Sumber Foto: Pinterest
Oleh: M. Ghithrof Danil Barr
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna. Allah memberikan anugerah akal budi. Dengan akal budi ini, manusia diberi kemampuan untuk berpikir, merenungkan, dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Anugerah ini adalah tanggung jawab yang besar, karena dengan akal, kita seharusnya mampu menjalankan peran kita sebagai khalifah di muka bumi ini.
Amanah sebagai khalifah diabadikan dalam Al-Qur’an (Al-Baqarah: 30), yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia untuk menjadi pemimpin di muka bumi. Tugas ini bukanlah tugas yang ringan. Sebagai khalifah, kita dituntut untuk menjaga dan merawat bumi, menciptakan keseimbangan, dan melindungi lingkungan dari kerusakan. Tanggung jawab ini mencakup menjaga dan merawat alam, melestarikan sumber daya, serta memastikan bahwa keberlangsungan hidup di bumi ini tidak terganggu oleh tindakan kita sendiri.
Kita seharusnya sadar bahwa setiap keputusan yang diambil, baik dalam skala kecil maupun besar, memiliki dampak yang signifikan. Dengan akal budi, kita memiliki kapasitas untuk merencanakan masa depan yang lebih baik, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang. Namun, realita yang ada sering kali berbanding terbalik dengan apa yang diharapkan. Surat (Ar-Rum: 41) mengingatkan kita bahwa kerusakan di darat dan di laut banyak disebabkan oleh tindakan manusia sendiri. Kita menjadi “biang kerok” dari kerusakan itu.
Pernahkah kita merenungkan sejenak, bahwa tanpa kita sadari, tindakan sehari-hari kita sering kali berkontribusi terhadap kerusakan bumi ini? Di lingkungan kampus kita, misalnya, yang memiliki slogan “green wasathiyah campus” namun masih banyak tindakan yang bertentangan dengan prinsip tersebut. Pembakaran sampah yang seharusnya dihindari justru masih terjadi. Kita masih menjumpai sampah berserakan di laci meja kelas, dan puntung rokok yang ditinggalkan sembarangan di teras masjid. Bahkan, area gazebo yang seharusnya menjadi tempat bersantai dan berinteraksi dengan alam pun tidak luput dari sampah.
Kondisi ini menggambarkan kelalaian kita terhadap tanggung jawab sebagai khalifah. Slogan “green wasathiyah campus” seharusnya menjadi pengingat bagi kita untuk lebih bertanggung jawab dalam menjaga lingkungan, bukan sekadar kata-kata tanpa makna. Pembakaran sampah, misalnya, tidak hanya mencemari udara, tetapi juga berkontribusi pada pemanasan global yang semakin mengkhawatirkan. Sampah yang berserakan menunjukkan kurangnya kesadaran kolektif kita untuk menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan.
Dalam menjalankan amanah sebagai khalifah, kita perlu melakukan refleksi dan introspeksi diri. Apakah kita sudah berkontribusi dalam menjaga lingkungan? Atau justru kita menjadi penyebab kerusakan? Hal-hal kecil, seperti membuang sampah pada tempatnya, bisa menjadi langkah awal yang signifikan. Mengurangi penggunaan kantong plastik dengan beralih ke kantong belanja yang ramah lingkungan, serta menggunakan tumbler untuk mengurangi sampah botol plastik, adalah contoh langkah nyata untuk setiap individu.
Setiap individu memiliki peran penting dalam menjaga lingkungan. Kesadaran kolektif dan tindakan kecil dapat membawa perubahan yang besar. Mari kita mulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat kita. Dengan melibatkan diri dalam menjaga lingkungan, mengedukasi teman-teman, saudara, dan sanak keluarga kita, tentang pentingnya menjaga lingkungan dan berpartisipasi dalam kegiatan yang mendukung keberlangsungan alam. Kita dapat menunjukkan bahwa kita layak menjadi khalifah di bumi ini.
Tindakan kecil yang kita lakukan sehari-hari dapat menjadi langkah awal menuju perubahan yang lebih besar. Akhir kata, penulis mengajak pembaca untuk kembali merefleksikan diri, bertafakkur, dan melakukan introspeksi. Tanyakan pada diri kita, sudahkah kita layak menjadi khalifah di muka bumi ini?.