Aksi Kamisan di Istana Merdeka, Jakarta (Sumber Foto: Izlal/DinamikA
Oleh: Inatsa Dzikraa Ramadhan Siregar
Payung-payung hitam kembali memenuhi depan Istana Merdeka. Tepat pukul tiga sore, suara menggema seorang wanita terdengar lantang, mengarahkan untuk segera mengambil payung hitam dan berkumpul di belakang pembatas jalan oranye. Dalam hitungan menit, payung hitam yang berserakan di aspal ludes, diambil para aksi massa yang menandakan dimulainya Aksi Kamisan, Kamis (16/01/2025).
Aksi Kamisan pertama kali digelar pada tahun 2007 silam, dengan aksi diam di depan Istana Merdeka pukul empat sore setiap hari Kamis. Mulanya aksi itu diinisiasi oleh para penyintas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat seperti Maria Katarina Sumarsih, Suciwati, Bedjo Untung. Seiring berjalannya waktu Aksi Kamisan dipadati oleh siapa saja yang peduli terhadap isu HAM yang berada di Indonesia.
Memasuki tahun ke-18, Aksi Kamisan terus mengalami peningkatan. Jika sebelumnya hanya digunakan untuk meminta keadilan oleh individu para penyintas HAM berat, kini Aksi Kamisan bertransformasi menjadi tempat untuk menyampaikan keluhan masyarakat yang masih menaruh harapan pada demokrasi di negeri ini.
Kepastian yang Tak Kunjung Datang
Kamis itu, atmosfer semangat perjuangan terasa dalam perayaan 18 tahun Aksi Kamisan. Di seberang Istana Merdeka para peserta yang sebagian besar mengenakan pakaian hitam, berdiri dalam keheningan, mendengarkan aktivis menyampaikan orasinya dengan suara lantang yang berkobar. Sedangkan para polisi yang bertugas, berjejer di sepanjang pembatas jalan menghadap ke arah masa aksi, dengan raut muka datar tanpa ekspresi.
Sekitaran 40 menit berlalu, massa diarahkan untuk duduk melingkari sebuah tenda mini tempat penampilan musik dan refleksi dari beberapa tokoh masyarakat yang hadir. Menampilkan pembukaan theatrikal dari seseorang yang menyebut dirinya bernama Boy, dan dilanjut beberapa orasi perjuangan seperti yang disampaikan oleh Ratih.
Mengitari lapangan area Aksi Kamisan dan berdesak-desakan menerobos kerumunan, seseorang dengan potongan rambut pendek berwarna putih mencuri perhatian. Maria Katarina Sumarsih (43), salah satu inisiator Aksi kamisan yang tengah dikerumuni dengan todongan handphone. Dengan suara tegas, ia mengungkapkan kegelisahannya atas duka pilu yang kurang lebih telah 25 tahun menghantuinya, atas kasus kematian putranya yang tidak ditindaklanjuti oleh negara.
“Ketika Wawan ditembak, tak dipungkiri kami mati rasa,” ucap Sumarsih mengenang anaknya, soeorang mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas tertembak pada tanggal 13 November 1998 saat Tragedi Semanggi 1.
Wanita 71 tahun itu menceritakan bahwa ia menolak penyelesaian non yudisial yang diterbitkan oleh Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 22 Tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial, dan menolak Pasal 4 di mana dikatakan bahwa pemulihan pelangaran berat HAM itu akan diberikan bantuan sosial, bantuan kesehatan, bantuan pendidikan, rehabilitasi fisik, serta apa yang di perlukan untuk kepentingan korban dan keluarganya.
“Tuntutan dari kami agar presiden menyerukan ke Jaksa Agung untuk membentuk tim penyedik pelanggaran HAM yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat,” tuntut Sumarsih atas Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022. Lanjutnya, ia membeberkan tuntutan ini sesuai dengan Pasal 21 Ayat (3) Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, bahwa Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan/atau masyarakat.
Menurut pengakuan Sumarsih, Aksi Kamisan sempat diterima oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tetapi nyatanya tidak memberikan hasil apa-apa. “Saat itu, kata SBY, kesalahan berat seperti penembakan mahasiswa Semanggi 1 dan Semanggi 2 Trisakti diselesaikan melalui pengadilan HAM dan akan diberi hukuman yang berat. Tetapi kenyataannya setelah tidak menjadi presiden, tidak ada perkembangan apa-apa,” ungkapnya.
Sumarsih juga menyoroti janji Jokowi sebelum menjadi presiden, beliau berkomitmen untuk menyelesaiakan kasus pelangaran berat HAM masa lalu tetapi tidak kunjung terealisasi. “Jokowi mengakui 12 perkara pelangaran berat HAM, termasuk penembakan para mahasiswa Semanggi 1 dan Semanggi 2, juga penghilangan paksa aktivis pada tahun 1998. Tetapi tidak ada tindak lanjut sampai penyelesaian sesuai hukumnya,” tegasnya dengan nada kecewa.
Sinar Harapan dari Kabut Pekat
Berjalan menyusuri setiap sudut massa aksi, Evi Mariani, seorang jurnalis pendiri projectmultatuli.org sedang berdiri dan menjadi titik perhatian untuk selanjutnya dimintai pendapatnya mengenai perayaan Aksi Kamisan sore itu. Evi yang turut memantau jalannya aksi kamisan dengan getir menyatakan pendapatnya mengenai bagaimana peran negara hadir dalam menangani kasus HAM yang selama ini disuarakan. “Kalau pemerintah yang sekarang enggak ada ya. Sebenarnya kalau Jokowi dulu ada harapan. Tapi terus menipis dan menipis sampai akhirnya terbukti 10 tahun enggak ada apa-apa,” sindir Evi.
Evi juga mengutarakan bahwa tidak ada harapan kepada pemerintah yang sekarang, meskipun presiden pada masa ini tidak termasuk ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI) aktif, tetapi hubungannya dengan TNI terlihat sangat kental. Hingga kini mulai terlihat banyak mengunakan sistem militarisasi, sementara dugaanya pelaku pelangaran berat HAM silam adalah TNI. “Jangan ngarepin ke istana, saya lebih ngeliat teman-teman semua menjadi harapan di generasi ini,” tegasnya.
Mendegarkan keluh kesah dari teman-teman korban yang menunggu segera ada keadilan. Evi mengungkapkan bahwa setidaknya negara dapat melakukan pengungkapan terlebih dahulu dalam penanganan kasus HAM, sebelum sampai pada keadilan.
Dibalik ungkapannnya yang sarat dengan tuntutan pada pemerintahan dan negara, Evi menyampaikan harapannya agar Aksi Kamisan dapat berlangsung di lebih banyak kota. Sehingga tidak ada lagi warga yang diam jika terjadi pelangaran HAM kembali. Karena Aksi Kamisan harus terus berlanjut, agar semakin banyak rakyat yang ikut menyuarakan haknya. “Kamisan tuh bertahan sekian lama bukan karna pemerintah, boro-boro. Ya karna teman-teman kalian nih yang muda-muda,” Ungkap Evi sebelum pergi meninggalkan kerumunan pers.
Begitupun dengan Aidian (25), peserta massa aksi yang sedang duduk di hamparan rumput hijau di pinggiran krumunan aksi. Ia mengungkapkan harapan besar, agar Aksi Kamisan ini dapat menjadi wadah yang bisa mengimplementasikan haknya. Masyarakat dapat berkumpul secara ramai menyuarakan banyak hal, salah satunya perihal kejahatan-kejahatan HAM yang berlangsung di Indonesia.
“Harapannya memang pesimis sebenernya, apakah memang pesan-pesan kami bisa didengarkan nantinya. Tapi balik lagi, aksi ini jadi bukti nyata bahwa masih banyak orang yang peduli dengan negara ini,” pungkas perempuan berjilbab yang dililit rapih tepat duduk disebelah saya.