkat. Dulu, kebutuhan pokok untuk makan dan sekolah anaknya terpenuhi dari lahan garapannya. Sekarang semuanya harus ia tutupi secara ekstra.

Nasib sama juga menimpa Sari (bukan nama sebenarnya), perempuan tani warga Pundenrejo, akhirnya menggantung hidup pada pekerjaan serabutan dan sebagai penyapu jalan di ruas Jalan Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati yang berjarak sekira 4,3 Kilometer dari rumahnya.

Sehari-hari, Ia berangkat untuk menyapu jalan dua kali sehari. Pagi buta sekitar pukul 4 dinihari dan Siang mulai pukul 2 hingga sore. “Alhamdulillah dapat kerja nyapu itu kan setiap hari dapat upah. Gajinya bulanan. Kalau belum gajian, ya kalau nggak punya uang, minjam dulu,” tuturnya.

Potret Ibu Sari (bukan nama sebenarnya) sedang menyapu jalan (Sumber Foto: Fadlan)

Suami dan anaknya juga kerja serabutan di lahan orang lain, sedangkan anaknya bekerja serabutan ketika siang. “Suami kerja apa aja, tebang tebu, itu, mocok-mocok. Anak kalau sudah ngantar saya, siangnya kerja. Yang satu kerja di Pati,” tuturnya.

Ia mengingat kembali kondisi lahan yang dulu digarap bersama suaminya. Tanaman padi hampir panen dirusak dan dirampas sampai tak ada lagi yang tersisa. “Mereka datang bawa traktor, gergaji mesin. Ya sudah tidak bisa ditanami lagi, sudah dirampas terus ditanami tebu (oleh LPI) sampai sekarang,” tuturnya.

Perempuan dua anak ini mengakui, sebenarnya hasil panen di lahan garapannya yang diperoleh hanya 3-4 karung beras tiap panen. Namun, ini cukup untuk kebutuhan makan keluarganya. “Tidak perlu beli beras lagi, upah kerja serabutan untuk membayar kebutuhan lainnya,” katanya.

Gugus tugas reforma agraria tak bersuara

Petani Germapun hendak berangkat ke Alun-alun Pati. Anak salah satu anggota memberikan lambaian tangan saat digendong bapaknya, mengiringi keberangkatan petani yang memperjuangkan tanahnya hingga saat ini (Sumber Foto: Fadlan)

Pagi-pagi dalam menuju agenda Hari Tani Nasional 2025, para Petani Germapun berdiri di atas truk yang membawa mereka menuju Alun-alun kota Pati. Jaraknya sekitar 30 kilometer dari desa.

Dalam momentum itu, mereka mendorong surat rekomendasi Germapun agar tanah Punden segera dimasukkan ke dalam Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Pasalnya, dokumen tersebut belum juga ditandatangani Bupati Pati karena khawatir melanggar aturan hukum.

Dalam hal itu, Dhika kembali menjelaskan, konflik agraria yang melibatkan petani Pundenrejo hingga kini tanpa kejelasan penyelesaian. Padahal Bupati Pati  sebagai Ketua Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di tingkat kabupaten memiliki kewenangan untuk menyelesaikan konflik yang berlarut-larut ini.

Ia menyoroti sikap Pemerintah Kabupaten Pati. “Bupati Pati tidak paham substansi. Jelas ketidaktegasan negara merupakan bentuk pembiaran mengingat konflik terus bergulir dan para petani masih menanti haknya. Peta penyelesaian konflik, sudah terlihat. Tetapi pemerintah, memilih abai,” ujarnya, saat dihubungi melalui platform WhatsApp.

Sementara itu, Nimero Gulo, Direktur Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LBHS) Teratai Pati, menyampaikan hal senada. “Pernyataan bupati itu konyol, menunjukkan kalau tidak paham. Bidang hukum di Pemda jelas bisa mengkaji. DPRD juga merekomendasikan agar tanah diserahkan kepada warga, apa lagi yang mau ditunggu?” ujar Gulo.

Para petani melakukan demonstrasi di depan Kantor Bupati Pati (Sumber Foto: Fadlan)

Ia menganggap Bupati Pati gagal melakukan kewajibannya dan justru melakukan pelanggaran HAM. “Pejabat wajib merekomendasikan agar tanah diteruskan ke Menteri Agraria. Tapi dia tidak melakukan itu,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *